PRESIDEN Prabowo Subianto punya mimpi besar untuk memperbaiki kinerja penerimaan negara. Tak tanggung-tanggung, Prabowo mengejar target rasio pendapatan negara hingga 23% sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden No. 12/2025 tentang RPJMN 2025 - 2029.
Target tersebut memang terbilang sangat tinggi. Tahun lalu saja, rasio pendapatan negara hanya mencapai 12,8%. Jika melihat tren, angka rasio perpajakan dalam 10 tahun terakhir ini juga berkutat pada kisaran 10%. Simak Tren Tax Ratio dalam 1 Dekade Terakhir
Melihat target tersebut, DPR bahkan menyampaikan kekhawatirannya pada rapat Nota APBN 2025 pada tahun lalu. Kala itu, Wakil Ketua Komisi XI Dolfie OFP berharap target penerimaan pajak dapat disinkronkan dengan program-program yang dicanangkan Prabowo.
“Pemerintahan baru tak bisa hanya mendorong peningkatan belanja tanpa meningkatkan penerimaan pajak. Perlu extra effort agar sesuai dengan kebutuhan anggaran ke depannya,” tutur Dolfie.
Memasuki tahun 2025, upaya meningkatkan kinerja penerimaan justru menghadapi tantangan. Salah satunya ialah keputusan presiden untuk membatasi objek pajak yang dikenai tarif PPN terbaru sebesar 12%.
Alih-alih menerapkan kenaikan tarif PPN secara luas, Prabowo memilih pendekatan berbeda dengan hanya menaikkan tarif PPN untuk barang dan jasa tertentu yang tergolong mewah. Untuk objek PPN selain barang mewah tetap dikenai tarif efektif sebesar 11%.
Keputusan tersebut disebut sebagai langkah untuk menjaga daya beli masyarakat, sekaligus mencegah dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, keputusan ini berarti kehilangan tambahan penerimaan potensial yang diharapkan menopang belanja negara.
Selain itu, implementasi sistem inti administrasi perpajakan baru (coretax administration system) yang diharapkan pemerintah bisa meningkatkan efisiensi dan penerimaan negara ternyata malah mengalami berbagai kendala teknis.
Sejak diterapkan secara penuh 1 Januari 2025, sistem coretax sulit diakses oleh wajib pajak sehingga menyebabkan pelaporan dan pembayaran pajak menjadi tersendat. Simak Permintaan Maaf Ditjen Pajak (DJP) dan Komitmen Penyempurnaan Coretax.
Situasi ini membuat pemerintah kehilangan momentum untuk meningkatkan penerimaan pajak sejak awal tahun. Padahal, Prabowo memiliki berbagai proyek ambisius yang ingin dilaksanakan, yang tentu saja membutuhkan sokongan fiskal yang besar.
Keterbatasan ruang fiskal pada gilirannya mendorong presiden mengambil langkah efisiensi besar-besaran hingga Rp306 triliun guna mendanai proyek prioritas. Keputusan ini pun sempat menuai protes dari masyarakat yang merasa terdampak akibat pengurangan anggaran.
Dengan tekanan fiskal yang makin nyata, perbaikan coretax system tentu menjadi perhatian utama. Sebab, masalah ini tidak hanya membuat frustrasi para wajib pajak, tetapi juga berisiko mengganggu penerimaan negara.
Dinamika Penerapan Coretax
Coretax system sejatinya dirancang untuk menyederhanakan administrasi pajak, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, serta mengurangi peluang kebocoran pajak. Sistem ini bahkan digadang-gadang bisa menaikkan tax ratio dari 10% menjadi 12%.
Namun, sejak awal peluncurannya, berbagai masalah terus mencuat. Keluhan datang dari wajib pajak individu maupun korporasi yang mengalami kesulitan saat mengakses sistem. Beberapa di antaranya melaporkan data yang dimasukkan tidak dapat diproses dengan benar.
Ada juga yang mengeluhkan lambatnya respons sistem terhadap transaksi pajak yang dilakukan sehingga menyebabkan crash atau eror. Akibatnya, tak sedikit wajib pajak yang telat melapor dan membayar pajak, yang tentu saja berdampak pada penerimaan negara.
Meski DJP mengeklaim telah melakukan perbaikan sana-sini, keluhan-keluhan dari wajib pajak masih terdengar sampai dengan saat ini. Kondisi ini juga viral di media sosial dan turut mendapatkan perhatian dari Ombudsman.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto juga sempat mendatangi kantor pusat DJP untuk memantau progres penerapan coretax system. Keduanya berharap kendala teknis coretax system dapat segera diselesaikan sehingga tidak mengganggu penerimaan.
“Itu yang kami pastikan, supaya penerimaan anggaran tidak terganggu dengan implementasi coretax yang tentu masih perlu penyempurnaan. Apalagi ini kan sistemnya langsung diberlakukan secara nasional," kata Airlangga.
Melihat kondisi coretax system yang viral, Komisi XI DPR memanggil Dirjen Pajak Suryo Utomo untuk hadir di parlemen. Dalam pertemuan tersebut, akhirnya disepakati coretax system yang sudah berjalan sejak 1 Januari 2025 tetap dilanjutkan operasionalnya.
Hanya saja, paralel dengan coretax system, sistem administrasi DJP yang lama, yakni SIDJP, kembali dipakai oleh wajib pajak. Artinya, coretax system akan berjalan beriringan dengan sistem lama DJP, terutama e-faktur dan e-filing.
Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengatakan penggunaan coretax system dan SIDJP sekaligus diharapkan mampu mengatasi berbagai kendala yang dihadapi wajib pajak pada coretax system. DPR pun memberikan waktu kepada DJP hingga April 2025.
"DJP agar memanfaatkan kembali sistem perpajakan yang lama sebagai, bahasanya antisipasi, dalam mitigasi implementasi coretax yang masih terus disempurnakan, agar tidak mengganggu kolektivitas penerimaan pajak," ujarnya.
DJP sesungguhnya tidak tinggal diam melihat persoalan penggunaan Coretax DJP di lapangan. Banyak hal yang telah dilakukan otoritas pajak dalam tahun berjalan ini selain penggunaan kembali sistem lama DJP.
Misal, memberikan pengumuman secara berkala terkait dengan hal-hal yang telah diperbaiki dalam Coretax DJP. Kemudian, kantor-kantor pajak di daerah menyiapkan layanan konsultasi khusus mengenai coretax.
Kemudian, DJP juga menerbitkan beberapa modul atau pedoman penggunaan Coretax DJP, termasuk panduan notifikasi eror, yang dapat diunduh oleh wajib pajak melalui laman pajak.go.id.
DJP bahkan memberikan relaksasi atas keterlambatan pelaporan dan pembayaran pajak dengan tidak menerbitkan surat tagihan pajak (STP). Namun demikian, relaksasi tersebut hanya berlaku untuk periode tertentu saja.
Tak bisa dimungkiri, penerapan sistem administrasi perpajakan yang baru—di negara mana pun—biasanya memang melalui masa transisi yang panjang dan didukung dengan infrastruktur teknologi yang matang.
Di Indonesia, proyek coretax system sudah dimulai sejak diterbitkannya Peraturan Presiden 40/2018. Pemerintah pun sudah menetapkan timeline proyek coretax, meliputi high level design (Januari - Maret 2021), detailed design (April - September 2021).
Kemudian, build, test, & training (Juni 2021- Mei 2023), deploy (Oktober 2023), serta support (Januari - Desember 2024). Setelah itu, DJP melakukan implementasi secara penuh atau serentak pada 1 Januari 2025.
Kondisi yang sama juga terjadi di negara-negara lain. Pengembangan sistem administrasi pajak yang baru membutuhkan waktu bertahun-tahun. Namun, tak seperti Indonesia yang menerapkan coretax system secara serentak, negara lain justru menerapkan secara bertahap.
Inggris misalnya dengan program Making Tax Digital menginvestasikan miliaran poundsterling untuk pelatihan, dukungan teknis, serta komunikasi intensif dengan wajib pajak guna memastikan transisi berjalan lancar.
Dalam awal penerapannya pada 1 April 2019, wajib pajak belum dituntut untuk menggunakan sistem Making Tax Digital (MTD). Namun, otoritas pajak Inggris kala itu meminta perusahaan dengan omzet melebihi £85.000 (Rp1,5 miliar) untuk mendaftar pada sistem baru.
Tak hanya itu, otoritas pajak juga merelaksasi penggunaan sistem MTD untuk mengadministrasikan PPh badan. Awalnya, implementasi penuh MTD berlaku mulai April 2024, tetapi kini dimundurkan menjadi April 2026.
Saat implementasi penuh MTD pun, tidak seluruh wajib pajak harus menggunakan sistem MTD. Pada April 2026, hanya wiraswasta dan pemilik tanah yang memiliki penghasilan di atas £50,000 yang wajib menggunakan sistem MTD.
Sementara itu, wirausaha dan pemilik tanah dengan penghasilan di antara £30,000 and £50,000 baru diwajibkan mulai April 2027. Untuk yang berpenghasilan di bawah £30,000, otoritas pajak belum memberikan batas waktu.
Hal yang sama juga diterapkan di Selandia Baru. Dalam penerapan sistem pajak barunya, otoritas pajak meluncurkan proses bisnisnya secara bertahap. Pada Februari 2017, sistem pajak yang baru hanya melayani PPN dan pendaftaran imigran.
Tahun berikutnya, beberapa layanan pajak sudah bisa dilakukan melalui sistem pajak yang baru. Pada 2019, pajak penghasilan mulai dapat diadministrasikan melalui sistem baru. Adapun seluruh layanan pajak baru tersedia dalam sistem baru pada Juni 2022.
Pemerintah Indonesia tentu dapat mengambil pelajaran dari pengalaman negara-negara tersebut dalam meninjau kembali kapan dan bagaimana coretax system benar-benar siap diterapkan. Adaptasi dari wajib pajak tentu memerlukan perhatian serius sehingga proses transisi berjalan lancar.
Di tengah ketidakpastian ini, wajib pajak tentu menanti kepastian menjalankan hak dan kewajibannya. Tanpa solusi konkret terhadap berbagai kendala yang muncul, efektivitas coretax dalam meningkatkan penerimaan pajak bisa dipertanyakan.
Jika ketidakpastian tersebut berlarut-larut, bukan tidak mungkin harapan besar yang disematkan pada coretax system hanya akan menjadi angan-angan belaka. (rig)