
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah menerbitkan sejumlah peraturan perpajakan baru sepanjang Oktober 2025. Salah satu peraturan yang banyak menyita perhatian adalah diperluasnya pemberian insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) untuk industri pariwisata.
Ada pula peraturan baru yang merevisi ketentuan wajib pajak yang terdaftar pada kantor pelayanan pajak (KPP) besar, madya, dan khusus (BKM). Selain itu, pemerintah menambahkan getah pinus sebagai komoditas yang dikenakan bea keluar.
Ada pula ketentuan-ketentuan baru seputar kepabeanan, pajak karbon, dan pelaporan keuangan, yang patut menjadi perhatian. Lengkapnya, berikut sejumlah peraturan perpajakan yang dirilis sepanjang Oktober 2025.
Pemerintah memperluas cakupan bidang industri yang dapat memperoleh insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 72/2025.
Perluasan diberikan untuk sektor industri pariwisata yang sebelumnya tidak diatur dalam PMK 10/2025. Perluasan tersebut diberikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperluas penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat.
Secara total, ada 77 KLU sektor pariwisata yang tercakup dalam pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP. Contoh KLU yang tercakup meliputi: 49425 (angkutan darat wisata); 55110 (hotel bintang); 56101 (restoran); 56301 (bar); 56303 (rumah minum/kafe); dan 68120 (kawasan pariwisata).
Sesuai dengan ketentuan, penghasilan bruto dalam tahun 2025 yang diterima atau diperoleh pegawai tertentu dari pemberi kerja dengan kriteria tertentu diberikan insentif PPh Pasal 21 DTP. Khusus untuk pariwisata maka insentif PPh Pasal 21 DTP diberikan mulai masa pajak Oktober 2025 – Desember 2025.
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto merilis Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-17/PJ/2025 tentang Penentuan Tempat Terdaftar Bagi Wajib Pajak, Orang Pribadi, dan Badan Pada Kantor Pelayanan Pajak Besar, Khusus, dan Madya.
Beleid itu mengatur penetapan tempat terdaftar bagi wajib pajak orang pribadi dan badan pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Besar, Khusus, dan Madya (BKM). PER-17/PJ/2025 dirilis untuk menyesuaikan ketentuan pasca-berlakunya PMK 81/2024.
Adapun PER-17/PJ/2025 berlaku mulai 1 September 2025. Beleid ini mencabut dan menggantikan peraturan terdahulu, yaitu Perdirjen Pajak No. PER-07/PJ/2020 s.t.d.d Perdirjen Pajak No. PER-05/PJ/2021. Simak Apa Itu KPP Besar, Khusus, dan Madya (BKM)?
Pemerintah kini mengenakan bea keluar atas ekspor getah pinus. Pengenaan bea keluar atas getah pinus tersebut diatur melalui PMK 68/2025 yang merevisi PMK 38/2024. PMK 68/2025 diundangkan pada 15 Oktober 2025 dan berlaku efektif mulai 22 Oktober 2025
Merujuk lampiran PMK 68/2025, getah pinus yang termasuk dalam pos tarif ex 1301.90.90 dikenai bea keluar sebesar 25%. Pengenaan bea keluar atas getah pinus tersebut menambah daftar komoditas yang dikenakan bea keluar yang sebelumnya diatur dalam PMK 38/2024.
PMK 68/2025 juga menurunkan tarif bea keluar atas ekspor biji kakao yang termasuk dalam pos tarif 1801.00.10 dan 1801.00.90. Kemudian, PMK 68/2025 juga menambahkan 2 jenis produk kelapa sawit yang dikenai bea keluar. Keduanya meliputi palm oil mill effluent oil serta high acid palm oil residue.
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) kembali merevisi ketentuan soal tata cara pelunasan cukai. Revisi dilakukan melalui Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No. PER-10/BC/2025 yang berlaku mulai 29 Agustus 2025. Adapun PER-10/PJ/2025 itu merupakan revisi ketiga dari PER-24/BC/2018.
Tidak banyak yang berubah dari penerbitan PER-10/BC/2025. Melalui peraturan ini, DJBC hanya menyisipkan 1 pasal di antara Pasal 15 dan Pasal 16 PER-24/BC/2018 s.t.d.t.d PER-9/BC/2024, yakni Pasal 15A.
Pasal 15A menyatakan terhadap pengajuan penyediaan dan pemesanan pita cukai (P3C) oleh pengusaha pabrik, dapat dikenakan pembatasan berdasarkan manajemen risiko dalam Sistem Aplikasi Cukai Sentralisasi (SAC-S). SAC-S merupakan sistem aplikasi yang dipergunakan di bidang cukai.
Pemerintah mengenakan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) terhadap impor produk benang kapas. Pengenaan BMTP tersebut diatur melalui PMK 67/2025.
Pemerintah mengenakan BMTP karena hasil penyelidikan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) mendapati adanya lonjakan jumlah impor atas produk benang kapas. Lonjakan jumlah impor tersebut menyebabkan terjadinya kerugian serius terhadap industri dalam negeri.
Berdasarkan PMK 67/2025, BMTP dikenakan terhadap impor benang kapas dikenakan selama 3 tahun ke depan. Adapun PMK 67/2025 diundangkan pada 20 Oktober 2025 dan mulai berlaku 10 hari terhitung sejak tanggal diundangkan. Artinya, PMK 67/2025 akan efektif berlaku efektif mulai 30 Oktober 2025 - 67 Oktober 2028.
Presiden Prabowo Subianto telah meneken Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada dasarnya, beleid itu mengatur arah kebijakan energi nasional untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dan net zero emission pada 2060.
Melalui PP 40/2025, pemerintah pun telah menetapkan berbagai kebijakan energi nasional utama serta kebijakan pendukungnya. Salah satu kebijakan pendukung yang diatur adalah pengenaan pajak karbon terhadap pemanfaatan energi tak terbarukan.
PP 40/2025 mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu 15 September 2025. Berlakunya PP 40/2025 akan sekaligus mencabut dan menggantikan beleid terdahulu, yaitu Peraturan Presiden No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Guna menjalankan mandat Pasal 273 Undang-Undang 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 43/2025 tentang Pelaporan Keuangan. PP 43/2025 itu sebenarnya telah diundangkan sejak 19 September 2025, tetapi baru ramai diperbincangkan.
Melalui beleid tersebut, pemerintah mengatur lebih lanjut kewajiban penyusunan dan penyampaian laporan keuangan, standar laporan keuangan, komite standar laporan keuangan, serta platform bersama pelaporan keuangan.
Peraturan ini perlu menjadi perhatian bagi pihak yang diwajibkan menyusun dan menyampaikan laporan keuangan (pelapor). Pelapor berarti pelaku usaha sektor keuangan dan pihak yang melakukan interaksi bisnis dengan sektor keuangan yang merupakan pemilik laporan keuangan.
Pelapor tersebut di antaranya adalah orang perorangan yang wajib melakukan pembukuan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Poin penting yang banyak mendapat sorotan dalam PP 43/2025 adalah ketentuan pihak yang dapat menyusun laporan keuangan. (rig)

