BERITA PAJAK HARI INI

Kena Investigasi AS, Aturan Pajak Digital Indonesia Perlu Dibatalkan?

Redaksi DDTCNews | Selasa, 09 Juni 2020 | 08:00 WIB
Kena Investigasi AS, Aturan Pajak Digital Indonesia Perlu Dibatalkan?

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCNews – Rencana investigasi Amerika Serikat (AS) terhadap pajak digital beberapa negara, termasuk Indonesia, kembali menjadi sorotan media nasional pada hari ini, Selasa (8/6/2020). Apalagi, hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah sebagai respons atas sikap AS.

Terkait pemajakan terhadap ekonomi digital, pemerintah Indonesia telah mengatur pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh), dan pajak transaksi elektronik (PTE) melalui Undang-Undang (UU) No.2 Tahun 2020.

Lantas, pengenaan pajak apa yang dipermasalahkan AS? Dalam artikel opini berjudul “Polemik Pajak Digital” yang dimuat di Bisnis Indonesia, Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji berpendapat AS sepertinya tidak akan mempermasalahkan pengenaan PPN yang berlaku mulai 1 Juli 2020.

Baca Juga:
Diskon Pajak Pasal 31E UU PPh Bisa Digunakan Tanpa Ajukan Permohonan

Pasalnya, saat ini seluruh negara sepakat bahwa dalam transaksi lintas yurisdiksi, hak pengenaan PPN diberikan kepada negara tempat dimanfaatkannya barang dan jasa kena pajak (destination principle). OECD juga telah memberikan anjuran dan panduan pemajakan digital melalui PPN.

Berbeda dengan PPN, konsensus global mengenai PPh perusahaan digital belum ada. Skeptisme atas prospek konsensus global mendorong langkah sepihak (unilateral). Langkah ini bervariasi, tetapi yang paling populer adalah digital service tax (DST) atau serupa dengan PTE dalam UU No.2 Tahun 2020.

Bawono mengatakan pengenaan DST inilah yang membuat AS berang karena kerap didesain untuk menyasar perusahaan dengan peredaran bruto tertentu. Seperti hasil investigasi USTR sebelumnya, dengan threshold EUR750 juta, DST Prancis dinilai diskriminatif karena mayoritas yang terkena perusahaan asal AS. Simak artikel ‘Ditekan AS, Prancis Putuskan Tunda Pengenaan Pajak Digital’.

Baca Juga:
Pegawai Diimbau Cek Kebenaran Pemotongan PPh 21 oleh Pemberi Kerja

“Lantas, apakah kita perlu untuk membatalkan ketentuan [PTE] tersebut? Jawabannya, tidak,” tegas Bawono dalam artikel opini tersebut.

Selain terkait dengan pajak digital, ada pula bahasan mengenai akan dibukanya kembali pelayanan tatap muka Ditjen Pajak (DJP) mulai 15 Juni 2020. Sejumlah protokol disiapkan dalam menghadapi tatanan kenormalan baru (new normal).

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Baca Juga:
Ingat, Pakai e-Bupot 21/26 Tidak Butuh Installer Lagi Seperti e-SPT
  • Penentuan Threshold Peredaran Bruto Global

Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan pemerintah perlu meminimalkan risiko ancaman AS dengan berhati-hati dalam mendesain PTE, terutama terkait threshold peredaran bruto global. Hal ini penting agar tidak terkesan hanya menyasar perusahaan digital asal AS.

“Kalau menurut saya, kita tidak perlu buru-buru menarik PTE. Jika konsensus ada maka kita tinggal menyesuaikan. Jika konsensus tidak tercapai maka kita sudah mengambil ancang-ancang,” kata Darussalam. (Kontan)

  • Alasan Ketentuan PTE Tidak Perlu Dibatalkan

Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengungkapkan setidaknya ada lima alasan tidak perlu dibatalkannya ketentuan PTE. Pertama, UU No.2 Tahun 2020 harus dipahami sebagai skenario antisipatif menghadapi perkembangan konsensus global PPh perusahaan digital. Kedua, urgensi pajak digital di tengah krisis Covid-19.

Baca Juga:
Diskon PPh Badan 50% Bisa Dimanfaatkan WP Badan Tanpa Lewat Permohonan

Ketiga, mempertanyakan posisi AS yang justru memberikan sinyal penolakan proposal OECD. Keempat, semakin banyaknya langkah unilateral akan memberi tekanan tersendiri bagi AS untuk mengambil langkah balasan. Kelima, membuat desain PTE yang tidak diskriminatif, terutama dalam penentuan threshold peredaran usaha atau penjualan. (Bisnis Indonesia)

  • Pelayanan Tatap Muka

Pelayanan langsung atau tatap muka DJP dibuka kembali mulai Senin, 15 Juni 2020. Namun, ada beberapa layanan yang tetap dikecualikan kerena bisa diakses secara elektronik atau online. Ketentuan ini termuat dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-33/PJ/2020.

Beberapa layanan yang tidak dilayani secara tatap muka antara lain pertama, pendaftaran NPWP. Kedua, pelaporan SPT Tahunan dan SPT Masa yang sudah wajib e-Filing. Ketiga, surat keterangan fiskal (SKF).

Baca Juga:
BPHTB Kini Terutang Saat PPJB, Jadi Peluang Peningkatan Penerimaan

Keempat, validasi SSP PPhTB. Kelima, aktivasi dan lupa EFIN. Keenam, layanan di Unit Pelaksana Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Bandar Udara (UPRPPN Bandara). Simak pula artikel ‘Mau Konsultasi Tatap Muka dengan Pegawai DJP? Harus Buat Janji Dulu’. (DDTCNews)

  • Kuota Wajib Pajak

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan unit vertikal DJP akan menjadi penentu kuota wajib pajak yang dapat dilayani secara tatap muka. Jumlah wajib pajak yang bisa dilayani akan disesuaikan dengan kondisi kantor dan sumber daya manusia yang bertugas.

"KPP akan mengatur jumlah wajib pajak yang bisa dilayani tatap muka dalam suatu waktu tertentu, misalnya untuk per hari," katanya. (DDTCNews)

Baca Juga:
Rawan Disalahgunakan Turis, Jepang Pakai Sistem Cashless Tax Refund
  • NPWP Secara Jabatan

Debitur usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan plafon kredit sebesar Rp50 juta atau lebih rendah bisa mendapatkan NPWP secara jabatan dalam rangka mengakses fasilitas subsidi bunga dari pemerintah.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 65/2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin untuk Kredit/Pembiayaan UMKM dalam rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Simak artikel ‘NPWP untuk Raih Subsidi Bunga UMKM Bisa Ditetapkan Secara Jabatan’. (Kontan/DDTCNews) (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

09 Juni 2020 | 19:44 WIB

PPh untuk produk digital memang sangat sulit untuk diterapkan dan perlu penyesuaian peraturan

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 26 April 2024 | 07:00 WIB LITERATUR PAJAK

Hal Unik Ini Hanya Ada di Perpajakan DDTC, Sudah Coba?

Jumat, 26 April 2024 | 06:00 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Diskon Pajak Pasal 31E UU PPh Bisa Digunakan Tanpa Ajukan Permohonan

Kamis, 25 April 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Pegawai Diimbau Cek Kebenaran Pemotongan PPh 21 oleh Pemberi Kerja

Kamis, 25 April 2024 | 18:54 WIB PERMENKOP UKM 2/2024

Level SAK yang Dipakai Koperasi Simpan Pinjam Tidak Boleh Turun

BERITA PILIHAN
Jumat, 26 April 2024 | 07:00 WIB LITERATUR PAJAK

Hal Unik Ini Hanya Ada di Perpajakan DDTC, Sudah Coba?

Jumat, 26 April 2024 | 06:00 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Diskon Pajak Pasal 31E UU PPh Bisa Digunakan Tanpa Ajukan Permohonan

Kamis, 25 April 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Pegawai Diimbau Cek Kebenaran Pemotongan PPh 21 oleh Pemberi Kerja

Kamis, 25 April 2024 | 18:54 WIB PERMENKOP UKM 2/2024

Level SAK yang Dipakai Koperasi Simpan Pinjam Tidak Boleh Turun

Kamis, 25 April 2024 | 18:30 WIB TIPS PAJAK

Cara Ajukan e-SKTD untuk Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional

Kamis, 25 April 2024 | 18:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Tagihan Listrik dan Air dalam Sewa Ruangan Kena PPN, Begini Aturannya

Kamis, 25 April 2024 | 17:45 WIB DITJEN PERIMBANGAN KEUANGAN

Imbauan DJPK Soal Transfer ke Daerah pada Gubernur, Sekda, hingga OPD

Kamis, 25 April 2024 | 17:30 WIB KEBIJAKAN ENERGI

Pemerintah Siapkan Tarif Royalti 0% untuk Proyek Hilirisasi Batu Bara

Kamis, 25 April 2024 | 16:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

WP Tak Lagi Temukan Menu Sertel di e-Nofa, Perpanjangan Harus di KPP