JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah berencana menyiapkan insentif fiskal dan nonfiskal dalam merespons kebijakan tarif bea masuk Presiden AS Donald Trump. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Selasa (8/4/2025).
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan insentif fiskal dan nonfiskal diperlukan untuk mendorong kinerja impor dari AS sekaligus meningkatkan daya saing ekspor ke negara tersebut. Insentif fiskal yang disiapkan antara lain penurunan tarif PPN impor dan PPh impor.
"Sebetulnya import tariff kita terhadap produk yang diimpor [dari] AS relatif rendah, 5%. Untuk wheat maupun soybean itu bahkan sudah 0%. Hal lain tentu kita akan lihat terkait dengan PPh dan PPN impor," katanya.
Airlangga menjelaskan rencana itu diambil setelah pemerintah menggelar rapat koordinasi dengan lebih dari 100 asosiasi usaha. Dalam rapat, pemerintah mengkaji berbagai kebijakan untuk menjaga kegiatan perdagangan antara Indonesia dan AS.
Dia menegaskan bahwa pemerintah akan menempuh jalur diplomasi dan negosiasi untuk merespons bea masuk resiprokal AS. Melalui jalur diplomasi tersebut, pemerintah berharap tercipta solusi yang saling menguntungkan bagi kedua negara.
Menurutnya, Indonesia juga mendorong negara-negara Asean untuk mengambil langkah bersama dalam merespons pemberlakuan bea masuk resiprokal AS.
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu memaparkan langkah-langkah yang akan ditempuh untuk menjaga aktivitas perdagangan Indonesia-AS. Salah satu hal yang akan dikaji ialah usulan penurunan tarif PPN dan PPh atas impor barang asal AS.
Usulan penurunan tarif PPN dan PPh impor turut disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja. Menurutnya, pengusaha dapat meningkatkan impor beberapa komoditas dari AS seperti kapas sebagai bahan baku industri tekstil.
Dia menilai harga barang dari AS relatif bersaing dibandingkan dengan negara lain. Meski begitu, pengusaha juga berharap tarif bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) bisa dipangkas untuk melonggarkan arus kas.
"PPN, PPh impor, kami harapkan ada keringanan. Tadi Pak Menko juga bicara sedang di-review di kemenkeu. Kami harapkan [0%]," ujarnya.
Sebagai informasi, AS mengumumkan pemberlakuan bea masuk resiprokal atas impor dari seluruh negara. Bea masuk tersebut terdiri dari baseline tariff sebesar 10% dan bea masuk resiprokal dengan tarif spesifik atas impor dari negara-negara tertentu.
Baseline tariff sebesar 10% berlaku mulai 5 April 2025, sedangkan bea masuk resiprokal yang bersifat spesifik per negara baru akan berlaku mulai 9 April 2025.
Selain topik di atas, ada pula ulasan mengenai progres perbaikan coretax administration system. Ada juga bahasan perihal laporan kinerja DJP 2024, pembuatan faktur pajak berdasarkan PMK 131/2024, dan lain sebagainya.
Kementerian Keuangan menawarkan berbagai kemudahan administrasi perpajakan untuk mendorong perdagangan antara Indonesia dan AS.
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan Kemenkeu berkomitmen mendukung peningkatan perdagangan Indonesia-AS di tengah kebijakan bea masuk resiprokal Presiden AS Donald Trump.
Kemudahan administrasi perpajakan diharapkan mendorong pengusaha melakukan impor dan ekspor barang dari dan ke AS. "Justru yang kami committed ialah perihal langkah-langkah administrasi. Ada 3 hal yang kami sampaikan," katanya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia/Kontan)
Kementerian Keuangan telah memanfaatkan automatic blocking system (ABS) untuk mengoptimalkan penagihan piutang penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Ditjen Anggaran (DJA) menjelaskan penerapan ABS bertujuan meningkatkan kepatuhan debitur atas kewajibannya. Dengan sistem tersebut, pemerintah juga dapat memastikan penerimaan negara lebih optimal.
"Sistem ini memastikan tagihan piutang macet PNBP lebih efektif dengan penghentian layanan bagi yang belum memenuhi kewajibannya," bunyi keterangan foto yang diunggah DJA di media sosial. (DDTCNews)
DJP mencatat unit pelaksana pemeriksaan (UP2) masih kurang memahami tata cara dan proses pemeriksaan atas transaksi transfer pricing, wajib pajak grup, dan wajib pajak sektor SDA.
Menurut Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP dalam Laporan Kinerja DJP 2024, masalah tersebut pada gilirannya menimbulkan kendala dalam upaya meningkatkan efektivitas pemeriksaan pada tahun lalu.
"Kompleksitas pemeriksaan serta kurangnya pemahaman UP2 terkait tata cara dan proses pemeriksaan transaksi khusus seperti transfer pricing, wajib pajak grup maupun wajib pajak sektor SDA," tulis DJP. (DDTCNews)
Masa transisi pembuatan faktur yang tidak sesuai dengan ketentuan PMK 131/2024 telah berakhir. Sebelumnya, DJP memberikan masa transisi selama 3 bulan, yaitu sejak 1 Januari 2025 hingga 31 Maret 2025.
Masa transisi itu diberikan agar pelaku usaha dapat menyesuaikan sistem administrasi penerbitan faktur pajaknya sesuai dengan ketentuan PMK 131/2024. Pemberian masa transisi tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Perdirjen No. PER-1/PJ/2025 dan telah ditegaskan melalui Keterangan tertulis No. KT-01/2025.
“Untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha tersebut, telah diterbitkan PER-1/PJ/2025 yang intinya memberikan masa transisi selama 3 bulan, yaitu sejak 1 Januari 2025 sampai 31 Maret 2025,” bunyi penggalan KT-01/2025. (DDTCNews)
Sri Mulyani Andalkan Joint Program untuk Tingkatkan Tax Ratio 2025
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai joint program perlu terus dioptimalkan untuk meningkatkan penerimaan perpajakan.
Sri Mulyani mengatakan joint program bakal mengedepankan kolaborasi pada lintas unit eselon I Kemenkeu dalam meningkatkan penerimaan negara. Menurutnya, pelaksanaan joint program juga sejalan dengan perintah Presiden Prabowo Subianto untuk meningkatkan rasio perpajakan atau tax ratio Indonesia.
"Joint program ini ... akan saling bekerja sama menerjemahkan amanat Presiden ke dalam tugas dan fungsi Kemenkeu untuk meningkatkan penerimaan negara dan menciptakan fondasi fiskal yang berkelanjutan," katanya. (DDTCNews)
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengklaim coretax system sudah tidak lagi bermasalah. Dia bahkan menyebut coretax system sebagai inovasi besar dan menegaskan bahwa penerimaan pajak yang turun drastis bukanlah dikarenakan penerapan Coretax DJP.
Hanya saja, dia mengakui implementasi coretax system memerlukan penyesuaian perubahan sistem sehingga memakan waktu. Salah satu permasalahan yang kerap muncul ialah susahnya mengunggah faktur pajak di Coretax DJP. Kini, permasalahan tersebut sudah hampir terselesaikan.
"Alhamdulillah Maret sudah tidak ada lagi komplain-komplain signifikan," ujar Anggito. (Bisnis Indonesia)