Kepala Kanwil Bea Cukai Jateng-DIY Padmoyo Tri Wikanto. (foto: DJBC)
JAKARTA, DDTCNews – Cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok selalu menjadi penopang utama penerimaan yang menjadi tanggung jawab Ditjen Bea dan Cukai. Namun, penerimaan itu selalu terganjal oleh maraknya peredaran rokok ilegal.
Rokok ilegal ini marak di Jawa Tengah (Jateng) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang sebagai salah satu sentra produksi rokok. Kanwil Bea Cukai Jateng-DIY sebenarnya telah merancang berbagai inovasi pemberantasan peredaran rokok ilegal, tapi terkendala pandemi Covid-19.
Tahun ini, otoritas juga menghadapi tantangan dari sisi penerimaan kepabeanan karena lesunya perdagangan global. Untuk mengetahui lebih lanjut, DDTCNews mewawancarai Kepala Kanwil Bea Cukai Jateng-DIY Padmoyo Tri Wikanto. Petikannya.
Bagaimana kinerja penerimaan kepabeanan dan cukai di Kanwil Bea Cukai Jateng-DIY?
Penerimaan di Kanwil Jateng-DIY lagi-lagi didominasi cukai. Penerimaan cukai itu baik cukai hasil tembakau, cukai minuman mengandung etil alkohol, maupun cukai etil alkohol.
Jadi, di Jateng-DIY ini agak lengkap cukainya. Rokoknya ada, HPTL [hasil pengolahan tembakau lainnya] seperti vape juga ada. Etil alkohol malah ada pabriknya di Sragen. Kalau rokok, ada banyak sekali sentranya.
Nah, selama semester I/2020 kemarin, penerimaan di Kanwil Jateng-DIY totalnya kurang lebih Rp17,43 triliun dari target Rp44,36 triliun atau tumbuh 9,86% secara year on year.
Kalau di-breakdown, bea masuk realisasinya Rp726,2 miliar, bea keluar Rp28,26 miliar, dan cukai Rp16,66 triliun. Capaian kinerja itu dibantu banyak oleh cukai karena pertumbuhannya 20% dibanding bulan yang sama tahun lalu.
Ini agak anomali karena penjualan rokok masih tinggi saat ada pandemi Covid. Memang pada perusahaan besar agak sedikit tertekan. Namun, beberapa merek di bawahnya masih cukup bagus.
[Penjualan] rokok golongan II bagus, sedangkan golongan I tertekan. Golongan II ini harganya medium dengan batasan produksinya di bawah 3 miliar batang. Ini yang cukup rebound bagus.
Terkait dengan kepabeanan, di pelabuhan laut dan udara – karena kami ada Tanjung Emas dan Ahmad Yani International Airport – agak tertekan. Itu karena perdagangan internasional lesu, manufaktur lesu, dan daya beli turun.
Ini untuk produk apa saja. Barang-barang yang bukan kebutuhan pokok relatif tertekan. Namun, kami coba terus pantau. Untuk impor, mudah-mudahan kalau pun tertekan, tidak terlalu dalam.
Kami coba analisis trennya dari pelaku usaha. Selain itu, kami juga berkomunikasi dengan teman-teman di Tanjung Perak, Tanjung Priok, Belawan. Bagaimana tren importasi di sana selama ini?
Mudah-mudahan yang masih ada impor barang modal atau proyek pemerintah. Kalau impornya barang konsumsi ya tidak terlalu kita harapkan juga. Nanti malah bikin defisit neraca perdagangan.
Seperti apa upaya Kanwil Bea Cukai Jateng-DIY merangkul pelaku usaha barang kena cukai (BKC)?
Kami tidak merangkul, istilahnya karena rokok kan pro-kontra. Bea Cukai di posisi netral terkait dengan kebijakan fiskal. Instansi lain urus izinnya, Kementerian Kesehatan pelarangannya. Soal rokok, kami netral. Ada tugas yang diberikan DPR dengan target penerimaan, itu harus kami penuhi.
Bagaimana strateginya agar bisa mencapai target tersebut?
Strategi kami hanya ngobrol, komunikasi. Kami tanya berapa rencana produksinya? Bagaimana pasar mereka? Segmentasinya bagaimana? Strategi produk bagaimana?
Beberapa perusahaan lebih terbuka. Mereka bercerita kalau mau ada varian baru, misalnya. Mereknya ini, harga jual ecerannya, tarifnya begini. Nanti mau pesan pita cukai segini dan udah-mudahan diterima pasar. Kalau toh nanti pasarnya gagal, ya sudah, berarti merek itu enggak langgeng.
Pun demikian dengan jaminan cukai. Mereka bilang mau ada kenaikan produksi jenis tertentu dan mau pesan lebih banyak [pita cukai] karena pasar bagus sehingga jaminannya naik.
Karena bagaimanapun, kami kasih penundaan 3 bulan sehingga harus kasih jaminan. Jaminannya reputasi perusahaan. Untuk perusahaan dengan profil tertentu, jaminan dari bank.
Ini semua diobrolkan. Jadi, kami tahu susahnya mereka saat ada Covid dan PSBB [pembatasan sosial berskala besar]. Di kota-kota tertentu, toko tutup sehingga mereka enggak bisa jualan.
Lalu bagaimana dengan yang ilegal? Mereka yang legal kan juga jadi tertekan. Kalau ketemu yang ilegal, mereka juga kasih informasi ke kami. Bea Cukai membantu memberantas yang ilegal.
Seberapa sering Kanwil Bea Cukai Jateng-DIY melakukan penindakan terhadap rokok ilegal?
Hampir setiap hari [ada penindakan]. Kuantitasnya ada yang jutaan, bahkan ratusan ribu batang. Sarana angkutnya bisa truk besar atau kecil, roda empat kecil, motor, sampai yang COD (cash on delivery). Di sini ada modusnya seperti begitu. Yang pakai pasukan pemasaran pakai motor juga ada.
Kalau ditanya seberapa seringnya, ya sering. Angka yang sudah kami amankan sejauh ini sudah puluhan juta batang. Kami memanfaatkan semua lini, masyarakat, aparat hukum lain, dan pengusaha sebagai informan.
Kami perkecil ruang gerak mereka yang ilegal supaya dia punya efek jera. Namun, kami juga kasih solusi agar mereka menjadi legal. Kami kasih solusi KIHT [kawasan industri hasil tembakau] terpadu. Kami akan bantu mereka.
Bolehkah Anda ceritakan mengenai rencana pembentukan KIHT terpadu tersebut?
Ini inisiasi dari kami dan sebentar lagi akan dibuka di Kudus. Di sini, mereka yang enggak punya mesin bisa bikin rokok SKM [sigaret kretek mesin]. Mereka kan pikir-pikir kalau mau beli mesin karena belum tentu laku. Jualan rokok itu susah, seleranya harus pas. Kalau belum pas, ya enggak laku.
Dengan KIHT terpadu ini, kami akan menyiapkan mesin yang bisa dipakai bersama di kawasan industri. Nanti yang ilegal bisa jadi legal. Kemudian, yang legal akan jadi predator, musuh alaminya yang masih ilegal.
Nantinya, yang ilegal tidak akan ada ruang gerak sehingga target perdagangan rokok ilegal 1% tahun ini bisa tercapai. Kalau kami hanya nangkap-nangkap terus, enggak akan selesai. Energi habis, tapi dia [pengedar rokok ilegal] enggak kapok-kapok.
KIHT terpadu pertama sudah diresmikan di Soppeng, Sulsel. Bagaimana dengan yang di Kudus?
KIHT Soppeng itu warisan saya. Sebelum di sini, saya di Sulbagsel. Saya yang ngobrol dengan bupatinya, Pak Kaswadi Razak. Ini kemudian berlanjut dan akhirnya mereka sudah menunjuk Perusda [sebagai operator KIHT]. Mudah-mudahan berhasil.
Nah yang di Kudus sebetulnya sudah lama ada. Jadi, ini bukan barang baru. Namanya LIK, lingkungan industri kecil. Itu satu kawasan yang disediakan Pemkab Kudus. Di sana ada klaster atau blok-blok pabrik. Mereka masih manual SKT [sigaret kretek tangan] dan skalanya kecil.
Full pakai tangan dan di sana banyak ibu-ibu melinting manual. Namun, kawasannya sudah establish. Ada laboratorium dan pabrik-pabrik. Mereka punya merek. Ada plang nama pabrik-pabrik. Ada ruang pertemuan dan klinik. Pokoknya mewah. Itu yang mau kami kembangkan menjadi KIHT.
Ada PMK 21/2020 soal pembentukan KIHT. LIK ini yang akan kami kembangkan. Di satu titik, akan ada tempat untuk mesin. Jadi pabrik existing sekarang, yang SKT itu bisa jadi SKM. Sekarang di sana sudah ada 11 pabrik SKT. Kalau mereka mau bergabung dan mau tambah pabrik baru, bisa.
Sebetulnya mereka yang ilegal ini kalau di forum bilang, "Pak, saya sudah insyaf. Saya mau punya nasionalisme. Saya mau bayar cukai. Tolong difasilitasi menjadi legal."
Saya merasa feeling-nya sudah dapat. Kami enggak hanya gempur, gempur, gempur terus tapi enggak kasih solusi. Nanti kalau KIHT ada wujudnya, akan kami evaluasi. Sambil gempur yang ilegal, kami melihat efektivitas KIHT terpadu. Kalau yang ilegal turun signifikan, berarti ada dampaknya.
Kapan KIHT Kudus akan beroperasi?
Dua bulan ini harus jadi. Saya sudah kejar terus Kepala Kantor Bea Cukai Kudus. Kemarin kami sempat video conference soal proses bisnisnya. Di sana ada Koperasi Jasa Kretek Langgeng Lestari yang jadi wadahnya.
Dia yang atur bagaimana mendapat bahan baku tembakau irisnya, jaminan kualitasnya, dan laboratoriumnya. Nanti ada tempat pembuatan kemasan dan pengepakan. Semua terpadu. Keluar dari kawasan itu sudah harus dilekati pita cukai.
Semoga bisa kami kasih fasilitas penangguhan [pelunasan pita cukai] juga supaya cash flow mereka tidak terganggu. Ini karena yang bayar cukai bukan perusahaan, melainkan perokoknya. Jadi, kalau barangnya belum dinikmati, cukainya belum dibayar. Makanya disebut pajak tidak langsung.
Pemerintah sempat melonggarkan penundaan pelunasan pita cukai dari 2 bulan menjadi 3 bulan. Bagaimana responsnya?
Ada yang mendapatkan [fasilitas penundaan cukai], tapi tidak semuanya. Tetap ada yang tunai [langsung lunas]. Secara umum, ini berkaitan dengan cash flow perusahaan. Kalau diberi pelonggaran, pengusaha enak karena ada perpanjangan satu bulan dari jadwal sebelumnya.
Lantas, adakah rencana lain yang ingin Anda lakukan untuk mengatasi peredaran rokok ilegal di Jateng-DIY?
Sebetulnya ada banyak program yang kami susun, tapi karena Covid-19 jadi terkendala. Rokok ilegal ini dimensinya panjang. KIHT hanya salah satu program untuk menekan peredaran rokok ilegal ini.
Waktu awal tahun kami rakor [rapat koordinasi], ada satu strategi namanya Customs Goes to Villages, Bea Cukai turun ke kampung. Jadi nanti ada teman-teman dari pengawasan, fasilitas, dan pelayanan yang ke kampung kayak KKN [kuliah kerja nyata]. Mereka harus live in bersama masyarakat.
Kalau Bea Cukai masuk ke warga, bisa pakai pendekatan agama, budaya, seni, lewat kegiatan. Itu dananya kami punya. Kalau ini nanti terealisasi, saya akan koordinasi dengan provinsi, Kesbangpol [Kesatuan Bangsa dan Politik], untuk minta izin menginap sambil mengajukan proposal kegiatan.
Itu jadi satu rangkaian menuju rokok ilegal 1%. Rokok ini kultur, tidak bisa dilawan dengan gerakan represif. Susah kalau pendekatannya hanya tangkap-tangkap tanpa solusi lain. Kami sudah tahu masalahnya dan ingin menyelesaikan dengan pendekatan humanis, sosial, ekonomi, kultural.
Soal pembiayaan, Bu Menteri juga sudah janji, tinggal mau pakai instrumen apa? KUR [kredit usaha rakyat], DAK [dana alokasi khusus] Fisik, atau BUMDes. Namun, [program] ini terhambat karena Covid-19.
Kalau dari sisi kepabeanan, pendekatan seperti apa yang Anda lakukan agar eksportir dan importir patuh?
Bea Cukai kan fungsinya trade facilitator dan industrial assistance. Bea Cukai sekarang sudah dengan paradigma baru. Dinamikanya dulu sarang korupsi. Namun, dengan paradigma baru, sudah jauh dari KKN [korupsi, kolusi, nepotisme. Kami lebih profesional, akuntabel, transparan.
Kawasan industri kan seharusnya diisi orang-orang yang mau berbisnis dan mencari untung. Ngapain investor jauh-jauh dari negara lain ke Kendal, Salatiga, Solo untuk membangun pabrik kalau Bea Cukainya abal-abal dan nyari duit sendiri?
Kami declare di semua forum di Bea Cukai sudah tidak ada yang aneh-aneh. Pungutan liar atau pelicin sudah tidak ada. Namun, konsekuensinya mereka juga jangan curang. Bilang isi kontainernya mainan anak-anak, eh, ternyata pakaian. Kalau ketahuan tidak jujur, saya tutup, saya usir.
Ini akan menjadi seimbang. Bea Cukai transparan dan profesional. Pelaku usahanya ya berusaha. Kalau mereka berkembang dan maju, lapangan pekerjaan ada. Devisa ekspor juga masuk. Multiplier effect lainnya akan didapat, yaitu ekonomi tumbuh dan pengangguran berkurang.
Di kawasan industri, kami juga mau promosi. Kami punya kemudahan. Semua perizinan online sehingga enggak perlu tatap muka. Tatap mukanya di ujung saja kalau mereka sekalian survei lapangan. Investor itu harus dibuat nyaman.
Kami ajak ngobrol mereka juga. Kami sudah punya sistem IT inventory. Jadi, kami percaya barang yang masuk itu hanya bahan baku dan dicatat sendiri melalui sistem IT inventory. Kasih CCTV deh, biar kami bisa awasi pergerakannya dari jarak jauh. Jadi sama-sama merasa merasa senang.
Bagaimana antusiasme pengusaha di Jateng-DIY dalam memanfaatkan berbagai insentif selama pandemi virus Corona?
Di Jateng-DIY, masih cukup banyak pengusaha yang masuk walaupun di tengah Covid-19 ini. Mereka masih optimis dan kami rangkul terus. Kalau susah, butuhnya apa? Butuh insentifnya apa?
Mereka bilang, "Pak, saya sudah enggak bikin baju ya, mau bikin masker saja.” Saya bilang, “Silakan sementara bikin masker karena sekarang yang paling laku kan masker”. Domain kami di sini yang paling dominan garmen atau tekstil. Selain itu elektronik, alas kaki, mainan anak, dan produk lain.
Kalau bicara kawasan industri, kita jangan bicara penerimaan karena Bea Cukai justru kasih fasilitas fiskal. Kita bicara pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, daerah yang berkembang, dan devisa ekspor meningkat.
Saat Covid begini, mereka responsnya bagus. Mereka bilang, "Pak, saya bertahan dan enggak PHK [pemutusan hubungan kerja] saja sudah untung." Lalu saya bilang, "Oke, yuk bertahan saja, kami kasih insentif." Lalu kami ngobrol dengan DJP [Ditjen Pajak], ternyata mereka juga kasih kemudahan.
Presiden sempat mengunjungi calon kawasan industri terpadu (KIT) Batang. Apa yang dilakukan untuk mendukung persiapannya?
Kalau Batang menjadi kawasan industri baru, bagi Bea Cukai, sebenarnya itu bukan hal baru. Memang tugas kami menjadi trade facilitator dan industrial assistance. Jadi, KIT Batang ini sama dengan kawasan lainnya.
Apa yang akan Bea Cukai berikan? Insentif fiskal. Setahu saya Kawasan Industri Wijayakusuma (Persero), PT Perkebunan Nasional III (Persero), PT Pembangunan Perumahan (Persero), yang akan menjadi konsorsium pengelola kawasannya.
Saya sudah kasih komitmen kepada Pak Bupati. Kita bersinergi. Kalau ada investor datang, kami di teras depan. Saya jamin Bea Cukai enggak sulit, tanpa biaya, free. Jadi jangan diadu-adu mempersulit. Kalau DJP mungkin di ruang tamu. Penegak hukum di belakang. Tenaga kerja di ruang makan.
Saya juga berkomunikasi dengan konsorsiumnya mengenai penetapan kawasannya yang bisa paralel. Jangan di ujung karena nanti terlambat. Sembari pemasangan instalasi dan penyediaan infrastruktur, nanti perizinan Bea Cukai bisa berjalan bersamaan.
Mudah-mudahan semuanya mendukung. Jangan bikin susah. Kalau terhambat satu, yang di belakang ikut terhambat. Namun, kalau Bea Cukai lancar, semua akan lancar.
Bagaimana Anda memimpin Kanwil Bea Cukai Jateng-DIY?
Wah, jangan tanya saya. Tanyakan saja kepada staf atau kabid. Namun, yang pasti, saya sebenarnya cuma mau keterbukaan atau transparansi. Bea Cukai sejarahnya panjang.
Kami mulai dari minus. Kalau KPK mulainya dari plus atau langsung dipercaya masyarakat. KPK semuanya dijamin, peralatannya punya, sehingga OTT [operasi tangkap tangan] enggak mungkin salah orang, salah tempat, atau salah waktu.
Kalau Bea Cukai, aduh, dari negatif. Citranya dulu enggak bagus. Itu susah membangunnya. Jadi sekarang benar-benar harus ada trust atau kepercayaan dan teladan.
Siapa yang di atasnya? Kalau saya tidak bisa memberi contoh atau kalau saya tidak bisa dipercaya, ya susah. Jangankan sampai Cilacap atau Tegal, di kantor saya sendiri saja pasti sudah jalan sendiri-sendiri.
Ini yang mau saya bangun, team work. Jadinya enak. Sekarang eranya transparansi. Harus konsisten. Sesederhana itu saja. Apalagi masa Covid begini, yang tidak bisa tatap muka. Kalau tidak ada trust, susah. (Kaw/Bsi)