BERITA PAJAK HARI INI

Deadline Pemberitahuan Pakai Diskon Angsuran PPh Pasal 25 Dilonggarkan

Redaksi DDTCNews
Jumat, 16 Juli 2021 | 08.00 WIB
Deadline Pemberitahuan Pakai Diskon Angsuran PPh Pasal 25 Dilonggarkan

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah melonggarkan batas akhir penyampaian pemberitahuan pemanfaatan diskon angsuran PPh Pasal 25. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (16/7/2021).

Pelonggaran diberikan kepada wajib pajak yang ingin memanfaatkan pengurangan 50% angsuran PPh Pasal 25 mulai masa pajak Juli 2021. Hal ini dikarenakan wajib pajak yang ingin perpanjangan insentif pada Juli—Desember 2021 harus menyampaikan kembali pemberitahuan kepada otoritas.

“… wajib pajak dapat memanfaatkan insentif … pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 … sejak masa pajak Juli 2021 dengan menyampaikan pemberitahuan … sampai dengan tanggal 15 Agustus 2021,” demikian bunyi penggalan Pasal 19B PMK 9/2021 s.t.d.d. PMK 82/2021.

Selain insentif diskon angsuran PPh Pasal 25, tenggat pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 juga demikian. Pemberi kerja dapat menyampaikan pemberitahuan hingga 15 Agustus 2021 untuk pemanfaatan insentif mulai masa pajak Juli 2020.

Selain mengenai tenggat penyampaian pemberitahuan pemanfaatan insentif, ada pula bahasan terkait dengan proyeksi dampak dari kesepakatan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 mengenai 2 pilar solusi untuk mengatasi tantangan perpajakan yang muncul dari digitalisasi dan globalisasi ekonomi.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Menyampaikan Kembali Pemberitahuan Pemanfaatan Insentif

Wajib pajak yang ingin mendapatkan perpanjangan masa pemberian insentif pengurangan angsuran PPh Pasal 25, sesuai dengan PMK 82/2021, harus menyampaikan kembali pemberitahuan pemanfaatan insentif.

“… harus menyampaikan kembali pemberitahuan untuk dapat memanfaatkan insentif pajak sebagaimana dimaksud dalam … Pasal 12 ayat (1) [pengurangan angsuran PPh Pasal 25],” bunyi penggalan Pasal 19A ayat 3 PMK 9/2021 s.t.d.d. PMK 82/2021. (DDTCNews)

Pemberian Insentif Pajak Selektif

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor mengungkapkan pemberian insentif perpajakan perlu diberikan secara selektif.

“Pemberian insentif perpajakan perlu diberikan secara selektif dengan prioritas kepada sektor tertentu yang tertahan dan perlu lebih didukung laju pemulihannya, seperti jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa angkutan, konstruksi, dan akomodasi,” ujarnya. ‘Simak, Ini Keterangan Resmi dari DJP Soal Perpanjangan Insentif Pajak’. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)

Perusahaan KITE dan Kawasan Berikat

Melalui PMK 82/2021, pemerintah memperpanjang masa pemberian insentif pajak yang sebelumnya ada dalam PMK 9/2021 hingga Desember 2021. Namun, perpanjangan tidak berlaku untuk wajib pajak kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) dan kawasan berikat.

Dirjen Bea dan Cukai Askolani mengatakan kebijakan tersebut dibuat berdasarkan pada evaluasi yang dilakukan Ditjen Pajak (DJP). Kinerja kegiatan usaha KITE dan kawasan berikat saat ini dinilai telah menunjukkan perbaikan seiring dengan pemulihan ekonomi nasional.

"Pertimbangan hasil evaluasi DJP, fasilitas tidak diberikan kepada perusahaan Kawasan berikat dan KITE karena dianggap sudah mulai tumbuh," katanya. Simak pula ‘Ingat, Perpanjangan Insentif Pajak Hanya Berlaku untuk WP Ini’. (DDTCNews)

Penyempurnaan Sistem Pengajuan Insentif Pajak

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah akan menyempurnakan sistem pengajuan insentif pajak sebagai tindak lanjut atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sri Mulyani mengatakan pemerintah berkomitmen menindaklanjuti rekomendasi BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2020. Salah satu yang menjadi perhatian pemerintah yakni temuan terkait insentif dan fasilitas perpajakan.

"Pemerintah akan melakukan pengembangan dan penyempurnaan sistem pengajuan insentif pada situs resmi perpajakan," kata Sri Mulyani. (DDTCNews)

Tambahan Pajak 100 Perusahaan Multinasional

Dengan kesepakatan Pilar 1, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu mengatakan akan berkesempatan mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan global yang diterima perusahaan multinasional. Syaratnya, perusahaan multinasional ini berskala besar (minimum €20 miliar) dan memiliki tingkat keuntungan yang tinggi (minimum 10% sebelum pajak).

Berdasarkan pada batasan atau threshold tersebut, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperoleh tambahan pemajakan atas penghasilan dari setidaknya 100 perusahaan multinasional yang menjual produknya di Indonesia. Simak ‘BKF: Indonesia Bisa Dapat Tambahan Pajak 100 Perusahaan Multinasional’. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)

Berdampak pada Kebijakan Insentif PPh

Di samping potensi manfaat, Pilar 2 ini mempunyai dampak terhadap kebijakan insentif PPh pemerintah. Desain insentif perpajakan, khususnya dengan penerapan tarif pajak efektif kurang dari 15%, harus didesain ulang menyesuaikan dengan pilar dua.

BKF mengatakan Pemerintah Indonesia tidak lagi dapat menerapkan insentif pajak dengan tarif yang lebih rendah dari 15% untuk tujuan misalnya menarik investasi. Dengan ketentuan ini, keputusan investasi diharapkan tidak lagi berdasarkan tarif pajak tetapi berdasarkan faktor fundamental.

“Pemerintah cukup optimistis bahwa investasi di Indonesia tetap akan bertumbuh seiring percepatan dan penguatan reformasi struktural yang berdampak positif pada peningkatan iklim usaha,” ujar Kepala BKF Kemenkeu Febrio Kacaribu. Simak ‘BKF: Kebijakan Insentif PPh Bakal Terdampak Pajak Minimum Global’. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)

Rekomendasi Komite Pengawas Perpajakan

Rekomendasi Komite Pengawas Perpajakan (Komwasjak) yang dihasilkan selama pandemi covid-19 telah masuk materi UU 2/2020, UU 11/2020, dan Rancangan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP),

Beberapa saran tersebut diantaranya pertama, penurunan tarif PPh badan. Kedua, pemajakan transaksi e-commerce, intangible cross border, dan over the top (OTT). Ketiga, pemajakan control foreign company (CFC).

Keempat, pengaturan fasilitas perpajakan. Kelima, pencantuman Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)/ Nomor Induk Kependudukan (NIK) pembeli pada faktur pajak. Keenam, relaksasi pengkreditan pajak masukan. Ketujuh, penurunan sanksi administrasi. (DDTCNews) (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.