Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Selain Pilar 1, ada pula Pilar 2 yang disepakati para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 untuk mengatasi tantangan perpajakan yang muncul dari digitalisasi dan globalisasi ekonomi.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu mengatakan kesepakatan Pilar 2 ditujukan untuk mengatasi isu base erosion and profit shifting (BEPS) dengan memastikan perusahaan multinasional, memiliki minimum omzet konsolidasi €750 juta, membayar pajak penghasilan dengan tarif minimum 15% di negara domisili.
“Pilar 2 dengan demikian menghilangkan adanya persaingan tarif pajak yang tidak sehat atau yang dikenal dengan race to the bottom sehingga diharapkan menghadirkan sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan inklusif,” tulis BKF dalam keterangan resminya, Kamis (15/7/2021).
Dengan batasan atau threshold tersebut, sambung BKF, Indonesia berpeluang untuk mendapatkan tambahan pajak dari perusahaan multinasional domisili Indonesia yang memiliki tarif pajak penghasilan efektif di bawah 15%.
Di samping potensi manfaat, Pilar 2 ini mempunyai dampak terhadap kebijakan insentif PPh pemerintah. Desain insentif perpajakan, khususnya dengan penerapan tarif pajak efektif kurang dari 15%, harus didesain ulang menyesuaikan dengan pilar dua.
BKF mengatakan Pemerintah Indonesia tidak lagi dapat menerapkan insentif pajak dengan tarif yang lebih rendah dari 15% untuk tujuan misalnya menarik investasi. Dengan ketentuan ini, keputusan investasi diharapkan tidak lagi berdasarkan tarif pajak tetapi berdasarkan faktor fundamental.
“Pemerintah cukup optimistis bahwa investasi di Indonesia tetap akan bertumbuh seiring percepatan dan penguatan reformasi struktural yang berdampak positif pada peningkatan iklim usaha,” ujar Kepala BKF Kemenkeu Febrio Kacaribu dalam keterangan resmi tersebut.
Dia mengatakan sistem perpajakan internasional yang baru ini selaras dengan semangat reformasi perpajakan nasional yang di antaranya bertujuan untuk meningkatkan basis pemajakan secara adil. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, hal tersebut penting untuk mengoptimalkan sumber penerimaan domestiknya.
Penyebab rendah dan terus turunnya rasio pajak terhadap PDB Indonesia adalah belum mampunya sistem pemajakan menangkap peningkatan aktivitas ekonomi, salah satunya karena aksi BEPS.
Berdasarkan pada data OECD, 60%-80% perdagangan internasional merupakan transaksi afiliasi perusahaan multinasional yang ditujukan untuk menghindari pajak dengan cara memindahkan laba ke negara dengan tarif pajak lebih rendah.
“Di Indonesia, laporan wajib pajak menunjukkan bahwa 37%-42% PDB merupakan transaksi afiliasi. Bila dibiarkan, hal ini tentunya merugikan bagi perpajakan Indonesia. Dengan adanya tambahan hak atas pemajakan dalam kedua pilar, basis pajak Indonesia akan meningkat,” ujar Febrio. (kaw)