JAKARTA, DDTCNews - Kewajiban bank bulion untuk memungut PPh Pasal 22 dengan tarif 0,25% atas pembelian emas batangan tak hanya berlaku untuk BUMN saja, tetapi juga swasta. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Rabu (13/8/2025).
Kepala Seksi Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh II Ditjen Pajak (DJP) Ilmiantio Himawan mengatakan kewajiban yang sama juga berlaku bagi lembaga jasa keuangan swasta yang melakukan kegiatan usaha bulion.
"Misalkan ada pelaku bulion yang bukan BUMN seperti bank-bank swasta yang mendapatkan izin sebagai kegiatan usaha bulion, ketika dia beli emas batangan itu juga kita atur di PMK 51/2025 wajib memungut sebesar 0,25%," katanya.
Saat ini, baru ada 2 lembaga jasa keuangan yang sudah memperoleh izin untuk menyelenggarakan kegiatan usaha bulion, yakni Pegadaian dan Bank Syariah Indonesia (BSI). Keduanya merupakan anak usaha BUMN.
"Supaya ada kesetaraan antara bank bulion yang BUMN maupun yang non-BUMN," ujar Ilmianto.
Sebagai informasi, kewajiban lembaga jasa keuangan yang melakukan kegiatan usaha bulion untuk memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,25% atas pembelian emas batangan termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 51/2025.
PPh Pasal 22 sebesar 0,25% tersebut tidak bersifat final sehingga bisa dikreditkan oleh wajib pajak yang dikenai pemungutan oleh lembaga jasa keuangan yang melakukan kegiatan usaha bulion.
Dalam hal pembelian emas yang dilakukan oleh lembaga kegiatan usaha bulion tidak melebihi Rp10 juta, lembaga kegiatan usaha bulion tidak perlu melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas pembayaran dimaksud.
Selain topik di atas, ada pula ulasan mengenai proyeksi penerimaan pajak pada tahun ini. Lalu, ada juga bahasan terkait dengan e-audit DJBC, insentif pajak di era pajak minimum global, ketentuan kompensasi lebih bayar berdasarkan PER-11/PJ/2025, dan lain sebagainya.
DJP mengingatkan bahwa ketentuan pajak dalam 2 peraturan menteri keuangan (PMK) terbaru terkait dengan kegiatan usaha bulion, yakni PMK 51/2025 dan PMK 52/2025, hanya berlaku atas kegiatan perdagangan emas.
Untuk penghasilan dari kegiatan usaha bulion lainnya—mulai dari simpanan emas, pembiayaan emas, penitipan emas, dan lain sebagainya—dipungut pajak dilaksanakan berdasarkan PMK yang sudah ada, bukan PMK 51/2025 dan PMK 52/2025.
"PMK 51/2025 dan PMK 52/2025 ini sesungguhnya hanya melingkupi aspek perdagangan saja, sedangkan 3 lainnya itu dikenakan pajak sesuai dengan peraturan yang sudah ada," kata Kepala Seksi Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh II DJP Ilmiantio Himawan. (DDTCNews)
Pemerintah bakal mengoptimalkan penerapan beberapa regulasi pajak baru untuk mencapai target penerimaan pajak pada tahun ini.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan pemerintah mulai melaksanakan sejumlah regulasi baru seperti pajak atas aset kripto, pemungutan pajak oleh bank bulion, serta penunjukan penyedia marketplace sebagai pemungut pajak.
"Kebijakan sebagian besar sudah kita telurkan dan sekarang kita implementasikan. Kita lihat perkembangannya dan evaluasi, karena ini tinggal 4 - 5 bulan,” katanya. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) akan menerapkan e-audit untuk mengoptimalkan pelaksanaan audit kepabeanan.
Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan DJBC Budi Prasetiyo mengatakan e-audit mengintegrasikan big data, artificial intelligence, dan metode analitik. Menurutnya, e-audit bisa membuat proses pemeriksaan kewajiban kepabeanan lebih efisien, akurat, dan menyeluruh.
“E-audit merupakan bagian dari inisiatif strategis DJBC periode 2019-2024 untuk mengantisipasi meningkatnya volume dan kompleksitas perdagangan internasional, keterbatasan sumber daya audit, serta tuntutan efektivitas pengawasan berbasis data,” katanya. (DDTCNews)
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menilai pemberian insentif pajak masih dibutuhkan dalam menggaet investor.
Untuk itu, pemerintah akan menampung masukan dari peneliti, akademisi dan praktisi guna mengkaji kebijakan insentif pajak. Hal ini dilakukan supaya bisa menyuguhkan insentif yang relevan dengan perkembangan kebijakan pajak global, salah satunya pajak minimum global.
"Skema insentif yang paling pas buat industri kita seperti apa? Kita memahami insentif diperlukan untuk attract investment dari luar ke dalam. Faktanya, dari tax holiday, juga muncul tenaga kerja, capital, dan sebagainya. Kita perlu rumuskan bersama," ujarnya. (DDTCNews)
Melalui PER-11/PJ/2025, DJP memerinci perlakuan atas pajak yang lebih disetor. Berdasarkan Pasal 13 dan Pasal 26 PER-11/PJ/2025, terlihat ada perbedaan perlakuan atas pajak yang lebih disetor dalam SPT Masa PPh Pasal 21/26 dan SPT Masa PPh Unifikasi.
Merujuk Pasal 13 huruf b PER-11/PJ/2025, wajib pajak dapat melakukan kompensasi atas kelebihan pembayaran PPh Pasal 21/26 yang terdapat dalam SPT Masa PPh Pasal 21/26. Kompensasi tersebut bisa dilakukan ke masa pajak berikutnya tanpa harus berurutan.
“Pajak yang lebih disetor, maka atas kelebihan penyetoran pajak yang terdapat dalam SPT Masa PPh Pasal 21/26 dapat dikompensasikan oleh pemotong PPh Pasal 21/26 ke masa pajak berikutnya tanpa harus berurutan,” bunyi Pasal 13 huruf b PER-11/PJ/2025. (DDTCNews)
Anggota Komisi VII DPR Yoyok Riyo Sudibyo meminta perusahaan di kawasan ekonomi khusus (KEK) mengutamakan penyerapan tenaga kerja lokal.
Yoyok mengatakan pelaksanaan KEK harus dipastikan sejalan dengan tujuan pembentukannya, yakni mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja. Terlebih, pemerintah telah memberikan banyak insentif bagi perusahaan di KEK.
"Saya mewanti-wanti betul, tolong garis bawahi, agar KEK secara manajemen dan pemerintah daerah menyiapkan betul perencanaan jangka panjang agar supaya keberadaan KEK ini bisa memberikan kesejahteraan," katanya. (DDTCNews)