JAKARTA, DDTCNews - Tak masukkan harta ke dalam Surat Pemberitahuan (SPT)? Hati-hati, Ditjen Pajak (DJP) punya data-data pendukung yang bisa menjadi landasan benchmarking atas kepatuhan para wajib pajak. Topik ini menjadi salah satu sorotan pembaca dalam sepekan terakhir.
Beberapa waktu lalu, DJP mengaku telah memanggil high wealth individual (HWI) atau orang kaya untuk mengklarifikasi data-data yang terkait dengan pajak. Dirjen Pajak Bimo Wijayanto mengatakan DJP memiliki data-data yang bisa menjadi landasan untuk melakukan benchmarking atas kepatuhan para wajib pajak.
"Wajib pajak mungkin merasa kita tidak mempunyai akses terhadap data tersebut sehingga di laporan SPT-nya tidak dimasukkan," ujar Bimo.
Adanya kesengajaan dari wajib pajak HWI yang mengisi dan menyampaikan SPT secara tidak benar dianggap menciptakan paradoks pada kebijakan fiskal.
"Kita bisa melihat disitu ada paradoks, paradoks di mana seharusnya kebijakan itu bisa menjadi penyeimbang supaya ketimbangan sosial, ketimpangan penghasilan, itu bisa terminimalisasi," ujar Bimo.
Wajib pajak orang pribadi yang dikategorikan sebagai HWI telah diadministrasikan pada satu kantor pelayanan pajak (KPP) khusus pada Kanwil DJP Wajib Pajak Besar. KPP dimaksud adalah KPP Wajib Pajak Besar Empat.
Wajib pajak orang pribadi ditetapkan sebagai wajib pajak yang terdaftar di KPP besar dengan mengacu pada beberapa kriteria, mulai dari peredaran usaha, jumlah penghasilan, jumlah pembayaran pajak, kewarganegaraan, klasifikasi lapangan usaha, grup wajib pajak atau pemilik manfaat, serta pertimbangan lain dari dirjen pajak.
Menurut Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan DJP Ihsan Priyawibawa, KPP khusus tersebut mengelola kurang lebih sebanyak 1.000 wajib pajak HWI.
"Kita punya satu kantor yang didedikasikan untuk mengelola HWI di Indonesia, tetapi jumlahnya enggak terlalu banyak, sekitar 1.000-an," ujar Ihsan.
Selain informasi mengenai pengawasan kepatuhan di atas, ada beberapa bahasan yang juga menjadi sorotan utama sepanjang sepekan terakhir. Di antaranya, rencana penerapan cukai atas minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), bukanya kantor pajak untuk melayani aktivasi coretax di akhir pekan, hingga disetujuinya pungutan bea keluar atas emas dan batu bara.
DJP menyebut masih banyak penambang batu bara yang tidak menyetorkan pajak ke kas negara meski sudah terdaftar sebagai wajib pajak.
Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan DJP Ihsan Priyawibawa mengatakan salah satu tantangan yang dihadapi DJP dalam memajaki wajib pajak sektor pertambangan batu bara adalah sulitnya mengawasi struktur biaya dari pelaku usaha sektor tersebut.
"Struktur cost of goods sold itu harus kita akui tidak sama untuk setiap wajib pajak," ujar Ihsan.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berencana untuk memeriksa kepatuhan pajak para pihak yang mendukung praktik importasi pakaian bekas dalam bentuk balpres secara ilegal.
Purbaya mengeklaim pihak-pihak yang mendukung impor pakaian bekas ternyata tidak mematuhi kewajiban pembayaran pajak. Hal ini terbukti dengan SPT mereka yang ternyata selalu berstatus nihil tanpa ada pembayaran pajak sama sekali.
"Kami dapat namanya yang ribut-ribut di medsos tentang balpres. Kami investigasi pajaknya seperti apa. Ternyata banyak dari mereka enggak bayar pajak. Saya datangi orangnya ke sana untuk suruh bayar pajak," katanya.
Menkeu Purbaya menyatakan bahwa pemerintah tetap membuka ruang untuk menerapkan pungutan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) mulai semester II/2026.
Menurutnya, pungutan cukai MBDK bisa saja diterapkan paruh kedua tahun depan jika perekonomian Indonesia berhasil tumbuh di atas 6%. Namun, jika target itu belum tercapai maka menteri keuangan tidak akan menerapkan pungutan baru.
"Kalau doa Anda manjur mendoakan saya supaya berhasil, kita akan pungut [cukai MBDK] di second half, artinya ekonomi tumbuh di atas 6%," katanya.
Komisi XI DPR menyetujui kebijakan bea keluar atas ekspor emas dan batu bara yang direncanakan oleh pemerintah.
Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengatakan bea keluar atas kedua komoditas tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dan membantu upaya pemerintah dalam menekan defisit anggaran.
Meski demikian, ujarnya, kebijakan bea keluar perlu dibarengi dengan penetapan indikator kinerja utama (IKU) yang mendukung dihasilkannya nilai tambah. "Hal ini akan memperkuat penerimaan negara dan menjamin keberlanjutan suplai dalam negeri," ujar Misbakhun. (sap)
