JAKARTA, DDTCNews – Dinamisasi angsuran PPh Pasal 25–yang kerap dipersepsikan sama dengan ijon pajak–menjadi isu yang ramai diperbincangkan menjelang akhir tahun. Topik tersebut juga menjadi salah satu pembahasan utama media nasional pada hari ini, Senin (22/12/2025).
Kementerian Keuangan mengeklaim peningkatan angsuran PPh Pasal 25 tidak ditargetkan khusus terhadap wajib pajak tertentu. Menurut Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, angsuran PPh Pasal 25 ditingkatkan hanya bila usaha wajib pajak diketahui bertumbuh.
Kewenangan untuk meningkatkan angsuran PPh Pasal 25 termuat dalam Pasal 25 ayat (6) UU PPh. "Itu masing-masing KPP saja, enggak ada secara angka begitu enggak ada," ujar Yon.
Kewenangan DJP untuk meningkatkan angsuran PPh Pasal 25 wajib pajak telah diatur secara teknis dalam Pasal 120 PER-11/PJ/2025.
Pasal tersebut menyatakan angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan tersisa pada suatu tahun pajak bisa dihitung kembali dalam hal wajib pajak mengalami peningkatan usaha dan PPh yang akan terutang melebihi 125% dari PPh yang terutang tahun lalu.
Penghitungan kembali besarnya angsuran PPh Pasal 25 bisa dilakukan oleh wajib pajak sendiri ataupun dirjen pajak. Kewenangan untuk menghitung kembali angsuran PPh Pasal 25 didelegasikan oleh dirjen pajak kepada kepala kantor pelayanan pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar.
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto juga menyampaikan klarifikasi mengenai praktik ijon yang dilakukan menjelang tutup tahun guna mengoptimalkan penerimaan pajak.
Dia menyebut kebijakan yang dilakukan Ditjen Pajak (DJP) adalah dinamisasi, yakni meningkatkan angsuran PPh Pasal 25 agar sesuai dengan penghasilan yang diterima oleh wajib pajak pada tahun berjalan.
"Ketika tahun berjalan, DJP diberi kewenangan untuk menyesuaikan besaran angsuran dalam rangka penyesuaian terhadap adanya penghasilan-penghasilan yang beda polanya dengan tahun sebelumnya, atau beberapa penghasilan yang sifatnya tidak teratur, atau perubahan size usaha, dan juga peningkatan bisnis dari wajib pajak," ujar Bimo.
Tanpa adanya dinamisasi, angsuran PPh Pasal 25 yang harus disetor wajib pajak setiap bulan ditentukan berdasarkan total pajak terutang pada tahun sebelumnya setelah dikurangi dengan kredit pajak.
Selain topik tersebut, terdapat ulasan tentang kerja sama percepatan integrasi sistem pendaftaran NPWP badan bagi koperasi merah putih. Setelahnya, ada pembahasan soal perubahan ketentuan mengenai subjek pajak dalam negeri (SPDN) dan subjek pajak luar negeri (SPLN).
Melalui dinamisasi, Bimo mengatakan DJP berupaya untuk menekan kurang bayar atau PPh Pasal 29 yang harus dilunasi oleh wajib pajak sebelum penyampaian SPT Tahunan.
Hal ini terjadi karena angsuran wajib pajak pada tahun berjalan sudah dibuat agar mendekati jumlah pajak yang seharusnya terutang di akhir tahun.
"Konteksnya apa? Supaya itu bisa mengurangi beban kurang bayar wajib pajak pada saat penyampaian SPT Tahunan di 2026," kata Bimo. (DDTCNews)
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bakal mengandalkan coretax untuk meraih target penerimaan pajak pada 2026, yang dipatok lebih tinggi daripada tahun ini.
Purbaya meyakini keandalan sistem administrasi pajak yang baru akan membantu fiskus menghimpun pajak pada tahun mendatang. Sebagaimana disepakati antara pemerintah dan DPR, target penerimaan pajak dalam APBN 2026 ditetapkan senilai Rp2.357,7 triliun atau naik 7,69% dari APBN 2025.
"Kita perbaiki dulu sistem digital perpajakan kita. Saya harap tahun depan kita akan lebih efisien dalam mengumpulkan pajak dengan target yang lebih tinggi lagi," ujarnya. (DDTCNews)
DJP menetapkan peraturan baru mengenai penentuan subjek pajak dalam negeri (SPDN) dan subjek pajak luar negeri (SPLN). Peraturan yang dimaksud, yaitu Peraturan Dirjen Pajak No. PER-23/PJ/2025.
Beleid itu dirilis untuk mengatur kembali ketentuan mengenai penentuan status SPDN dan SPLN. Pengaturan kembali dilakukan karena peraturan terdahulu, yaitu PER-02/PJ/2009 s.t.d.d dan PER-43/PJ/2011, sudah tidak sesuai dengan ketentuan terbaru sebagaimana tercantum dalam UU PPh s.t.d.d UU Cipta Kerja dan PMK 18/2021.
"…Sehingga perlu mengatur kembali ketentuan mengenai penentuan status subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri," bunyi pertimbangan PER-23/PJ/2025. (DDTCNews)
DJP dan Kementerian Koperasi menandatangani perjanjian kerja sama mengenai percepatan integrasi sistem pendaftaran NPWP badan bagi koperasi merah putih.
Kedua instansi bersepakat untuk saling bertukar data, menggelar sosialisasi dan edukasi, serta menyelenggarakan kegiatan lain yang disepakati. Dengan kesepakatan tersebut, DJP akan memperoleh data profil, keuangan, dan potensi koperasi merah putih yang bisa digunakan untuk menganalisis pemenuhan kewajiban pajak.
"Tentu ini menjadi basis data yang sangat bagus dalam analisis yang prudent untuk mengamankan penerimaan negara dan pengawasan kepatuhan dari sektor perkoperasian," ujar Bimo. (DDTCNews, Kontan)
Purbaya menyebut Satuan Tugas Percepatan Program Strategi Pemerintah (Satgas P2SP) turut menampung pengaduan terkait perpajakan dari pelaku usaha.
Masyarakat yang menghadapi hambatan dalam berkegiatan usaha bisa menyampaikan aduan melalui https://lapor.satgasp2sp.go.id/.
"Berbagai isu masuk cakupan yang dapat dilaporkan di antaranya perizinan, perpajakan, lahan, tata ruang, energi, infrastruktur, dan isu utama lainnya," ujar Purbaya. (DDTCNews)
DJP kembali menegaskan seluruh pegawai pajak tidak boleh menerima pemberian dalam bentuk apapun, termasuk pada momentum Hari Raya Natal.
DJP menyatakan bingkisan seperti parsel yang diterima pegawai termasuk dalam gratifikasi. Wajib pajak pun diajak untuk memastikan pegawai DJP tidak menerima hadiah apapun seperti bingkisan Natal.
"Kami memohon dukungan #KawanPajak dan seluruh stakeholder untuk tidak memberikan uang, barang, bingkisan, parsel, atau sejenisnya kepada pegawai DJP," bunyi keterangan DJP. (DDTCNews) (dik)
