JAKARTA, DDTCNews - Sistem pengelolaan penerimaan negara di Indonesia kembali disebut menjadi salah satu yang terlemah di dunia. Pernyataan ini dilontarkan oleh Utusan Khusus Presiden Hashim Djojohadikusumo dalam sebuah kesempatan di Universitas Indonesia, kemarin. Topik ini menjadi salah satu sorotan media nasional pada hari ini, Selasa (16/2/2025).
Hashim memandang Indonesia masih memiliki sejumlah kelemahan dalam mengoptimalkan penerimaan negara, termasuk dari sisi pajak. Kelemahan tersebut antara lain tecermin dari sistem pajak yang belum menjangkau semua aktivitas ekonomi serta kredibilitas dari para aparaturnya.
Menurutnya, kondisi ini juga membuat rasio penerimaan negara Indonesia lebih rendah dari negara lain, termasuk Kamboja.
"Sistem penerimaan negara kita, pajak, bea cukai, dan sebagainya sangat-sangat parah. Parah sekali... Kita termasuk yang paling lemah dan paling rendah di dunia sistem perpajakan kita," katanya.
Hashim menjelaskan Presiden Prabowo Subianto sempat memintanya mengkaji soal rendahnya penerimaan negara, yang menjadi titik kelemahan Indonesia. Sebagai gambaran, sekitar 1 dekade lalu, rasio pendapatan negara Indonesia mencapai 12%, sedangkan Kamboja hanya sebesar 9%.
Kini, rasio pendapatan negara Kamboja sudah menembus 18%, sementara Indonesia stagnan di level 12%.
Dia menyebut besarnya shadow economy menjadi salah satu faktor yang menggerus basis penerimaan pajak di Indonesia. Merujuk data World Bank, aktivitas ekonomi yang tidak tercatat di Indonesia sekitar 35% dari PDB.
Menurutnya, masyarakat bahkan bisa secara tidak sengaja melanggengkan shadow economy, misal ketika melakukan transaksi secara tunai.
"Terus terang saja saya juga ikut bertanggung jawab. Saya salah satu penyebab ekonomi gelap itu. Kenapa? Karena saya pakai seorang tukang rambut, namanya Anton, yang saat membayar dengan uang tunai tidak ada kuitansi, dan tidak dipungut [pajak] 11%," ujarnya.
Hashim menyebut pemerintah terus berupaya mendigitalisasi transaksi masyarakat agar tercatat sebagai aktivitas ekonomi. Bahkan, pemerintah juga berencana mendigitalisasi secara penuh penyaluran bantuan sosial untuk masyarakat miskin.
Di sisi lain, tata kelola penerimaan negara bakal diperkuat, termasuk soal sumber daya manusia. Menurutnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa akan bekerja memperbaiki kinerja penerimaan negara tersebut.
"Kalau memang aparat pajak, aparat bea cukai, aparat semuanya itu bekerja dengan benar, Indonesia bukan negara dengan defisit. Indonesia negara surplus. Indonesia negara kaya," imbuhnya.
Selain kabar mengenai sistem pajak Indonesia yang dianggap paling lemah, ada informasi lain yang juga diulas oleh media massa. Antara lain, bebas pajak untuk donasi korban banjir, tantangan pemerintah dalam mencapai target ekonomi 2025, hingga terbitnya keputusan presiden terkait dengan biaya aksesi OECD.
Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi sekaligus adik Presiden Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, mengatakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ditugasi untuk mencari tambahan penerimaan pajak sebesar 6% dari PDB.
Hashim mengatakan dengan asumsi PDB Indonesia senilai Rp25.000 triliun, tambahan penerimaan sebesar 6% dari PDB tersebut setara dengan kurang lebih Rp1.500 triliun.
"[Sebesar] 6%, kecil kelihatannya, tetapi besar maknanya. [Sebesar] 6% dari Rp25.000 triliun itu Rp1.500 triliun. Kita bisa dapat dan seharusnya dapat tiap tahun, sekarang saat ini," ujar Hashim. (DDTCNews)
Pemerintah membebaskan pengenaan pajak dan memberikan izin bagi perusahaan garmen tekstil dalam negeri yang mendonasikan produk pakaian untuk korban banjir di Sumatera.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan dirinya telah meminta persetujuan Presiden Prabowo Subianto dan dukungan Kementerian Keuangan untuk membebaskan PPN dan mempermudah perizinan atas barang donasi tersebut.
Tito mengungkapkan sejumlah perusahaan garmen raksasa di kawasan ekonomi khusus (KEK) telah menyatakan niatnya untuk membantu korban bencana. Perusahaan tersebut memiliki stok produk pakaian yang tidak lolos standar kualitas atau spesifikasi untuk ekspor alias reject. (Koran Kontan)
Pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi sepanjang 2025 bisa tercapai 5,2%. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan beberapa indikator ekonomi makro menunjukkan kinerja positif, salah satunya indeks harga saham gabungan (IHSG) yang menunjukkan rekor tertinggi sepanjang masa (all time high).
Kemudian, dari sisi eksternal, neraca perdagangan pada November 2025 surplus US$2,39 miliar dan transaksi berjalan sepanjang tahun berjalan juga surplus US$4 miliar.
Airlangga optimistis pertumbuhan ekonomi 2025 bisa tercapai dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2025 berada di atas 5,4%. (Koran Kontan)
Presiden Prabowo menerbitkan keputusan presiden (keppres) tentang pendanaan proses aksesi ke OECD. Hal ini menimbang biaya yang dibutuhkan untuk akses ke OECD tidaklah murah. Aturan ini merevisi keppres tentang Tim Nasional Persiapan dan Percepatan Keanggotan Indonesia dalam OECD.
Dalam beleid yang diteken pada Oktober 2025 tersebut, pemerintah menyisipkan 1 pasal krusial yang secara spesifik mengatur mekanisme pembiayaan akses yang sebelumnya belum diatur secara rigid. Pasal 10A ayat (1) menegaskan bahwa pemerintah wajib melakukan pembayaran biaya proses aksesi setiap tahun.
Biaya akses OECD bersumber dari APBN, yang peruntukannya mencakup biaya perjalanan, akomodasi, pertemuan, serta penyusunan dokumen dan koordinasi. Dirjen Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan Kementerian Keuangan Masyita Cristallin mengungkapkan biaya yang harus dibelanjakan oleh pemerintah dalam aksesi OECD mencapai 13,62 juta euro atau setara Rp245,6 miliar yang akan dibagi dalam 3 termin pembayaran. (Bisnis Indonesia) (sap)
