Ilustrasi. Gedung Kemenkeu. (Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah mengkaji pengurangan beberapa pengecualian (exemptions) pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN). Kajian yang dipakai untuk merumuskan RUU tentang Pajak atas Barang dan Jasa (PBJ) tersebut menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (7/8/2020).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengungkapkan banyaknya pengecualian selama ini membuat penerimaan PPN cenderung tidak optimal. Dalam konteks reformasi perpajakan, kontribusi penerimaan PPN harus diperbesar.
Menurutnya, ada pula kecenderungan negara-negara berpenghasilan menengah dan tinggi untuk mengarahkan penerimaan pajaknya lebih banyak dari PPN, bukan pajak penghasilan (PPh). Hal ini pada gilirannya akan berpengaruh pada pengurangan ketergantungan pada PPh badan.
“Ini salah satu model yang kita pertimbangkan untuk reformasi perpajakan ke depan. Belanja pajak dari sisi PPN ini memang benar cukup besar dan ini sedang dievaluasi,” ujar Febrio.
Realisasi belanja perpajakan (tax expenditure) dari tahun ke tahun memang selalu didominasi belanja PPN dan PPnBM. Pada 2018, belanja perpajakan mencapai Rp221,12 triliun. Dari jumlah tersebut, belanja PPN dan PPnBM tercatat senilai Rp145,61 triliun.
Selain mengenai pengurangan pengecualian dalam pengenaan PPN, ada pula bahasan terkait dengan tata cara penyampaian surat keberatan secara elektronik (e-filing). Tata cara itu tertuang dalam Peraturan Dirjen Pajak No.PER-14/PJ/2020. Beleid mulai berlaku sejak 1 Agustus 2020.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Kepala BKF Kemenkeu Febrio Kacaribu menjelaskan proses pembahasan RUU PBJ masih terus dilakukan pemerintah. Konsep RUU PJB, sambung dia, harus dipahami dalam konteks reformasi perpajakan. Simak artikel ‘Reformasi Perpajakan, Kontribusi PPN dalam Penerimaan Bakal Dinaikkan’.
“Ini tak bisa dibicarakan dalam waktu seminggu atau hari ini,” katanya. (Bisnis Indonesia)
Kepala BKF Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan urgensi dari munculnya RUU PBJ serta RUU perpajakan lainnya dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan 2020-2024 adalah untuk mengatasi masalah struktural perpajakan Indonesia.
“Ini karena basis pajak kita yang tidak bertambah. Ekonomi tumbuh tapi yang bayar pajak itu-itu aja. Mereka yang dipajaki terus dipajaki, sedangkan yang tidak dipajaki ya terus kita tidak pajaki," katanya. Simak pula artikel ‘Pengecualian PPN Dinilai Tidak Tepat Sasaran, Ini Saran World Bank’. (DDTCNews)
Sesuai dengan ketentuan dalam lampiran PER-14/PJ/2020, wajib pajak yang dapat menyampaikan surat keberatan secara elektronik adalah wajib pajak yang telah memiliki EFIN aktif, melakukan registrasi akun pada laman DJP Online, dan memiliki sertifikat elektronik yang masih berlaku.
“Wajib pajak dapat menyampaikan surat keberatan secara elektronik (e-filing) melalui situs web Direktorat Jenderal Pajak,” demikian penggalan bunyi ketentuan dalam lampiran tersebut. Baca artikel ‘Simak, Ini Cara Penyampaian Surat Keberatan Secara Elektronik’.
Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan dengan rencana perubahan besaran diskon angsuran PPh Pasal 25 dari 30% menjadi 50%, pemerintah akan kembali merevisi peraturan menteri keuangan (PMK) terkait dengan insentif pajak.
Direktur Peraturan Perpajakan II DJP Yunirwansyah mengatakan seluruh wajib pajak dapat memanfaatkan fasilitas diskon angsuran PPh Pasal 25. Wajib pajak itu termasuk perseroan terbuka asalkan memenuhi klasifikasi lapangan usaha (KLU) yang telah ditetapkan. (Kontan)
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani berpendapat diskon angsuran PPh Pasal 25 tidak membantu seluruh wajib pajak. Pasalnya, ada beberapa perusahaan yang tidak mencatatkan keuntungan sehingga diskon angsuran PPh Pasal 25 tidak berdampak.
“Untuk beberapa sektor tidak efektif karena rugi. Insentif ini berguna bagi perusahaan yang masih mencatatkan laba pada tahun ini sehingga mereka bisa memanfaatkan sisa kewajiban PPh Pasal 25 yang sudah diberi diskon untuk keperluan ekspansi misalnya,” katanya. (Kontan)
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis kepada terdakwa RW, Direktur Operasional PT DC atas perkara tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana pencucian uang. DJP mengatakan vonis dijatuhkan kepada terdakwa pada 5 Agustus 2020 melalui persidangan secara online yang diketuai Yosdi.
“Vonis 5 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp20,5 miliar, yaitu dua kali jumlah kerugian negara, subsider 6 bulan kurungan,” demikian pernyataan DJP dalam siaran pers tersebut. Simak artikel ‘Pakai Faktur Pajak Tidak Sah, WP Ini Divonis Penjara 5 Tahun 6 Bulan’.
Penegakan hukum yang dilakukan DJP terhadap para pelaku tindak pidana perpajakan dan pencucian uang diharapkan dapat memulihkan kerugian pada pendapatan negara. Langkah tersebut juga diharapkan mampu memberikan efek gentar (deterrent effect). (Bisnis Indonesia/DDTCNews)
Penerapan dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain atas pengenaan PPN barang hasil pertanian tertentu diharapkan bisa menjadi tonggak awal untuk meningkatkan peranan sektor pertanian dalam penerimaan pajak.
Pasalnya, meski porsi ekonomi dari sektor pertanian di Indonesia tergolong besar, setoran pajaknya terhadap negara hingga saat ini masih sangat kecil. Kepala BKF Kemenkeu Febrio Kacaribu menekankan kontribusi suatu sektor usaha terhadap PDB dan terhadap penerimaan pajak idealnya sebanding. (Bisnis Indonesia/DDTCNews) (kaw)