Tampilan depan publikasi World Bank yang berjudul “Public Expenditure Review: Spending for Better Results”.
JAKARTA, DDTCNews – World Bank memberi rekomendasi kepada pemerintah Indonesia untuk mengurangi beberapa pengecualian (exemptions) pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN). Pasalnya, pengecualian yang diberikan sejauh ini kurang tepat sasaran.
World Bank mengungkapkan belanja perpajakan (tax expenditure) akibat pengecualian dari pengenaan PPN atas komoditas tertentu dan tingginya threshold pengusaha kena pajak (PKP) lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas ketimbang masyarakat kelas bawah.
“Sebagian besar pengecualian pajak ini dinikmati oleh rumah tangga yang lebih kaya dan jika dihapuskan akan mengurangi ketimpangan,” demikian tulis World Bank dalam publikasi berjudul “Public Expenditure Review: Spending for Better Results”, dikutip pada Selasa (23/6/2020).
Adapun tambahan penerimaan pajak yang didapat dari penghapusan pengecualian dari pengenaan PPN tersebut, menurut World Bank, dapat digunakan sebagian untuk mengurangi dampak pada 40% masyarakat miskin melalui transfer tunai (targeted cash transfers).
World Bank mencatat pengecualian dari pengenaan PPN yang diberikan oleh pemerintah memiliki dampak yang cenderung regresif. Mirip dengan subsidi pada harga, pengecualian ini lebih banyak dinikmati oleh masyarakat yang lebih kaya.
Sebagai bagian dari pendapatan rumah tangga, sambung World Bank, pengecualian cenderung lebih penting bagi masyarakat miskin. Namun, penghapusan pengecualian PPN nantinya akan menghasilkan tambahan penerimaan negara yang signifikan.
Biaya fiskal untuk mengimbangi dampak penghapusan pengecualian PPN pada 40% terbawah adalah sekitar 0,2% PDB. Dengan menggunakan rata-rata sederhana, penghapusan pengecualian PPN akan memberi keuntungan fiskal 0,4% PDB. Artinya, ada laba fiskal (untuk negara) sebesar 0,2% PDB.
Pasalnya, potensi penerimaan pajak yang hilang akibat kebijakan PPN di Indonesia pada saat ini mencapai 0,67% dari PDB. Apabila pemerintah menghapuskan pengecualian atas komoditas tertentu ini, World Bank memperkirakan ada tambahan penerimaan pada kas negara hingga 0,24%-0,67% PDB.
Merujuk pada Laporan Belanja Perpajakan 2018 yang dipublikasikan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF), belanja pajak dari jenis pajak PPN memang terus meningkat dari tahun ke tahun. BKF mencatat belanja pajak PPN pada 2018 mencapai Rp145,61 triliun, lebih tinggi dari 2017 yang mencapai Rp132,84 triliun dan 2016 yang mencapai Rp116,32 triliun.
PPN yang tidak jadi dipungut oleh pemerintah akibat threshold PKP sebesar Rp4,8 miliar diestimasikan mencapai Rp44,25 triliun pada 2018 lalu. PPN yang tidak terutang atas kebutuhan pokok dan tidak masuk ke kas negara diestimasikan mencapai Rp22,07 triliun.
Selain penghapusan pengecualian pengenaan pajak beberapa komoditas tertentu, terkait dengan PPN, World Bank juga menyarankan agar pemerintah menurunkan ambang batas PKP yang memungut PPN dari Rp4,8 miliar pada saat ini.
Selain itu, pemerintah bisa menjadikan pendaftaran sebagai PKP bersifat opsional untuk bisnis yang berada di bawah ambang batas dan telah memenuhi persyaratan minimum pembukuan. Kemudian, menurunkan threshold UMKM agar sejalan dengan batas PKP. (kaw)