JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) akan memeriksa wajib pajak yang melakukan under-invoicing atas ekspor minyak kelapa sawit dan produk turunannya. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Jumat (7/11/2025).
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto mengatakan ada 282 wajib pajak yang melakukan praktik pelaporan nilai transaksi ekspor yang lebih rendah dari nilai sebenarnya (under-invoicing). Dari jumlah itu, 25 wajib pajak diketahui melakukan under-invoicing dengan mendeklarasikan CPO atau turunannya sebagai produk fatty matter.
"Kami deteksi pada 2025 ada 25 eksportir yang melakukan modus sama. Ini masih dugaan. Dari 25 pelaku itu, total transaksinya sekitar Rp2,08 triliun. Potensi kerugian negara dari sisi pajak kami diestimasi sekitar Rp140 miliar," katanya.
Dari 25 wajib pajak dimaksud, 4 wajib pajak di antaranya sudah dilakukan pemeriksaan bukti permulaan. Keempat wajib pajak dimaksud adalah PT MMS serta 3 afiliasinya, yakni PT LPMS, PT LPMT, dan PT SUNN.
Selanjutnya, terdapat 257 wajib pajak lainnya yang melakukan under-invoicing dengan modus mendeklarasikan produk CPO sebagai palm oil mill effluent (POME).
Lalu, sebanyak 257 wajib pajak dimaksud melakukan under-invoicing pada kurun waktu 2021 hingga 2024 dengan total pemberitahuan ekspor barang (PEB) senilai Rp45,9 triliun.
Perlu diketahui, POME adalah limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi CPO. Harga POME diketahui hanya Rp9.000 hingga Rp11.000 per kilogram, jauh lebih rendah dibandingkan dengan turunan CPO lainnya.
"Kami mendeteksi modus lama pakai POME. Jadi under-invoicing sebagai POME, diakui sebagai POME tapi sebenarnya bukan POME. Dari sisi perpajakan ketika kita hitung kembali beban pajak yang harus dibayar ke negara, tentu juga berkurang jauh apabila yang diakui adalah HS Code yang tidak sebenarnya dari barang yang diekspor," ujar Bimo.
DJP mencatat 257 wajib pajak dimaksud juga sedang diinvestigasi oleh Direktorat Penegakan Hukum DJP.
"Kami sudah laporkan kepada Bapak Menteri Keuangan [Purbaya Yudhi Sadewa], setelah ini 282 wajib pajak yang melakukan ekspor serupa akan kami periksa. Bakal kami bukper, dan akan kami sidik sesuai dengan kecukupan bukti awal," tutur Bimo.
Selain topik di atas, ada pula ulasan mengenai tren sengketa pajak di era ekonomi digital. Lalu, ada juga bahasan perihal target tax ratio sebesar 15%, SPP-TDLN untuk optimalisasi pemungutan pajak atas transaksi digital, dan lain sebagainya.
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) menjegal eksportasi 87 kontainer berisi lemak total atau fatty matter, yang diidentifikasi sebagai produk turunan CPO.
Dirjen Bea dan Cukai Djaka Budhi Utama mengatakan kontainer berisikan produk fatty matter seberat 1.802 ton atau senilai Rp28,7 miliar tersebut ditegah lantaran tidak sesuai dengan pemberitahuan ekspor barang (PEB) dan berpotensi menimbulkan kerugian negara.
"Hasil pemeriksaan DJBC dan Institut Pertanian Bogor yang disaksikan Satgasus Polri menunjukkan bahwa barang tersebut mengandung produk turunan CPO sehingga berpotensi terkena bea keluar dan ketentuan ekspor," katanya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia/Kontan)
Pesatnya perkembangan aktivitas ekonomi digital mengubah lanskap transaksi, dari semula manual atau tunai dan berdasarkan kehadiran fisik kini menjadi serba digital dan tidak ada lagi batasan yurisdiksi.
Hakim Pengadilan Pajak Junaidi Eko Widodo mengatakan pemerintah perlu menyesuaikan kebijakan ketika muncul potensi pajak atas transaksi digital tersebut melalui penerbitan regulasi baru. Dalam menjalankan regulasi tersebut, baik fiskus ataupun wajib pajak juga masih berpotensi mengalami perselisihan dan berujung sengketa.
"Wajib pajak pelaku usaha ekonomi digital melakukan kewajiban dan haknya, ternyata ada konflik, terkait implementasinya, baik penafsiran peraturan ataupun dalam penyetoran, pembayaran pajak. Mereka akan larinya ke Pengadilan Pajak," ujarnya. (DDTCNews)
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, pemerintah menargetkan rasio perpajakan (tax ratio) pada 2029 sebesar 11,52% - 15%. Angka ini lebih tinggi dari tax ratio pada 2024 yang baru 10,07%.
Kementerian Keuangan kemudian menuliskan sederet strategi untuk mencapai target tax ratio tersebut dalam PMK 70/2025 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kemenkeu 2025-2029. Renstra merupakan dokumen perencanaan strategis jangka menengah Kemenkeu yang digunakan sebagai acuan dalam penyusunan renstra unit eselon I Kemenkeu.
"Sebagai pengelola fiskal, Kemenkeu memiliki peran strategis dalam mendukung kegiatan prioritas utama, terutama dalam rangka mendukung optimalisasi pendapatan negara, yaitu (1) ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan perpajakan; dan (2) intensifikasi penerimaan negara bukan pajak," bunyi lampiran PMK 70/2025. (DDTCNews)
Pemerintah mengembangkan Sistem Pemungutan Pajak atas Transaksi Digital Luar Negeri (SPP-TDLN) sebagai salah satu langkah untuk mengoptimalkan pemungutan PPN di era digital.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi mengatakan semula pemungutan, penghitungan pajak dilakukan secara self-assessment. Kini, platform teknologi dan digital yang ditunjuk akan memungut pajak secara otomatis saat transaksi terjadi.
"Kementerian Keuangan sekarang mencoba menerapkan SPP-TDLN. Kami membuat satu paradigma atau pendekatan baru, bukan lagi dengan tax deklarasi secara self-assesment, tapi kami akan tunjuk pemain-pemain teknologi," katanya. (DDTCNews)
Anggota Komisi IX DPR Irma Suryani meminta pemerintah segera mengambil tindakan nyata untuk mencegah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Irma mengatakan pemerintah perlu berkomunikasi dengan pengusaha agar tidak melakukan PHK terhadap pegawainya. Secara bersamaan, pemerintah dapat memberikan stimulus serta diskresi, termasuk dari sisi perpajakan.
"Perusahaan tentu juga butuh dukungan. Karena itu, pemerintah perlu memberikan stimulus dan diskresi, termasuk dalam hal perpajakan, agar perusahaan tetap bisa beroperasi tanpa harus mem-PHK karyawannya," katanya. (DDTCNews)
Kementerian Keuangan menilai pertumbuhan ekonomi pada kuartal III/2025 yang mencapai 5,04% mencerminkan kuatnya permintaan domestik dan ekspor serta resiliensi investasi.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan pertumbuhan ekonomi kuartal III/2025 menunjukkan bahwa APBN telah dikelola secara efektif serta memberikan manfaat bagi masyarakat dan dunia usaha.
"Dukungan fiskal juga diberikan melalui penempatan Rp200 triliun kas negara secara prudent untuk memastikan likuiditas ekonomi memadai, termasuk dukungan nonfiskal untuk debottlenecking demi realisasi investasi lebih tinggi secara berkelanjutan," katanya. (DDTCNews)
