KILAS BALIK 2025

Februari 2025: Pemeriksaan Pajak Diatur Ulang Pasca UU HPP

Redaksi DDTCNews
Sabtu, 27 Desember 2025 | 09.00 WIB
Februari 2025: Pemeriksaan Pajak Diatur Ulang Pasca UU HPP
<p>Ilustrasi.</p>

JAKARTA, DDTCNews – Pada Februari 2025, Kementerian Keuangan mengatur kembali ketentuan seputar pemeriksaan pajak melalui PMK 15/2025. Pengaturan kembali tersebut dilakukan untuk menyesuaikan ketentuan pemeriksaan pajak pasca berlakunya UU HPP sekaligus menyederhanakan regulasi pemeriksaan pajak.

Sebelumnya, ketentuan perihal pemeriksaan pajak tersebar pada 3 PMK, yaitu PMK 17/2013, PMK 256/2014, dan Pasal 105 PMK 18/2021. Kini, ketentuan dalam ketiga beleid tersebut diatur kembali dan dilebur menjadi 1 dalam PMK 15/2025. Simak Kementerian Keuangan Terbitkan PMK Baru terkait Pemeriksaan Pajak.

Untuk itu, berlakunya PMK 15/2025 mulai 14 Februari 2025 akan sekaligus mencabut ketiga PMK tersebut. Apabila disandingkan, perubahan yang paling mencolok di antaranya terkait dengan ruang lingkup, tipe pemeriksaan, kriteria pemeriksaan, dan jangka waktu pemeriksaan.

Berdasarkan PMK 15/2025, pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan kini dilakukan dengan 3 tipe pemeriksaan, yaitu: lengkap, terfokus, dan spesifik. Simak berita seputar PMK 15/2025.

Selain peraturan baru mengenai pemeriksaan pajak, ada beragam peristiwa yang mewarnai lanskap pajak Indonesia sepanjang Februari 2025. Misal, terbitnya PMK soal penyidikan pajak dan PMK sapu jagat yang merevisi berbagai PMK seputar dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain dan besaran tertentu, dan berbagai peristiwa perpajakan lainnya.

Aturan Baru Soal Penyidikan Pajak

Kementerian Keuangan menerbitkan PMK 17/2025 yang mengatur soal penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. PMK 17/2025 diterbitkan untuk mengatur pelaksanaan penyidikan tindak pidana perpajakan.

Beleid ini juga mengatur ketentuan pelunasan atas perkara yang telah dilimpahkan ke pengadilan serta mengatur kembali ketentuan penghentian penyidikan tindak pidana perpajakan. PMK 17/2025 berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu 25 Februari 2025.

PMK Sapu Jagat untuk Sesuaikan DPP Nilai Lain dan PPN Besaran Tertentu Terbit

Kementerian Keuangan menerbitkan ketentuan yang merevisi peraturan DPP nilai lain dan PPN besaran tertentu, selain yang sudah diatur dalam PMK 131/2024. Pembaruan ketentuan ini tertuang dalam PMK 11/2025.

Beleid tersebut dirilis untuk merevisi PMK terkait dengan dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain dan PPN besaran tertentu selain yang sudah diatur dalam PMK 131/2024. Sebelumnya, PMK 131/2024 mengatur penggunaan DPP nilai lain berupa 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian.

PMK 131/2024 itu dirilis untuk menyesuaikan berlakunya tarif PPN 12%. Berdasarkan Pasal 3 PMK 131/2024, DPP nilai lain berupa 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian berlaku untuk barang kena pajak (BKP) nonmewah dan jasa kena pajak (JKP). Dengan demikian, tarif efektif PPN menjadi 11%

Namun, Pasal 4 PMK 131/2024 menegaskan PPN atas BKP nonmewah atau JKP yang DPP nilai lain atau PPN besaran tertentunya diatur dalam PMK tersendiri tidak boleh dihitung menggunakan DPP nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual. Artinya, tarif efektif PPNnya tetap naik dari 11% menjadi 12%.

Untuk itu, PMK 11/2025 diterbitkan guna menyesuaikan formula penghitungan PPN dengan menggunakan DPP nilai lain dan besaran tertentu yang selama ini telah diatur dalam dalam beragam PMK tersendiri selain PMK 131/2024. Hal ini dimaksudkan agar tarif efektif PPN-nya turut menjadi 11%. Simak berita seputar PMK 11/2025.

Bermunculan Surat Teguran yang Tak Sesuai di Coretax

Sebulan berjalan, sistem Coretax DJP belum sepenuhnya sempurna. Kendala teknis masih muncul, salah satunya adalah terbitnya surat teguran secara berulang di akun coretax milik wajib pajak. Surat teguran itu bahkan muncul tanpa ada kelalaian dari pihak wajib pajak.

Merespons keluhan wajib pajak tersebut, Ditjen Pajak (DJP) buka suara. DJP meminta wajib pajak tidak khawatir apabila menerima surat teguran yang berulang melalui akun coretax mereka apabila memang tidak ada kelalaian pembayaran pajak yang dilakukan.

DJP juga menyatakan ada mekanisme pembatalan secara jabatan atas penerbitan surat teguran tersebut sebagaimana diatur dalam PMK 61/2023. Kala itu, DJP juga merilis Keterangan Tertulis KT-05/2025 mengenai pembaruan informasi seputar implementasi coretax. Simak DJP Rilis Update Soal Bupot PPh dan Surat Teguran di Coretax.

Sanksi Administrasi Keterlambatan Pembayaran dan Pelaporan Pajak Dihapus

Dirjen Pajak Suryo Utomo akhirnya resmi menerbitkan keputusan penghapusan sanksi administrasi pasca-implementasi coretax system. Kebijakan tersebut diatur melalui Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-67/PJ/2025.

Melalui keputusan tersebut, dirjen pajak menghapus sanksi administrasi atas keterlambatan pembayaran dan/atau penyetoran pajak serta keterlambatan penyampaian SPT. Kebijakan ini diambil sebagai respons atas perubahan sistem administrasi yang menyebabkan keterlambatan pembayaran pajak dan pelaporan SPT.

Seiring dengan terbitnya keputusan tersebut, wajib pajak perlu mencermati masa pajak yang telah diberikan penghapusan sanksi dalam KEP-67/PJ/2025. Selain itu, wajib pajak juga perlu memperhatikan relaksasi batas pembayaran dan pelaporan pajak dalam KEP-67/PJ/2025.

Seluruh PKP Boleh Kembali Pakai e-Faktur

DJP mengumumkan seluruh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat membuat faktur pajak dengan menggunakan aplikasi e-faktur client desktop dan aplikasi e-faktur host-to-host (e-faktur dari Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan/PJAP).

Ketentuan tersebut tercantum dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-54/PJ/2025 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak Tertentu. Langkah ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam pembuatan faktur pajak. Ketentuan tersebut berlaku sejak 12 Februari 2025.

Sebelumnya, DJP membatasi penggunaan aplikasi legacy hanya terhadap PKP yang minimal membuat 10.000 faktur pajak per bulan sebagaimana ditetapkan dalam KEP-24/PJ/2025 s.t.d.d KEP-39/PJ/2025.

Untuk itu, terbitnya KEP-54/PJ/2025 membuat seluruh PKP juga dapat menggunakan e-faktur client desktop dan aplikasi e-faktur PJAP. Di sisi lain, PKP juga tetap dapat membuat faktur pajak melalui coretax system.

Insentif PPh Pasal 21 DTP untuk Industri Tertentu

Pemerintah memberikan insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) atas penghasilan pegawai tertentu di industri tertentu. Pemberian insentif ini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 10/2025.

Pemerintah memberikan insentif PPh Pasal 21 DTP tersebut untuk menjaga kesejahteraan dan daya beli masyarakat. Namun, insentif ini hanya berlaku untuk pegawai dari industri tertentu. Insentif diberikan untuk masa pajak Januari 2025 hingga masa pajak Desember 2025.

Merujuk Pasal 3 PMK 10/2025, industri yang tercakup dalam pemberian insentif ini harus memenuhi 2 persyaratan. Pertama, melakukan kegiatan usaha pada bidang industri: alas kaki; tekstil dan pakaian jadi; furnitur; atau kulit dan barang dari kulit.

Kedua, memiliki kode klasifikasi lapangan usaha (KLU) sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A PMK 10/2025. KLU tersebut merupakan kode KLU utama yang tercantum pada basis data yang Ditjen Pajak (DJP). Merujuk pada lampiran A, setidaknya ada 56 KLU yang tercakup.

Aturan Barang Kiriman Direvisi Lagi

Kementerian Keuangan kembali merevisi ketentuan kepabeanan, cukai, dan pajak atas impor dan ekspor barang kiriman melalui PMK 4/2025. Beleid yang berlaku efektif mulai 5 Maret 2025 tersebut merupakan revisi kedua dari PMK 96/2023.

Perubahan yang mencolok di antaranya terkait dengan ketentuan pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) atas barang kiriman berupa hadiah perlombaan atau penghargaan, sepanjang tidak melebihi batasan.

PMK 4/2025 juga mengatur secara khusus ketentuan pembebasan bea masuk dan PDRI atas barang kiriman jemaah haji, sepanjang tidak melebihi batasan. Selain itu, PMK 4/2025 juga memperjelas besaran tarif bea masuk atas barang komoditas tertentu.

Insentif PPN DTP atas Penyerahan Rumah

Melalui PMK 13/2025, pemerintah kembali memberikan insentif PPN ditanggung pemerintah (DTP) atas penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun (rusun). Pemerintah sebelumnya telah memberikan insentif serupa pada 2023 dan 2024.

PPN DTP yang diberikan terbagi atas 2 periode. Pertama, untuk penyerahan rumah periode 1 Januari 2025 sampai dengan 30 Juni 2025. Pada periode ini PPN DTP diberikan sebesar 100% atas PPN yang terutang dari bagian DPP sampai dengan Rp2 miliar.

Kedua, untuk penyerahan periode 1 Juli 2025 sampai dengan 31 Desember 2025. Pada periode ini PPN DTP diberikan sebesar 50% atas PPN yang terutang dari bagian DPP sampai dengan Rp2 miliar. Adapun PMK 13/2025 berlaku mulai 4 Februari 2025.

Insentif PPN dan PPnBM DTP atas Kendaraan Listrik

Pemerintah kembali memberikan insentif PPN dan PPnBM ditanggung pemerintah (DTP) atas mobil listrik. Pemberian insentif PPN dan PPnBM DTP tersebut diatur melalui PMK 12/2025 yang berlaku mulai 4 Februari 2025.

Insentif diberikan untuk menjaga keberlanjutan program kendaraan bermotor emisi karbon rendah. Selain itu, insentif ini juga untuk mendukung sektor industri yang memiliki multiplier effect tinggi, sekaligus mengerek pertumbuhan ekonomi nasional. Simak! Daftar Peraturan Perpajakan yang Terbit sepanjang Februari 2025

Tax Ratio RI 2024 Hanya 10,08%

Rasio perpajakan (tax ratio) Indonesia pada 2024 tercatat hanya sebesar 10,08%. Angka itu menurun bila dibandingkan dengan tax ratio 2023 yang mencapai 10,31%.

Secara sederhana, tax ratio merupakan perbandingan antara penerimaan perpajakan yang dikumpulkan pada suatu masa dengan produk domestik bruto (PDB) pada masa yang sama. Untuk itu, dengan penerimaan perpajakan senilai Rp2.232,7 triliun dan PDB nominal senilai Rp22.139 triliun pada 2024, diperoleh nilai tax ratio sebesar 10,08%. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.