JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak yang salah menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) berpotensi dilakukan pengawasan atau pemeriksaan oleh Ditjen Pajak (DJP). Topik tersebut menjadi salah satu ulasan utama media nasional pada hari ini, Senin (29/9/2025).
Kesalahan dalam menggunakan NPPN kini dikategorikan sebagai data konkret berupa bukti transaksi atau data yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan wajib pajak.
"Bukti transaksi atau data perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa ... penghasilan yang tidak atau kurang dilaporkan berdasarkan data bukti potong yang dimiliki DJP dan/atau kekeliruan sehubungan dengan penggunaan NPPN," bunyi Pasal 2 ayat (2) huruf f Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-18/PJ/2025.
Dalam hal data konkret ditindaklanjuti dengan pemeriksaan, pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan spesifik atas data konkret sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 15/2025.
Pemeriksaan spesifik adalah pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara spesifik atas 1 atau beberapa pos dalam SPT dan/atau SPOP, data, atau kewajiban perpajakan tertentu secara sederhana.
Jangka waktu pemeriksaan spesifik terdiri atas jangka waktu pengujian selama 1 bulan dan jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan (PAHP) selama 30 hari.
Namun, dalam hal pemeriksaan spesifik dilakukan oleh karena data konkret yang mengindikasikan adanya kekurangan pembayaran pajak oleh wajib pajak, jangka waktu pengujian dipangkas menjadi 10 hari kerja. Adapun jangka waktu PAHP juga dipangkas menjadi 10 hari kerja.
Sebagai informasi, NPPN adalah pedoman yang disediakan bagi wajib pajak untuk menentukan besarnya penghasilan neto. Pedoman dimaksud diterbitkan oleh Ditjen Pajak (DJP) dan disempurnakan secara terus menerus.
Wajib pajak yang berhak menggunakan NPPN untuk menghitung penghasilan neto adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan memiliki peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar dalam setahun.
Saat ini, NPPN untuk setiap kegiatan usaha atau pekerjaan bebas wajib pajak orang pribadi telah diperinci dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015.
Selain topik tersebut, terdapat ulasan tentang upaya penagihan tunggakan pajak yang telah inkrah. Kemudian, ada pembahasan soal penundaan pemungutan PPh Pasal 22 oleh penyedia marketplace serta keputusan mempertahankan tarif cukai rokok pada 2026.
Data yang telah diterbitkan surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (SP2DK) dan sudah dibuatkan berita acara P2DK yang memuat persetujuan pemenuhan kewajiban pajak oleh wajib pajak dikategorikan sebagai data konkret.
Data yang sudah diterbitkan SP2DK dan berita acara P2DK yang memuat persetujuan wajib pajak merupakan data konkret bila pemenuhan kewajiban pajak dalam berita acara tidak dipenuhi sampai dengan batas waktu yang disetujui oleh wajib pajak.
"Data dan/atau keterangan yang telah: diterbitkan SP2DK; dan dibuat berita acara P2DK yang memuat persetujuan wajib pajak atas pemenuhan kewajiban perpajakan dan telah ditandatangani wajib pajak, wakil wajib pajak, atau kuasa, namun pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut belum atau tidak dipenuhi sampai dengan batas waktu yang telah disetujui oleh wajib pajak, yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan wajib pajak," bunyi Pasal 2 ayat (2) huruf h Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-18/PJ/2025. (DDTCNews)
Pemerintah terus berupaya mengejar pembayaran tunggakan pajak dari 201 wajib pajak pada tahun ini.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melaporkan sudah ada 84 wajib pajak yang telah mencicil utang pajaknya hingga September 2025. Adapun jumlah angsuran pembayaran utang pajak tersebut mencapai Rp5,1 triliun.
"Hingga September, ada 84 wajib pajak yang telah melakukan pembayaran atau angsuran dengan total nilai Rp5,1 triliun. Ini akan kami kejar terus," katanya. (DDTCNews, Bisnis Indonesia, Kontan)
Jaga Daya Beli, Purbaya Tunda Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Marketplace
Pemerintah memutuskan untuk menunda penunjukan penyedia marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22.
Purbaya mengatakan penunjukan penyedia marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22 sesuai dengan PMK 37/2025 dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi.
"Saya lihat begini, ini kan baru ribut-ribut kemarin. Kita tunggu dulu deh, paling tidak sampai kebijakan Rp200 triliun untuk mendorong perekonomian mulai kelihatan dampaknya, baru kita akan pikirkan nanti," katanya. (DDTCNews, Bisnis Indonesia, Detik.com)
Pemerintah juga menegaskan tidak akan mengerek tarif cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok pada 2026. Purbaya mengaku rencana kebijakan tersebut sudah disampaikan kepada para produsen rokok.
"Saya diskusi dengan mereka apakah saya perlu mengubah tarif cukai ya di 2026, mereka bilang asal tidak berubah sudah cukup. Ya sudah tidak saya ubah. Jadi tahun 2026 tarif cukai tidak kita naikin," ujarnya.
Melalui PMK 96/2024 dan PMK 97/2024, pemerintah juga tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau pada tahun ini, tetapi hanya menaikkan harga jual eceran (HJE) di hampir seluruh produk rokok. (DDTCNews, Kontan, Bisnis Indonesia)
Ditjen Imigrasi Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan mencatatkan hingga 23 September 2025 telah menerbitkan 1.012 golden visa Indonesia, dengan nilai investasi lebih dari Rp48 triliun.
Plt. Direktur Jenderal Imigrasi Yuldi Yusman menyebutkan capaian ini mengindikasikan kepercayaan masyarakat internasional terhadap iklim investasi di Indonesia.
"Golden visa Indonesia merupakan salah satu program unggulan Ditjen Imigrasi yang diharapkan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini sejalan dengan fungsi keimigrasian sebagai fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat," katanya. (DDTCNews, Antara, Tempo).
(dik)