JAKARTA, DDTCNews - Pemanfaatan insentif pajak terkait dengan kegiatan filantropi di Indonesia dinilai masih belum maksimal.
Berdasarkan estimasi belanja pajak 2025 pada Laporan Belanja Perpajakan 2023, pajak yang tidak dipungut karena adanya fasilitas pajak berupa sumbangan sebagai pengurang penghasilan bruto hanya sekitar Rp17 miliar.
Tak hanya itu, pengecualian pajak atas sisa lebih lembaga sosial/keagamaan diestimasikan hanya mencapai Rp6 miliar, sedangkan pengecualian pajak atas sisa lebih lembaga pendidikan/litbang mencapai Rp1,6 triliun.
"Dengan nilai yang masih kecil, artinya keberpihakan pemerintah untuk insentif di bidang filantropi itu masih sedikit. Atau kedua, masih sedikit orang-orang yang memanfaatkan insentif tersebut," kata Director of DDTC Fiscal Research and Advisory B. Bawono Kristiaji, Jumat (8/8/2025).
Minimnya pemanfaatan insentif pajak terkait dengan filantropi bisa jadi disebabkan oleh teknis pemanfaatan insentif yang sulit, minimnya sosialisasi, atau akibat tidak selarasnya insentif yang tersedia dengan model bisnis filantropi.
Dari sisi organisasi yang menerima dan mengelola sumbangan, insentif pajak saat ini berupa pengecualian pajak atas sisa lebih hanya berlaku untuk lembaga nirlaba yang melakukan aktivitas pendidikan, litbang, sosial, atau keagamaan.
Untuk mendapatkan insentif dimaksud, lembaga yang melakukan aktivitas pendidikan, litbang, sosial, atau keagamaan harus terdaftar pada instansi pemerintah yang membidanginya.
"Kritik utama dari skema seperti ini adalah kita lebih merujuk pada organisational test-nya. Hanya mengikat kepada organisasi tertentu yang terdaftar di instansi pemerintah," ujar Bawono.
Dari sisi pemberi sumbangan, sistem pajak Indonesia telah memungkinkan wajib pajak untuk mengeklaim sumbangan sebagai pengurang penghasilan bruto.
Namun, sumbangan yang bisa dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto dibatasi hanya untuk sumbangan tertentu, yakni sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, sumbangan fasilitas pendidikan, dan sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga.
Kriteria-kriteria yang ada juga tidak memungkinkan individu untuk memanfaatkan insentif pajak atas sumbangan yang diberikan. Misal, sistem pajak Indonesia saat ini masih belum mengakomodasi sumbangan oleh individu melalui crowdfunding.
Tak hanya itu, sistem pajak Indonesia juga tidak memungkinkan pemberi sumbangan untuk mengurangkan sumbangan dari penghasilan bruto bila pemberi sumbangan memiliki hubungan istimewa dengan lembaga penerima sumbangan.
"Mengapa kita tidak mencontoh negara lain. Boleh saja [sebagai pengurang penghasilan bruto] selama ada pembuktian bahwa dengan hubungan istimewa tersebut tidak ada tax planning dan manipulasi transfer pricing di situ," tutur Bawono.
Lebih lanjut, Bawono juga mencatat bahwa ketentuan PPN yang berlaku di Indonesia masih belum mengakomodasi pemberian sumbangan. Sebab, pemberian sumbangan saat ini berupa barang dan jasa masih diperlakukan sebagai pemberian cuma-cuma berdasarkan SE-04/PJ.51/2002.
Mengingat pemberian sumbangan berupa barang dan jasa juga tercakup dalam rezim pemberian cuma-cuma maka barang dan jasa tersebut juga dikategorikan sebagai objek yang terutang PPN.
"Dari sisi PPN pun masih ada kendala. Ini seharusnya dipisahkan antara tujuan donasi dengan tujuan komersial semisal dalam rangka promosi dan barang contoh," kata Bawono.
Sementara itu, Ketua Tax Center FIA UI Gunadi mengatakan filantropi dan pajak sesungguhnya memiliki tujuan yang sama, yakni kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menyeimbangkan peran pajak dalam optimalisasi penerimaan dan peran filantropi menyejahterakan manusia.
Guna mendorong masyarakat untuk turut serta dalam kegiatan filantropi, pemerintah perlu memberikan suatu keringanan pajak yang terkait dengan kegiatan filantropi.
"Memang tujuan utama pajak adalah penerimaan. Namun, dalam good tax structure, harus ada policy dalam rangka stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi," ujar Gunadi.
Di tempat yang sama, ESG and Compliance Head dari APP Group Sera Noviany selaku perwakilan korporasi dalam sesi paralel mengatakan pihaknya telah melakukan kegiatan filantropi melalui corporate social responsibility (CSR).
Sayangnya, masih terdapat sebagian CSR yang tidak memenuhi kriteria sehingga biaya CSR dimaksud tidak bisa diklaim sebagai pengurang penghasilan bruto.
"Kami mengembangkan pemberdayaan masyarakat dalam program payung seperti Desa Makmur Peduli Alam yang berfokus pada peningkatan kapasitas masyarakat, perempuan, dan generasi muda. Hal-hal seperti ini tidak tercakup dalam insentif yang ada saat ini," ujar Sera.
Manajer Pilar Pembangunan Ekonomi pada Sekretariat Nasional SDGs (TPB/SDGs) Bappenas Setyo Budiantoro selaku perwakilan pemerintah pun mengungkapkan tren filantropi di dunia saat ini sedang bergerak menuju result-based philanthropy.
Menurut Setyo, result-based philanthropy diperlukan untuk mendorong lembaga filantropi untuk menerapkan program yang berorientasi dampak. Dia berpandangan insentif pajak bagi filantropi perlu dikaitkan dengan hal tersebut.
"Insentif yang diminta atas filantropi yang dilakukan itu harus berdampak juga. Jadi, bukan sekadar memberi. Oleh karena itu, perlu ada lembaga yang memastikan result-nya seberapa besar, kredibel atau tidak," ujar Setyo. (rig)