JAKARTA, DDTCNews – Belum adanya ketentuan teknis terkait dengan perpanjangan masa berlaku PPh final 0,5% membuat wajib pajak UMKM terkendala saat pengajuan surat keterangan PP 55/2022. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Selasa (18/3/2025).
Mengingat peraturan perpanjangan masa berlaku PPh final UMKM bagi wajib pajak orang pribadi selama 1 tahun pajak tersebut masih belum terbit, Ditjen Pajak (DJP) DJP belum bisa menerbitkan surat keterangan (suket) PP 55 bagi wajib pajak dimaksud.
"Sampai dengan saat ini terkait ketentuan teknis yang mengatur belum terbit. Alhasil, terdapat kendala saat permintaan surat keterangan PP 55," cuit Kring Pajak di media sosial.
Sebagaimana yang sebelumnya dijanjikan pemerintah, perpanjangan masa berlaku PPh final UMKM selama setahun akan diberlakukan bagi wajib pajak orang pribadi yang sudah memanfaatkan skema ini selama 7 tahun pajak, yakni 2018 hingga 2024.
Dengan demikian, jika misalnya terdapat wajib pajak orang pribadi UMKM yang baru memanfaatkan skema PPh final selama 2 tahun maka wajib pajak dimaksud masih dapat memanfaatkan skema PPh final UMKM hingga 5 tahun ke depan.
"Perpanjangan ini khusus untuk yang sudah mendapatkan insentif ini selama 7 tahun. Jadi, diberikan perpanjangan setahun lagi. Namun, bagi penggiat UMKM yang baru menjalankan insentif kurang lebih 2 tahun masih memiliki waktu 5 tahun," kata Menteri UMKM Maman Abdurrahman.
Sebagai informasi, suket PP 55 adalah surat yang menerangkan bahwa wajib pajak memenuhi kriteria sebagai wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, yakni maksimal Rp4,8 miliar sesuai dengan PP 55/2022.
Suket PP 55 diperlukan agar wajib pajak UMKM dikenai pemotongan PPh sebesar 0,5% bersifat final ketika bertransaksi dengan pihak yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut PPh.
Apabila wajib pajak UMKM tidak menunjukkan suket PP 55 maka penghasilan yang diterima wajib pajak UMKM dari penjualan kepada pemotong tersebut akan dipotong PPh selain PPh final UMKM 0,5%.
Selain topik tersebut, ada pula ulasan mengenai Ikatan Dokter Anak Indonesia yang meminta relaksasi PPh Pasal 21. Kemudian, ada juga bahasan mengenai progres perbaikan coretax system, target rasio kepatuhan formal pada tahun ini, dan lain sebagainya.
Pemerintah sebelumnya telah memastikan PPh final sebesar 0,5% untuk UMKM tetap diperpanjang hingga 2025. Perpanjangan diberikan meski kebijakan ini tidak tercakup dalam paket stimulus yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan perpanjangan periode PPh final dengan tarif 0,5% selama setahun bagi UMKM orang pribadi ini telah disetujui di internal pemerintah. Namun, kebijakan ini memang tidak termasuk dalam paket stimulus.
"Itu sudah disetujui. Ya, [kebijakan tetap berlanjut]," kata Airlangga. (DDTCNews)
Sebanyak 5.496 dokter spesialis anak yang tergabung dalam Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menyesuaikan ketentuan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima dokter.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 168/2023, PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima dokter dikenakan berdasarkan penghasilan bruto sebelum dikurangi bagi hasil dengan rumah sakit dan biaya operasional.
"Hal ini berdampak negatif bagi dokter yang mayoritas memberikan layanan kepada pasien JKN," tulis IDAI dalam surat yang ditujukan kepada menteri keuangan. (DDTCNews)
DJP belum dapat memastikan kapan seluruh permasalahan dalam coretax system akan sepenuhnya teratasi. Hingga saat ini, keluhan dari wajib pajak terkait dengan penggunaan coretax system masih terus bermunculan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengeklaim coretax telah menunjukkan peningkatan kinerja yang signifikan.
"Berdasarkan hasil evaluasi dan pemantauan, Coretax DJP telah mengalami peningkatan kinerja sistem, khususnya pada proses login, registrasi, penerbitan faktur pajak, pelaporan SPT, dan pembuatan bukti potong," tuturnya. (Kontan)
Unit eselon I Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan melaksanakan upaya optimalisasi penerimaan pajak melalui kegiatan joint program terhadap lebih dari 2.000 wajib pajak.
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan joint program merupakan salah satu inisiatif strategis yang diambil oleh pemerintah untuk menekan kesenjangan pajak (tax gap).
"Joint program antara eselon I Kemenkeu, ada lebih dari 2.000 wajib pajak sudah diidentifikasi. Kami akan lakukan analisis, pengawasan, pemeriksaan, penagihan, dan intelijen. Mudah-mudahan ini bisa memberikan tambahan penerimaan," katanya. (DDTCNews/Kontan)
DJP menargetkan rasio kepatuhan wajib pajak dalam menyampaikan SPT Tahunan atau kepatuhan formal sebesar 81,92% pada tahun ini. Setidaknya terdapat 6 langkah strategis yang akan dilakukan untuk mengejar target rasio kepatuhan formal tersebut.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan otoritas akan melaksanakan berbagai langkah untuk mencapai target rasio kepatuhan formal tersebut. Meski begitu, target tersebut lebih rendah dari rasio kepatuhan formal pada tahun lalu sebesar 85,75%.
"DJP akan melakukan berbagai upaya untuk mendorong kepatuhan SPT Tahunan PPh," katanya. (DDTCNews)
Berbeda dengan pelaksanaan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pajak yang terbagi dalam 3 tipe, pemeriksaan untuk tujuan lain tidak terbagi dalam tipe-tipe tertentu.
Merujuk pada Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 15/2025, pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
"Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan…dapat berupa penentuan, pencocokan, pemenuhan kewajiban berdasarkan ketentuan perundang-undangan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan," bunyi pasal 3 ayat (3). (DDTCNews)