RUU KUHAP

Dinilai Mendesak, Akademisi Dorong Pengesahan RUU KUHAP

Redaksi DDTCNews
Sabtu, 15 November 2025 | 13.45 WIB
Dinilai Mendesak, Akademisi Dorong Pengesahan RUU KUHAP
<p>Guru Besar Hukum Konstitusi Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan Prof. Dr. Andi Asrun, S.H., M.H..</p>

JAKARTA, DDTCNews - Parlemen didesak segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pengesahan RUU KUHAP dianggap mendesak lantaran beleid tersebut menjadi peraturan pelaksana atas Kitab Undang-Undang Hukum Nasional (KUHP Nasional) yang baru berlaku awal Januari 2026.

Guru Besar Hukum Konstitusi Universitas Pakuan Andi Asrun menyampaikan, pembahasan RUU KUHAP turut memastikan kejelasan dan pembagian kewenangan antara aparat penegak hukum (APH) agar tidak tumpang tindih. Publik, ujarnya, mendukung terciptanya hukum acara pidana yang efisien, transparan, adil, dan tetap menjunjung tinggi HAM.

"RUU KUHAP mendesak untuk segera disahkan, karena UU KUHP baru akan berlaku pada 2 Januari 2026. Selain itu, pengesahan RUU KUHAP dinilai penting karena KUHAP merupakan hukum formal yang mengoperasikan pemberlakuan KUHP sebagai hukum materiel," kata Andi dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (15/11/2025).

Menurut Andi, RUU KUHAP sudah berorientasi pada KUHP yang disusun dengan merujuk pada paradigma hukum pidana modern, yaitu pada keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif. Karenanya, keadilan restoratif juga dimungkinkan di dalam RUU KUHAP untuk semua tingkatan yaitu kepolisian, pengadilan, kejaksaan, bahkan sampai ketika orang tersebut merupakan penghuni lembaga pemasyarakatan.

Nilai Lebih RUU KUHAP

Pada awal pembahasan RUU KUHAP, pemerintah dan Komisi III DPR telah mengklasifikasi 29 klaster masalah RUU KUHAP. Masalah-masalah tersebut, antara lain pemblokiran, penghapusan istilah penyidik utama, penuntut umum tertinggi, penyandang disabilitas, serta kebutuhan khusus dan kelompok rentan. Selanjutnya, pengawasan penyelidikan, penjelasan intimidasi, kewenangan penuntut umum dalam menghentikan penuntutan melalui denda damai, hingga mekanisme restorative justice.

Dalam RUU KUHAP ini memuat materi terkait dengan penguatan perlindungan hak-hak tersangka, terpidana, korban, sanksi, bantuan hukum, pendampingan advokat, serta perlindungan dari ancaman intimidasi. Penguatan peran advokat mencakup pendampingan advokat kepada tersangka dan terdakwa di setiap tahap pemeriksaan.

Kemudian setelah selesainya pembahasan RUU KUHAP, Komisi III DPR kembali mengklasifikasi permasalahan dalam materi RUU KUHAP menjadi 14 materi terkait revisi hukum acara pidana dalam KUHAP baru.

Pertama, penyesuaian hukum acara pidana dengan memperhatikan perkembangan hukum nasional dan internasional.

Kedua, penyesuaian pengaturan hukum acara pidana dengan nilai-nilai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang menekankan orientasi restoratif, rehabilitatif, dan restitutif guna mewujudkan pemulihan keadilan substansi dan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat.

Ketiga, penegasan prinsip diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana, yaitu pembagian peran yang proporsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, dan pemimpin kemasyarakatan.

Keempat, perbaikan pengaturan mengenai kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum, serta penguatan koordinasi antarlembaga untuk meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas sistem peradilan pidana.

Kelima, penguatan hak-hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi. Termasuk, hak atas bantuan hukum, pendampingan advokat, hak atas peradilan yang adil, dan tidak memihak, serta perlindungan terhadap ancaman, intimidasi, atau kekerasan dalam setiap tahap penegakan hukum.

Keenam, penguatan peran advokat sebagai bagian integral sistem peradilan pidana, mencakup kewajiban pendampingan dan pemberian bantuan hukum cuma-cuma oleh negara.

Ketujuh, pengaturan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice) sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, yang dapat dilakukan sejak tahap penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan.

Kedelapan, perlindungan khusus terhadap kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, perempuan, anak, dan lanjut usia, disertai kewajiban aparat untuk melakukan asesmen dan menyediakan sarana dan prasarana pemeriksaan yang ramah.

Kesembilan, penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam setiap tahap pemeriksaan.

Kesepuluh, perbaikan pengaturan tentang upaya paksa untuk menjamin penerapan prinsip perlindungan HAM dan due process of law, termasuk pembatasan waktu syarat penetapan dan mekanisme kontrol yudisial melalui izin pengadilan dan atas tindakan aparat penegak hukum.

Kesebelas, pengenalan mekanisme hukum baru dalam hukum acara pidana, antara lain pengakuan bersalah bagi terdakwa yang kooperatif dengan imbalan keringanan hukuman dan perjanjian penundaan penuntutan bagi pelaku tindak pidana korporasi.

Kedua belas, pengaturan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi.

Ketiga belas, pengaturan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi secara lebih tegas sebagai hak hukum korban dan pihak yang dirugikan akibat kesalahan prosedur atau kekeliruan penegakan hukum.

Keempat belas, modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan proses peradilan yang cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel.

Revisi KUHAP sesuai Perkembangan

Andi melanjutkan, revisi KUHAP telah dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan hukum, kebutuhan masyarakat, dan harmonisasi dengan berbagai aturan terbaru yang telah diterapkan dalam praktik peradilan. Penyesuaian tersebut untuk lebih memastikan bahwa hukum acara pidana tidak hanya menjadi alat kepastian hukum, tetapi juga sarana keadilan yang lebih manusiawi, modern, dan responsif terhadap tantangan zaman.

KUHAP versi perubahan ini, ujar Andi, lebih maju dalam berorientasi pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. Keadilan restoratif ditujukan kepada korban. Sementara keadilan rehabilitatif ditujukan kepada keduanya, yakni pelaku maupun korban.

"Keadilan korektif, keadilan restoratif, maupun keadilan rehabilitatif membutuhkan sistem peradilan pidana yang menjunjung tinggi HAM serta berdasarkan prinsip yang berlaku universal di seluruh dunia, yakni due process of law atau proses hukum yang adil dan menjamin hak kemerdekaan warga negara," kata Andi.

Andi menambahkan, RUU KUHAP dapat disetujui bersama dalam rapat paripurna DPR untuk disahkan menjadi UU, sebagai landasan yuridis penyelenggaraan hukum acara pidana di Indonesia. Dalam perjalanan 4 dekade sejak terbit UU 8/1981, menurutnya, telah terjadi perubahan nilai-nilai hukum, sosial, dan revolusi teknologi yang berdampak besar pada sistem peradilan pidana.

"Kejahatan lintas negara, siber, ekonomi modern, dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap HAM menuntut adanya KUHAP modern, adaptif dan berkeadilan," kata Andi. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.