ADA kutipan tua berusia 25 abad yang maknanya masih sangat relevan sampai hari ini: perubahan adalah keniscayaan. Frasa ini dilontarkan oleh Herakleitos, filsuf nyentrik yang hidup sezaman dengan Pythagoras.
Bisa saja pemahamannya sederhana. Namun, pemikir asal Efesus itu berhasil membaca bahasa semesta yang paling nyata, yakni perubahan sebagai bentuk adaptasi manusia dalam melanjutkan hidup.
Lihat saja, wujud modernisasi sebagai hasil dari perubahan-perubahan yang beragam dan tak singkat. Tahapannya bertingkat, berlaku di nyaris semua wujud masyarakat. Sederhananya, perubahan menjadi modal kemajuan.
Hal-hal berubah di semua lini, termasuk di tataran kebijakan yang disusun pemerintah. Kebijakan lama dievaluasi, yang baik diapresiasi, yang buruk diakhiri. Kemudian, lahirlah kebijakan yang mengakomodasi pembaruan.
Skenario di atas, jika kita boleh tarik benang merahnya, terjadi juga pada lanskap perpajakan di Indonesia. Kebijakan pajak nasional telah mengalami perubahan ini-itu dalam beberapa beberapa dekade terakhir. Lajunya makin cepat belakangan ini, menyesuaikan dengan situasi global yang tak kalah dinamis.
Dalam bahasa pajak, perubahan kebijakan disusun demi mengejar penerimaan yang optimal. Celah-celah penghindaran ditutup, administrasinya dimudahkan. Artinya, semua pihak diuntungkan.
Perubahan paling kentara, bisa dilihat dari gegapnya pemerintah merancang dan menjalankan reformasi perpajakan jilid III yang sudah berlangsung sejak 2016. Di dalamnya, mencakup pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP) atau yang beken disebut sebagai coretax administration system (CTAS).
Ada beberapa poin penting PSIAP yang sangat relevan dengan perubahan lanskap pajak internasional. Salah satunya, pemanfaatan teknologi untuk mendesain administrasi perpajakan menjadi lebih mudah. Ujungnya, pelayanan dan pengawasan bisa berjalan bersama secara optimal.
Pembaruan coretax system ini turut mengubah cara otoritas pajak dalam memanfaatkan data eksternal, termasuk hasil pertukaran dengan negara lain atau yurisdiksi mitra. Melalui pembaruan coretax system, hasil dari Automatic Exchange of Information (AEoI) akan melebur dengan 20 proses bisnis lainnya.
Nantinya, compliance risk management (CRM) akan diintegrasikan ke dalam coretax administration system. CRM akan memudahkan DJP dalam menentukan secara efektif wajib pajak mana yang perlu dilayani, diawasi, dan diaudit sebagai bentuk penegakan aturan pajak untuk meningkatkan kepatuhan.
Integrasi CRM dan business intelligent (BI) ke dalam coretax system pada akhirnya juga memengaruhi proses bisnis yang berkaitan dengan pajak internasional. Misalnya, pemanfaatan CRM Transfer Pricing yang memberikan peta risiko wajib pajak yang menggunakan transfer pricing untuk penghindaran pajak. Hal ini memperkuat posisi pengawasan otoritas. Terlebih, DJP sudah melakukan pertukaran data lewat automatic exchange of information (AEOI).
Dalam bahasa yang sederhana, Ditjen Pajak (DJP) bakal punya lensa lebih jernih untuk melakukan pengawasan. Era transparansi tampak nyata di depan mata.
Reformasi di Domestik, Kebijakan Eksternal Ikut Menyesuaikan
Berangkat dari reformasi perpajakan yang berjalan cepat saat ini, otoritas lantas melakukan sejumlah perubahan dan penyesuaian kebijakan pada aspek eksternal.
Jika dipahami kembali, sesungguhnya kebijakan pajak disusun untuk mengoptimalkan penerimaan. Sumber-sumber penerimaan ini, yang berasal dari dalam dan luar negeri, perlu diamankan dengan regulasi yang pasti. Karenanya, kebijakan perpajakan internasional menjadi bagian yang tak terpisahkan dari peta jalan yang disiapkan pemerintah.
Indonesia ikut berperan aktif dalam mereformasi sistem perpajakan global yang adaptif dengan tantangan saat ini, terutama digitalisasi ekonomi. Isu penghindaran pajak, dikuatkan oleh masifnya perkembangan ekonomi digital, menjadi 'musuh bersama' banyak negara di dunia.
Berangkat dari kondisi tersebut, pada 2015 lalu negara anggota G-20 dan OECD menyusun BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) Action Plan yang berfokus untuk melawan praktik penghindaran pajak. Kesepakatan bersama ini populer disebut sebagai BEPS 1.0.
Berselang hingga saat ini, salah satu action plan yang masih tersisa dan belum diimplementasikan adalah pemajakan digitalisasi ekonomi. Kebijakannya kemudian tertuang dalam 2 pilar utama yang menjadi fondasi dalam pemajakan ekonomi digital. Solusi 2 pilar ini kemudian populer disebut sebagai BEPS 2.0.
Pertama, proposal Pilar 1: Unified Approach sebagai solusi yang menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital karena tidak lagi berbasis kehadiran fisik.
Pilar 1 mengatur perusahaan multinasional dengan peredaran bruto dan keuntungan tertentu. Dalam hal ini, pilar tersebut akan dapat dikenakan pada sektor digital yang selama ini menjadi isu antara negara G-20 dan seluruh dunia.
Kedua, Pilar 2: Global anti-Base Erosion Rules (GloBE) yang diyakini dapat mengurangi kompetisi pajak serta melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak minimum secara global, sebesar 15%. Pilar tersebut akan menjadi solusi pemajakan pada perusahaan-perusahaan yang bergerak antarnegara sehingga memungkinkan terjadinya upaya menghindari pajak.
Tarif pajak minimum akan dikenakan pada perusahaan multinasional yang memiliki peredaran bruto tahunan EUR750 juta atau lebih. Dengan pajak minimum, persaingan tarif yang tidak sehat di antara negara-negara yang selama ini terjadi bisa dihentikan.
Hingga pengujung 2022 ini, jalan menuju konsensus pajak global sepertinya masih cukup terjal. Pasalnya, banyak negara anggota Inclusive Framework yang beranggapan kedua pilar merupakan sebuah kesatuan. Implementasinya, sebisa mungkin berjalan berbarengan.
Indonesia, bersama banyak negara lainnya, masih perlu menunggu implementasi kedua pilar. Hingga saat ini, Pilar 1 masih terus dibahas dan belum memiliki kesepakatan terbaru. Adapun model rules Pilar 2 telah diselesaikan. Secara kasat mata, Pilar 2 punya peluang diimplementasikan lebih dulu ketimbang Pilar 1. Apapun skenario yang terwujud, Indonesia sudah harus siap menjalankan kesepakatan global nantinya.
Dalam rilisnya, OECD menilai negara berkembang akan lebih diuntungkan dengan implementasi konsensus pajak global. Alasannya, penerimaan pajak dari ekonomi digital akan menjadi sumber penerimaan yang menjanjikan, terutama pada negara berkembang yang memiliki pasar besar.
Senior Partner DDTC Danny Septriadi menilai Indonesia sebagai negara berkembang memang akan ikut mendapat keuntungan dari konsensus. Penerapan solusi 2 pilar diyakini dapat memperkecil peluang penghindaran pajak.
Dalam poin tersebut, dia menilai negara berkembang akan lebih diuntungkan karena potensi penghindaran pajak di negara maju sudah lebih kecil.
"Semua akan mendapat dampak [positif] karena konsensus akan menciptakan perlakuan pajak yang setara atau level playing field," katanya.
Terkait dengan upaya untuk memerangi penghindaran pajak di luar solusi 2 pilar, Indonesia pada saat ini sudah mempunyai beberapa instrumen. Secara umum, ada 2 jenis anti-avoidance rule, yakni Specific Anti-Avoidance Rule (SAAR) dan General Anti-Avoidance Rule (GAAR). Indonesia, baru menjalankan skema yang spesifik, yakni SAAR.
Instrumen antipenghindaran pajak pada skema spesifik (SAAR) mencakup transfer pricing, thin capitalization, controlled foreign corporation rule (CFC Rule), dan treaty shopping.
Di luar instrumen SAAR di atas, sebenarnya masih banyak instrumen antipenghindaran pajak yang diterapkan banyak yurisdiksi di dunia. Salah satunya, instrumen GAAR. Kendati belum diatur di tataran undang-undang, prinsip substance over form, yang mirip dengan GAAR, telah diatur dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan diperkuat melalui PP 55/2022.
"Jika instrumen pencegahan spesifik tidak dapat digunakan, Dirjen Pajak dapat menerapkan prinsip substance over form," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor.
PP 55/2022 juga turut menyusun prioritas pengawasan atas wajib pajak grup. Beleid ini turut merancang pendekatan yang berfokus pada tantangan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba lainnya. Pemerintah ingin memastikan bahwa grup perusahaan multinasional yang beroperasi secara internasional setidaknya membayar pajak dengan tarif pajak minimum global yang disepakati dalam perjanjian atau kesepakatan.
PP 55/2022 menjabarkan tujuan dilakukannya perjanjian internasional di bidang perpajakan, yakni untuk penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak, serta kerja sama perpajakan lainnya.
Kedepankan Cooperative Compliance
Beragam instrumen pencegahan penghindaran pajak sudah dimiliki pemerintah. Bahkan melalui PP 55/2022 menekankan kembali ide implementasi GAAR. Namun, pemerintah tidak ingin gegabah.
Direktur Perpajakan Internasional Mekar Satria Utama menyampaikan pemerintah tetap memprioritaskan instrumen SAAR dalam penanganan temuan penghindaran pajak. Skema GAAR, ujarnya, bakal menjadi lapis kedua dalam penangangan kasus penghindaran pajak.
"Kami tidak ingin GAAR-nya menjadi terlalu luas sehingga seolah-olah menjadi sebuah kewenangan baru bagi DJP dan bisa mengenakan apa pun. Itu yang kami jaga hati-hati sekali. Kami bicara tentang cooperative compliance," ujar Mekar dalam wawancara khusus dengan DDTCNews.
Dikutip dari buku Era Baru Hubungan Otoritas Pajak dengan Wajib Pajak yang ditulis oleh Darussalam, Danny Septriadi, B. Bawono Kristiaji, dan Denny Vissaro, kepatuhan kooperatif didasari oleh kerja sama dan asas saling percaya antara otoritas dan wajib pajak. Poin utama paradigma ini adalah hubungan setara antara otoritas pajak dan wajib pajak, di mana terdapat gagasan transparansi yang dipertukarkan dengan kepastian.
Lebih Aktif dalam Kerja Sama Perpajakan Internasional
Kesekapatan perpajakan global kerap kali tidak bisa lepas dari dinamika politik yang terjadi. Hal ini pula yang ikut mewarnai penjajakan konsensus pajak global yang tertuang dalam solusi 2 pilar, Pilar 1 dan Pilar 2. Alotnya diskusi di kancah internasional juga sempat dirasakan Indonesia saat memimpin presidensi G-20 pada tahun ini. Terbukti, alih-alih terlahir komunike, Presidensi G-20 Indonesia cukup dengan hasil berupa leaders declaration.
Kendati begitu, capaian ini tetap perlu diapresiasi. Tidak mudah bagi Indonesia memimpin perundingan di tengah tensi global yang masih tinggi. Indonesia tetap berjuang menahan hasrat beberapa negara yang ingin kembali ke sifat unilateralisme.
"Yang perlu dijaga adalah keterbukaan. Indonesia berusaha di tengah. Kami yakin peran bebas aktif itu policy utama Indonesia dengan merangkul banyak pihak," ujar Mekar.
Terlepas dari dinamika yang terjadi, Indonesia sudah sepenuh tenaga memainkan perannya di tengah lanskap perpajakan internasional. Masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang menanti, terutama memastikan basis pajak tidak makin tergerus akibat penghindaran pajak.
Barangkali 2023 menjadi tahun yang penuh 'tergesa-gesa' bagi Indonesia. Di sisi domestik, pelaksanaan PSIAP atau coretax system bakal mulai diuji coba. Di sisi internasional, nasib kelanjutan solusi 2 pilar masih perlu disimak dengan ekstra hati-hati. Apapun yang terjadi, pemerintah perlu bergegas menyiapkan diri.
Konsensus pajak global perlu dicapai dengan memastikan keuntungan yang didapat lebih optimal. Ingat, ditutupnya celah penghindaran pajak bukan semata-mata demi mengamankan penerimaan. Lebih jauh, Indonesia perlu memastikan bahwa cita-cita mewujudkan level playing field yang setara dalam pemajakan internasional benar-benar terwujud. (sap)