JAKARTA, DDTCNews - Dirjen Pajak Bimo Wijayanto mengatakan akan bertabayun terkait dengan fatwa perpajakan yang baru diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Tabayun berarti memverifikasi atau mengklarifikasi sebuah informasi sebelum bertindak. Menurut Bimo, tabayun diperlukan untuk menghindari polemik yang tidak perlu terkait dengan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI.
"Setelah ini kami juga akan tabayun, supaya menghindari polemik perbedaan pendapat yang tidak perlu," ujar Bimo, Selasa (25/11/2025).
Menurut Bimo, pajak yang diterapkan oleh pemerintah pusat sudah sesuai dengan fatwa yang ditetapkan oleh MUI. Contoh, saat ini tidak ada pengenaan pajak terhadap orang yang tidak sesuai dengan kemampuannya.
Pajak hanya dikenakan terhadap wajib pajak yang memiliki kemampuan finansial, yakni mereka dengan penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) atau UMKM dengan omzet di atas Rp500 juta.
Pemerintah juga tidak mengenakan pajak terhadap barang kebutuhan pokok, sesuai dengan fatwa perpajakan yang diterbitkan oleh MUI.
"Jadi bahan pokok, misalnya, itu tidak dikenakan PPN karena itu komoditas yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak, kebutuhan dasar," ujar Bimo.
Terkait dengan PBB, Bimo mengatakan kewenangan untuk mengenakan PBB telah dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten/kota (pemkab/pemkot).
Kini, banyak pemkab/pemkot yang memberikan fasilitas PBB khusus untuk tanah dan bangunan yang digunakan untuk kepentingan nonkomersial.
"Sepemahaman kami ada fasilitas, ada diskon, ada potongan. Jadi itu pun sudah ada pertimbangan karena untuk fasilitas-fasilitas yang memang nonprofit, untuk keagamaan, untuk sosial, untuk kesehatan, untuk pendidikan, itu ada tarif khusus PBB," ujar Bimo.
Sebagai informasi, MUI menetapkan 9 poin fatwa pajak berkeadilan pada Musyawarah Nasional (Munas) ke-11 MUI yang digelar pada pekan lalu. Pertama, negara wajib dan bertanggung jawab mengelola dan memanfaatkan seluruh kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kedua, dalam hal kekayaan negara tidak cukup untuk membiayai kebutuhan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat maka negara boleh memungut pajak dari rakyat dengan ketentuan sebagai berikut:
Ketiga, pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak, secara syar'i merupakan milik rakyat yang pengelolaannya diamanahkan kepada pemerintah (ulil amri), oleh karena itu pemerintah wajib mengelola harta pajak dengan prinsip amanah yaitu jujur, profesional, transparan, akuntabel dan berkeadilan.
Keempat, barang yang menjadi kebutuhan primer masyarakat (dharuriyat) tidak boleh dibebani pajak secara berulang. Kelima, barang konsumtif yang merupakan kebutuhan primer, khususnya sembako, tidak boleh dibebani pajak.
Keenam, bumi dan bangunan yang dihuni (nonkomersial) tidak boleh dikenakan pajak berulang. Ketujuh, warga negara wajib menaati aturan pajak yang ditetapkan berdasarkan ketentuan.
Kedelapan, pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukumnya haram. Kesembilan, zakat yang sudah dibayarkan oleh umat Islam menjadi pengurang kewajiban pajak. (dik)
