TABANAN, DDTCNews – Pemkab Tabanan berjanji akan membebaskan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) atas lahan sawah di kawasan subak Jatiluwih pada 2026.
Bupati Tabanan I Komang Gede Sanjaya menyampaikan hal tersebut seusai audiensi dengan petani dan pemilik akomodasi pariwisata Jatiluwih. Sanjaya menegaskan seluruh aspirasi akan ditampung dan diteruskan kepada gubernur Bali mengingat penataan kawasan berada dalam kewenangan provinsi.
“Kami sampaikan ke bapak gubernur dan tim pansus [panitia khusus]. Masyarakat juga kami harapkan menyampaikan langsung aspirasi ke petinggi provinsi agar mereka memahami kondisi kultur Jatiluwih,” katanya, dikutip pada Senin (8/12/2025).
Selain itu, pemerintah daerah juga akan menyerap hasil pertanian di Jatiluwih melalui perusahaan daerah (Perusda). Mulai dari padi Bali, padi merah, serta berbagai produk hortikultura akan diserap sesuai dengan ketetapan harga pemerintah sehingga petani ada kepastian penjualan.
“Pemerintah daerah ikut berkontribusi agar masyarakat bisa menjaga warisan leluhur dari abad ke 11 dengan sektor pertanian dan subaknya,” jelasnya.
Audiensi tersebut digelar sebagai respons atas polemik penyegelan belasan akomodasi pariwisata di Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) oleh Pansus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (TRAP) DPRD Bali pada Selasa (2/12/2025).
Penyegelan dilakukan terhadap 13 usaha warung milik petani dan warga lokal yang dianggap melanggar. Warung-warung itu diduga melanggar ketentuan tata ruang karena berdiri di kawasan subak yang menjadi Warisan Budaya Dunia (BDW).
Sebagai bentuk kekecewaan dan protes, para petani memasang seng dan plastik hitam di sejumlah titik Daerah Tujuan Wisata (DTW) Jatiluwih. Aksi tersebut dilakukan untuk menciptakan ketidaknyamanan bagi wisatawan.
Merespons polemik itu, Bupati Tabanan pun menggelar audiensi dengan sejumlah petani dan pelaku usaha. Melalui audiensi tersebut, seperti dilansir balipost.com, perwakilan petani dan pelaku usaha menyampaikan 8 aspirasi.
Pertama, pemerintah diminta memfasilitasi aspirasi pemilik akomodasi, warung, dan restoran yang merupakan petani lokal dan putra daerah Jatiluwih.
Kedua, bangunan yang telah berdiri sebelum Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RWRW) 2023 tetap diperbolehkan beroperasi sebagai penunjang pariwisata, sedangkan bangunan baru menyesuaikan aturan terbaru.
Ketiga, permohonan perubahan ketentuan RTRW yang lebih spesifik untuk Desa Jatiluwih. Keempat, restoran dan akomodasi penting bagi ekonomi keluarga petani dan generasi muda agar tetap dapat bekerja di daerah tanpa harus merantau.
Kelima, pemerintah diharapkan menerbitkan regulasi baru yang berpihak pada masyarakat Jatiluwih serta pelaku usaha mikro dan makro setempat. Keenam, pengelolaan pariwisata diminta dikembalikan kepada subak dan adat sehingga petani memperoleh keuntungan yang lebih adil.
Ketujuh, dibuka ruang dialog dan mediasi antara pemerintah dan pengusaha lokal yang terdampak penutupan sepihak. Kedelapan, pemasangan seng merupakan bentuk protes atas penyegelan tanpa pemberitahuan resmi dan sebelum SP-3 diterima dan aksi akan berlanjut hingga tuntutan dipenuhi. (rig)
