JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak badan yang tercakup ketentuan pajak minimum global atau global minimum tax (GMT) perlu mempersiapkan diri. Pasalnya, ketentuan teknis tentang pengadministrasian pajak minimum global segera diatur melalui peraturan dirjen pajak (perdirjen). Topik ini menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Selasa (25/11/2025).
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto mengatakan penyiapan peraturan dirjen pajak dilaksanakan bersamaan dengan diseminasi kepada beberapa wajib pajak dan persiapan exchange of information terkait dengan pajak minimum global.
"Pajak minimum global ini merupakan kebijakan pajak multilateral yang mengatur bahwa setiap grup perusahaan multinasional dengan consolidated sales EUR750 juta harus membayar pajak minimum sebesar 15% di setiap yurisdiksi tempat mereka beroperasi," katanya.
Bimo menuturkan income inclusion rule (IIR) dan domestic minimum top-up tax (DMTT) dari pajak minimum global telah berlaku pada 2025.
Nanti, pajak tambahan atas penghasilan tahun pajak 2025 berdasarkan IIR dan DMTT bakal diterima sebagai penerimaan pajak pada tahun depan. Tak hanya itu, undertaxed payment rule (UTPR) juga akan diimplementasikan pada tahun depan.
"Indonesia berpotensi untuk bisa mendapatkan pajak minimum global melalui pajak tambahan atau top up tax yang dihitung dengan mekanisme IIR, UTPR, dan QDMTT. Untuk tahun pajak 2025, pembayaran pajak tambahan dibayar paling lambat sesuai ketentuan, 31 Desember 2026," ujar Bimo.
Segala aspek administrasi terkait dengan pajak minimum yang diatur dalam PMK 136/2024 dan perdirjen, mulai dari GloBE information return (GIR), notifikasi, hingga SPT terkait GloBE yang diatur, harus disampaikan pada kepada DJP pada 2027.
Pada tahun yang sama, DJP juga akan memulai implementasi exchange of information terkait dengan pajak minimum global. Adapun dokumen mengenai GIR baru akan dipertukarkan dengan yurisdiksi lain pada 2028.
Selain informasi mengenai regulasi administrasi pajak minimum global, ada pula beberapa bahasan lain yang diulas media massa pada hari ini. Di antaranya, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait dengan perpajakan, email peringatan oleh DJP mengenai coretax system, update penagihan pajak oleh otoritas pajak, hingga turunnya realisasi penerimaan PPh Pasal 21.
MUI menerbitkan fatwa terkait dengan isu perpajakan. Pertama, pajak hanya boleh dikenakan terhadap warga negara yang memiliki kemampuan finansial. Kedua, objek pajak hanya mencakup harta yang bersifat produktif atau yang termasuk kebutuhan sekunder dan tersier.
Ketiga, pajak yang dibayarkan merupakan hak rakyat yang pengelolaannya diamanahkan DJP. Keempat, sembako selaku barang kebutuhan primer tidak boleh dikenakan pajak secara berulang. Kelima, tanah dan bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal tidak boleh dipajaki secara berulang.
Keenam, warga negara harus mematuhi ketentuan perpajakan sepanjang sesuai dengan syariat. Ketujuh, zakat maal yang sudah dibayarkan umat Islam diperhitungkan sebagai pengurang pajak. (DDTCNews, Kompas)
DJP telah mengirimkan email soal penyampaian SPT Tahunan melalui coretax system kepada sekitar 13 juta wajib pajak.
Bimo Wijayanto mengatakan pengiriman email blast ini menjadi bagian dari upaya DJP memberikan edukasi mengenai coretax kepada wajib pajak. Menurutnya, edukasi terus berjalan untuk mempersiapkan wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan 2025 secara online melalui coretax.
"Kami lakukan email blast yang konsisten kepada wajib pajak terkait dengan edukasi SPT melalui coretax. Jangkauannya sekitar 13 juta wajib pajak," katanya dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi XI DPR.
Dirjen pajak mengeklaim operasional coretax system makin stabil. Peningkatan kapasitas sistem coretax terlihat dari throughput (kecepatan inetrnet) dan latensi yang makin baik.
Bimo Wijayanto juga menyampaikan, jumlah transaksi pada berbagai modul, termausk bukti potong, faktur pajak, dan penyampaian SPT Masa juga makin meningkat.
Coretax system sendiri saat ini masih dalam masa retensi atau garansi yang dikelola pihak ketiga sampai dengan 31 Desember 2025. Setelahnya, sistem Coretax akan sepenuhnya diserahkan dan dikelola oleh DJP sendiri. (Harian Kompas)
DJP telah mengumpulkan penerimaan Rp11,48 triliun dari 104 wajib pajak yang menunggak pembayaran pajak. Angka ini masih dari target Rp20 triliun yang ditaksir dari total 201 penunggak pajak.
Bimo Wijayanto menyebutkan ada sejumlah langkah yang dijalankan otoritas untuk menindaklanjuti 201 penunggak pajak. Di antaranya, penagihan aktif terhadap wajib pajak atau penanggung pajak. Juga, sinergi dengan instansi terkait seperti Jasa Agung Muda Tata Usaha Negara dan Badan Pemulihan Aset.
Sebelumnya, DJP menegaskan akan bersikap tegas terhadap wajib pajak yang tidak kooperatif. Langkah hukum ekstrem seperti pencekalan, bahkan gijzeling atau paksa badan, akan ditempuh apabila wajib pajak tetap menolak memenuhi kewajibannya. (Koran Kontan)
DJP mencatat realisasi penerimaan pajak penghasilan orang pribadi dan PPh Pasal 21 mencapai Rp191,66 triliun hingga Oktober 2025, Angka ini turun 12,8% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Bimo Wijayanto mengungkapkan terkontraksinya penerimaan PPh terimbas kebijakan tarif efektif rata-rata (TER) pada awal 2025. Skema hitungan PPh Pasal 21 melalui TER dinilai banyak menimbulkan masalah, baik bagi otoritas pajak, perusahaan, atau karyawan.
Selain itu, sejumlah pihak juga melihat penurunan realisasi penerimaan PPh Pasal 21 juga disebabkan tingginya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi sepanjang tahun ini. (Koran Kontan) (sap)
