BERITA PAJAK HARI INI

Hasil Audit BPK: CRM DJP Belum Optimal Dukung Penagihan Pajak

Redaksi DDTCNews
Rabu, 12 November 2025 | 07.00 WIB
Hasil Audit BPK: CRM DJP Belum Optimal Dukung Penagihan Pajak

JAKARTA, DDTCNews - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai Ditjen Pajak (DJP) belum menerapkan compliance risk management (CRM) secara optimal. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Rabu (12/11/2025).

Salah satu faktor penting dalam implementasi CRM ialah pemanfaatan data-data untuk memprediksi dan mengukur ability to pay dari wajib pajak yang dilakukan penagihan.

"Peta kepatuhan CRM disusun berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan oleh direktorat yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang data dan informasi perpajakan beserta direktorat teknis di lingkungan kantor pusat DJP," tulis BPK dalam LHP LKPP 2024.

Belum optimalnya penggunaan CRM tecermin pada hasil uji petik atas tindakan penagihan aktif di KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Satu, KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Dua, dan KPP Pratama Jakarta Menteng Dua.

Secara terperinci, juru sita KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Satu tidak bisa menyita aset wajib pajak karena tidak ditemukan aset yang bisa disita. Wajib pajak yang dilakukan penagihan juga mengaku sedang mengalami kesulitan ekonomi.

KPP Pratama Tanah Abang Satu juga tidak memiliki data terkini sebagai pembanding atas keterangan wajib pajak dimaksud. Hal ini mencerminkan bahwa CRM belum berjalan optimal dalam mendukung tindakan penagihan.

Selanjutnya, di KPP Pratama Jakarta Menteng Dua, KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Satu, dan KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Dua, juru sita melakukan tindakan penagihan terhadap wajib pajak yang masih memiliki piutang pajak.

Hingga 31 Desember 2024, piutang itu masih belum dilunasi karena wajib pajak ataupun penanggung pajaknya tidak diketahui keberadaannya. Masalahnya, KPP juga tidak memiliki data terkini mengenai data kependudukan dan domisili wajib pajak.

Hasil penjelasan DJP pun menunjukkan bahwa upaya pencarian wajib pajak belum bisa dilakukan karena data kependudukan yang dimiliki oleh DJP tidak mutakhir.

"Hal ini menunjukkan informasi data kependudukan yang telah diterima sebagai implementasi PMK 228/PMK.03/2017 belum dapat dimanfaatkan secara optimal dalam penelusuran keberadaan wajib pajak atau penanggung pajak berdasarkan data kependudukan terkini," tulis BPK.

Menurut BPK, masalah-masalah di atas timbul karena direktorat teknis di DJP kurang cermat dalam memberikan informasi dan permintaan pengembangan sistem kepada Direktorat TIK DJP ketika memetakan dan menyusun CRM terkait dengan data kondisi keuangan wajib pajak.

Oleh karena itu, DJP perlu mengembangkan sistem dan memutakhirkan data CRM sehingga bisa memberikan informasi kondisi keuangan wajib pajak terkini guna mendukung tindakan penagihan.

Selain topik di atas, ada pula ulasan mengenai kinerja tax buoyancy dan melemahnya daya pungut PPN. Kemudian, ada juga bahasan terkait dengan perlunya pengesahan atas UU Konsultan Pajak untuk memberikan payung hukum bagi konsultan pajak.

Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya.

BPK: Ada Ratusan Ketetapan yang Belum Ditagih DJP

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat Ditjen Pajak (DJP) belum melakukan penagihan aktif atas piutang pajak secara tertib.

Berdasarkan catatan BPK, DJP belum melakukan penagihan aktif atas 156 ketetapan pajak senilai Rp323,85 miliar meski ketetapan dimaksud sudah melewati jatuh tempo. Padahal, DJP dapat melakukan penagihan aktif jika wajib pajak tidak melunasi pajak terutang dalam waktu 1 bulan setelah ketetapan berkekuatan hukum tetap.

"Sebanyak 156 ketetapan sebesar Rp323,85 miliar telah melewati tanggal jatuh tempo namun DJP belum tertib melakukan tindakan penagihan aktif sesuai batas waktu masing-masing," tulis BPK dalam LHP LKPP 2024. (DDTCNews)

Daya Pungut PPN Anjlok

Kemampuan otoritas pajak dalam memungut PPN atau pajak konsumsi terus melemah dalam lima tahun terakhir. Hingga kuartal III/2023, rasio daya serap pajak atas konsumsi (VAT Gross Collection) hanya 45,2%, menjadi yang terendah sejak masa pandemi Covid-19 pada 2020.

Secara historis, VAT Gross Collection sempat melonjak pada kuartal III/2022 menjadi sebesar 61% dari sebelumnya pada 2021 anjlok ke level 46,2%.

Namun, setelah mencapai puncak pada periode yang sama di 2022, rasio tersebut terus merosot meski konsumsi masyarakat tumbuh stabil di kisaran. Misal, pada kuartal III-2023 menjadi 59,1%, kuartal III-2024 menjadi 55,7%, dan kini turun lagi menjadi 45,2%. (Kontan)

Tax Buoyancy Melemah

Kinerja penerimaan pajak makin tidak elastis dengan perkembangan ekonomi. Tax buoyancy, ukuran yang menunjukan responsivitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi, makin menurun.

Tax buoyancy sepanjang Januari-September 2025 tercatat -0,88. Angka itu didapat dari perbandingan antara pertumbuhan penerimaan pajak Januari-September dengan laju PDB kumulatif hingga September.

Tingkat elastisitas itu lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu sebesar -0,47. Tren pemburukan kinerja penerimaan pajak tersebut dipicu oleh kemampuan daya pungut penerimaan pajak yang juga terus melemah. (Bisnis Indonesia)

IKPI Dorong Pengesahan UU Konsultan Pajak

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mendorong pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan UU Konsultan Pajak.

Usulan tersebut disampaikan oleh Ketua IKPI Vaudy Starworld dalam rapat dengar pendapat umum yang digelar DPR pada 11 November 2025. Keberadaan UU Konsultan Pajak dinilai memberikan payung hukum bagi konsultan pajak dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

"Kami melihat urgensi dari adanya UU Konsultan Pajak adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat pembayar pajak, mendukung penerimaan negara dari sisi perpajakan, dan melindungi kepentingan profesi konsultan pajak," kata Vaudy. (DDTCNews)

PP 44/2025 Pertegas Aturan Penghentian Layanan untuk Penagihan PNBP

Melalui PP 44/2025, pemerintah turut mempertegas ketentuan penghentian layanan untuk penagihan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang terutang.

Pasal 44 PP 44/2025 menyatakan menteri keuangan dan/atau pimpinan instansi pengelola PNBP dapat melakukan 2 hal dalam melaksanakan optimalisasi penagihan PNBP terutang, yakni penghentian layanan pada instansi pengelola PNBP dan/atau penghentian layanan lain pada instansi pemerintah. Meski demikian, penghentian layanan ini tidak dikenakan pada layanan dasar.

"Penghentian layanan ... dapat dikenakan kepada orang pribadi, badan, pemilik badan, penanggung/penjamin badan, dan/atau pihak yang memperoleh hak," bunyi Pasal 44 ayat (3) PP 44/2025. (DDTCNews)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.