MASIH ingat antrean panjang di toko kue artisan di Jakarta dan sekitarnya karena orang berbondong-bondong ingin mencoba cokelat Dubai? Banyak orang rela datang dari jam 07.00 pagi, bahkan sebelum mal beroperasi, untuk mencicipi cokelat batangan premium berisi kacang pistasio dan kunafa.
Cokelat Dubai jadi makanan paling diburu masyarakat setelah seorang food influencer berdomisili di Uni Emirat Arab, Mariia Vehera memopulerkannya. Konten Vehera di Tiktok sangat cepat menyebar ke berbagai belahan negara, termasuk Indonesia. Kini, video itu sudah ditonton lebih dari 174 juta orang.
Berkat dorongan influencer asal UEA itu, dunia kuliner Indonesia heboh, mulai banyak jenama toko kue yang memasarkan cokelat Dubai. Tak mau kalah, influencer Tanah Air, baik skala nano hingga mega, ikut membuat konten unboxing dan review cokelat ala Timur Tengah di media sosial.
Dari fenomena ini kita bisa melihat influencer berperan besar mengubah perilaku sehingga mendorong khalayak untuk membeli dan mencicipi suatu produk. Bagi brand, momentumnya pas untuk menghadirkan cokelat Dubai di Indonesia guna mengakomodasi permintaan konsumen, tanpa perlu susah payah mengiklankan produk.
Sementara bagi warganet selaku konsumen, dipicu oleh rasa fear of missing out (FOMO), ikut terpengaruh untuk mengonsumsinya. Bukan hanya produk makanan, masyarakat juga sering termakan iklan dari influencer sektor lain seperti kosmetik, gawai, skincare, hotel, dan lain-lain.
Benar saja, Omi seorang social media strategist, mengaku lebih tertarik membeli produk kecantikan yang dipromosikan oleh influencer di media sosial. Menurutnya, influencer kerap melakukan pendekatan yang lebih personal sehingga pesan yang disampaikan lebih relatable. Produknya pun lebih mudah digunakan karena influencer biasanya memberikan contoh melalui unggahan video.
Supaya tidak zonk, perempuan itu berpesan konsumen perlu mengecek niche, mulai dari identitas, profil, basis pendidikan, serta kredibilitas si influencer di industrinya.
"Aku lebih percaya influencer karena prosesnya lebih singkat jadi most likely lebih jujur. Kalau iklan produk di TV kan pasti sudah lewat banyak filter sebelum tayang," ujar Omi.
Senada, Viana seorang mahasiswa, lebih senang melihat review produk dari media sosial seperti Instagram dan Tiktok karena mudah diakses melalui smartphone. Dia juga suka mengecek kolom komentar karena biasanya ada feedback tertentu dari pembeli.
Gen Z satu ini mengaku jarang nonton TV sehingga tidak memperhatikan jenis produk apa saja yang ditayangkan di TV. Oleh karena itu, dia merasa lebih percaya diri membeli produk yang direkomendasikan oleh influencer.
"Produk yang dikontenin influencer tuh gampang dicari. Selain itu, masih banyak lho influencer yang kasih review jujur. Kalau bagus dia rekomendasikan ke netizen, sedangkan kalau barangnya tidak bagus pasti bilang âkurang'," tutur Viana.
Di sisi lain, Evin seorang pekerja swasta, berpandangan rasa trust konsumen itu tergantung jenis produk yang ingin dibeli. Apabila ingin membeli produk dengan harga tinggi, seperti apartemen, mobil, atau mencari universitas, dia mengaku lebih mudah dipengaruhi iklan di TV.
Baginya, influencer lebih bisa dipercaya ketika ingin membeli barang dengan harga rendah seperti produk kecantikan, alat olahraga, dan pakaian. Dia hanya berharap baik influencer, kreator, maupun brand bisa mempertanggungjawabkan iklan atau kontennya.
"Kalau mereka good creator, harusnya sebelum posting konten sudah menimbang risikonya, karena ekspektasinya konten tersebut bakal viral kan. Misalnya, ada influencer bikin iklan atau konten dengan pamer harta, dia harus paham, ada peluang besar untuk dilihat pejabat publik yang relevan, seperti DJP dan OJK. So, bigger engagement, bigger risk," kata Evin.
Sementara itu, Diana seorang makeup artist, sangsi melihat rekomendasi ataupun review dari influencer, karena menganggap tidak sepenuhnya jujur. Dia menilai kebanyakan influencer Indonesia sekarang ini hanya berorientasi pada uang, bukan ingin membantu viewers atau calon pembeli dengan memaparkan kegunaan dan kualitas produk.
"Kalau lihat produk diiklankan, lebih senang komersial di TV, soalnya lebih estetis tampilannya. Saya sih tidak terlalu sreg dengan produk yang diiklankan oleh influencer karena pasti dilebih-lebihkan, jadi review-nya enggak jujur," ungkapnya.
Kehadiran pemengaruh alias influencer telah membuat dunia pemasaran ataupun periklanan menjadi lebih variatif. Iklan produk yang tadinya bersifat satu arah di media massa kini menjadi lebih fleksibel dan interaktif dengan calon konsumen di media sosial.
Survei Influencer Marketing Hub 2025 mencatat pemasaran produk melalui influencer justru mendorong media sosial menjadi saluran periklanan terbesar di dunia pada 2024, yakni mencapai US$247,3 miliar. Angka itu diperkirakan menembus US$266,92 miliar pada akhir 2025 berdasarkan total pengeluaran global.
Kinerja media sosial ini melampaui strategi pemasaran digital yang pengiklannya membayar mesin pencari berbayar seperti Google, Yahoo, Bing.
Pangsa pasar global untuk industri pemasaran influencer juga diprediksi meningkat hingga US$32,55 miliar pada 2025. Tahun lalu, jajaran brand menginvestasikan rata-rata 26% anggaran pemasarannya untuk menggunakan jasa influencer. Angka itu diproyeksikan melonjak tahun ini, karena 71% pemilik brand sudah berencana meningkatkan investasi mereka.
Ketua Umum Aliansi Perusahaan Pengiklan Indonesia (APINA) Eka Sugiarto membenarkan telah terjadi perubahan pola beriklan dalam 5-10 tahun belakangan. Brand yang tadinya giat mengiklankan produk di media massa saja, kini mulai beralih ke platform digital dan menggunakan jasa influencer.
Sisi baiknya, brand atau pengiklan menjadi lebih mudah memilih sarana beriklan, sesuai target pasar dan kebutuhan masing-masing.
"Memang lebih dari 5 tahun terakhir beriklan menjadi lebih bervariasi, tidak hanya lewat media massa, sekarang ada kreator, orang yang bisa menyampaikan pesan-pesan dari brand, dan bukan cuma iklan langsung," ujarnya.
Eka mencontohkan kehadiran media sosial Tiktok turut membantu produk UMKM muncul ke permukaan dan mendapat perhatian banyak orang. Padahal, iklan di media massa dulunya hanya diisi oleh brand besar karena mahal dan tidak mudah.
Bagi pemilik bisnis skala kecil atau menengah, beriklan di stasiun TV nasional tentunya cukup menantang.
Selain itu, dia mengatakan beriklan menggunakan jasa influencer juga lebih mudah karena jumlahnya banyak dan bidangnya luas. Kita bisa menemukan influencer di hampir semua lini industri seperti sektor kuliner, kecantikan, dan otomotif. Pengiklan pun bisa membidik influencer mana yang cocok untuk mengiklankan produk mereka supaya target pasarnya tercapai.
Eka menilai influencer atau afiliator juga memahami perannya menjembatani produk dan konsumen. Hal ini membuat cycle transaksi pembelian menjadi lebih pendek sehingga cukup menguntungkan ketiga pihak.
Dia memandang setiap influencer pun memiliki keistimewaan dan cara pendekatan masing-masing ke calon pembeli. Karakteristik ini tentunya bisa menjadi pengalaman unik bagi konsumen.
Namun, kehadiran influencer tidak serta merta menggantikan media massa sepenuhnya. Eka mengungkapkan masih banyak brand yang beriklan melalui televisi karena jangkauannya lebih luas. Sementara beriklan di influencer engagement-nya lebih terbatas, bergantung pada seberapa banyak investasi yang dikeluarkan untuk menjangkau viewers.
Makin besar investasinya, makin besar pula jangkauannya, serta makin sering frekuensi dan lama durasi iklannya.
âKalau TV, hasil rekaman iklannya bisa dilihat jutaan orang, sedangkan influencer tergantung jumlah followers, terkadang bisa hit or miss, kadang bisa tiba-tiba viral, baik viral secara positif atau negatif. Jadi, jangkauan luas atau kurang luas ini tergantung dari jumlah uang yang kita investasikan,â katanya.
Berkaca pada hal tersebut, Eka menyampaikan beriklan melalui influencer belum tentu lebih murah daripada TV. Murah atau mahal akan tergantung pada ekspektasi dan target yang mau dicapai pengiklan. Apabila ekspektasinya produk hanya dikenal orang lokal di Jakarta, maka bayarannya berbeda dengan perusahaan yang berekspektasi produknya dikenal di seluruh Indonesia.
âDalam bentuk rupiah absolut, bisa saja lebih murah memakai jasa influencer, tapi apakah efektif? Misal, beriklan Rp1 juta dan Rp5 juta kan pasti lebih murah yang Rp1 juta. Tapi kalau ngiklan Rp1 juta hanya dapat 10 transaksi, sedangkan ngiklan Rp5 juta dapat 100 transaksi, jadi lebih murah kalau beriklan Rp5 juta kan. Pilih lah yang cost-effective,â tuturnya.
Tidak jarang pula perusahaan pengiklan mengkombinasikan dua platform tersebut, menyuntik iklan di TV dan influencer. Contoh, produk kecantikan yang sudah eksis dari zaman dahulu, sekarang ikut main media sosial untuk menjaga brand awareness dan konsumen mereka. Kasus lain, sebuah perusahaan yang hendak meluncurkan produk air mineral terbaru dan belum pernah ada di Indonesia, pasti akan memprioritaskan beriklan lewat TV.
âBrand yang sudah cukup established biasanya beriklan di TV dan influencer supaya bisa menjadi pembanding bagi konsumen. Nah bagi brand, memang uang iklannya harus dibagi-bagi ke berbagai pilihan media,â kata Eka.
Cara mengalokasikan anggaran untuk iklan pun masih sangat bergantung pada kebutuhan tiap perusahaan, rencana pemasaran, target yang dibidik, dan efektivitas platform iklan dalam menyampaikan pesan hingga mencetak transaksi. Dengan demikian, tidak ada pedoman pasti berapa porsi anggaran yang perlu disiapkan untuk iklan di TV dan influencer.
âMungkin saya tidak bisa menentukan berapa persen [alokasi anggarannya] karena nanti setiap industri akan berbeda. Tapi, memang pertumbuhan pemakaian influencer atau afiliator untuk mengiklankan produk paling cepat tumbuhnya, dan sekarang cukup disukai oleh para pemasar,â tandasnya.
Pertumbuhan penggunaan jasa influencer untuk mengiklankan produk ini turut mendorong kemunculan talent agency. Secara teknis, brand akan membayar jasa agensi yang bertugas mencari hingga meneken kontrak iklan dengan influencer. Setelah menjalin kerja sama, influencer juga bakal menerima imbalan dalam bentuk uang dari agensi yang merekrutnya.
Nah, atas kerja sama sederet profesi tersebut, terdapat kewajiban perpajakan yang timbul. Ketika brand bekerja sama dengan agensi, brand akan memotong PPh Pasal 23. Adapun saat influencer direkrut untuk memasarkan produk oleh agensi, atas imbalan yang diterima juga dipotong pajak oleh agensi.
âBiasanya berlaku pajak antara agency dan influencer ketika meneken transaksi [iklan] tersebut,â tutup Eka. (dik)