BERMULA dari hobi jalan-jalan dan berbagi cerita lewat foto, kini Rizal Agustin menjadikan media sosial sebagai salah satu ladang penghasilan.
Sebagai seorang yang gemar bepergian, Rizal banyak mengunggah foto dan cerita perjalanannya di akun Instagram. Berkat konsistensinya itu, banyak brand yang mendekat dan menawarkan kerja sama.
"Awalnya cuma suka berbagi momen perjalanan, tapi ternyata banyak yang tertarik, sampai akhirnya dihubungi brand," ujarnya.
Akun Instagram @mrizag kini memiliki hampir 54.000 pengikut. Dengan konten dan visual yang memikat, Rizal dikenal luas karena gaya perjalanannya yang autentik dan informatif, baik untuk untuk destinasi di dalam maupun di luar negeri.
Perjalanan Rizal menjadi influencer sudah dimulai sejak belasan tahun yang lalu, ketika dia masih membagikan cerita perjalanannya melalui blog. Pada 2011, dia mulai membuat akun Instagram untuk membagikan cerita dalam bentuk foto.
Hanya perlu waktu 3 tahun, sudah ada brand yang mengajak kerja sama. Tawaran endorsement pertamanya berasal dari sebuah brand elektronik asal Korea Selatan, yang mengajaknya terlibat dalam kampanye iklan kamera.
Setelahnya, tawaran kerja sama dari berbagai brand terus berdatangan.
"Kebetulan momennya pas, ketika marketing brand-brand ini mulai bergeser ke digital," katanya.
Usaha Rizal mengembangkan media sosialnya tidaklah mudah. Terlebih sebagai travel influencer, butuh ongkos besar untuk melakukan perjalanan dan membeli berbagai peralatan agar bisa membuat konten berkualitas.
Dalam beberapa momen atau pekerjaan tertentu, dia bahkan sampai merekrut editor lepas untuk membantu menyelesaikan pekerjaannya.
Rizal berusaha menyajikan konten yang menarik di akun Instagramnya. Tidak hanya untuk mengerek engagement, tampilan foto dan video yang indah juga dapat memikat brand.
Dia pun berupaya mengikuti tren media sosial yang dinamis agar dapat bertahan dalam industri influencer marketing.
"Instagram menjadi portofolio yang cukup kuat untuk menarik brand mempertimbangkan kerja sama dengan seseorang," katanya.
Rizal mengaku kerja sama dengan brand kebanyakan berupa endorsement dan kolaborasi konten. Penghasilan yang diterima tidak hanya berupa uang tunai, karena brand terkadang menawarkan skema kerja sama "barter" dengan produk seperti drone dan action camera.
Selama menjalankan profesi ini, Rizal juga tetap memperhatikan aspek pajak atas penghasilan yang diperoleh. Dalam kontrak, dia selalu meminta agar pemotongan pajaknya dilakukan dengan metode gross-up.
"Dari brand atau agensi sudah include pajak penghasilan dan dikasih semacam bukti potong. Buat saya ini lebih praktis karena nanti tinggal report pajaknya," katanya.
Meski awam, Rizal mengaku tidak pernah kesulitan melaksanakan kewajiban pajaknya. Bahkan ketika menyampaikan SPT Tahunan, dia turut dimudahkan dengan fitur data prepopulated sehingga tidak perlu input manual.
Tidak hanya Rizal, Andhika juga menilai media sosial dapat menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan. Bermula dari hobi mengoleksi mainan dan action figure, dia kini bisa meraup cuan dari media sosial.
Andhika sejak lama memiliki hobi mengoleksi figur anime dan tokusatsu, tetapi baru mulai membuat review mainan saat pandemi Covid-19 pada 2020. Tidak hanya Instagram, konten review produk mainan tersebut juga diunggah di platform Tiktok.
Sekitar 2 tahun kemudian, dia mulai menerima tawaran kerja sama dari brand. Meski menghasilkan, dia tidak berniat menjadikan media sosial sebagai sumber penghasilan utama.
Media sosial hanya dia anggap hobi di sela kesibukannya sebagai karyawan swasta.
"Kalau misalnya ada duit masuk dari situ [media sosial], dianggap bonus saja. Makanya enggak aku masukin ke SPT," katanya.
Lantaran merasa akun media sosialnya belum terlalu besar, Andhika mengaku tak terlalu khawatir dengan rencana Ditjen Pajak (DJP) mengawasi influencer melalui teknologi crawling. Menurutnya, strategi pengawasan semacam itu lebih cocok ditujukan kepada influencer skala besar yang menjadikan media sosial sebagai sumber penghasilan utama.
Seiring dengan maraknya penggunaan media sosial, semua orang bisa menjadi influencer. Kini, bahkan muncul istilah key opinion leader (KOL) yang kerap dianggap sama dengan influencer.
Secara sederhana, influencer adalah individu dengan pengetahuan dan pengaruh di bidang tertentu karena memiliki pengikut yang besar di media sosial. Sementara itu, KOL merupakan individu yang diakui sebagai ahli dalam bidang tertentu dan pendapatnya dipercaya oleh publik.
Ai Chintia, penyedia jasa KOL and talent management, menilai peran influencer dalam pemasaran produk kini menjadi sangat penting. Rekomendasi dari figur yang dianggap "dekat" dengan audiens dianggap mempunyai kekuatan besar dalam memengaruhi keputusan berbelanja.
Menurutnya, semua orang yang memiliki media sosial berpeluang menjadi influencer atau KOL. Bermodal 1.000 pengikut di media sosial, seseorang bisa mulai menjadi influencer atau KOL dan memasarkan produk.
"Kalau zaman dulu cuma ada TV dan koran, sekarang semua orang bisa jadi pengiklan," katanya.
Di dunia pemasaran media sosial, influencer atau KOL terbagi menjadi beberapa kategori berdasarkan jumlah pengikutnya. Ada nano-influencer (kurang dari 10.000 pengikut), micro-influencer (10.000 - 100.000 pengikut), macro-influencer (100.000 - 1 juta pengikut), serta mega-influencer (di atas 1 juta pengikut).
Dalam ekosistem pemasaran media sosial ini, KOL management hadir sebagai jembatan antara brand dan influencer atau KOL. KOL management bertugas menyaring talent sesuai kebutuhan brand, menyusun rate card, serta merancang perencanaan konten dan jadwal kampanye.
Mereka juga bertanggung jawab untuk monitoring dan evaluasi performa kampanye — dengan metrik seperti engagement dan brand awareness ke influencer maupun brand. Bahkan untuk urusan mentransfer imbalan kepada influencer atau KOL, juga dilakukan oleh KOL management.
Ai mengakui pemotongan pajak biasanya hanya dia lakukan atas imbalan yang dibayarkan kepada influencer atau KOL kategori makro. Influencer atau KOL pada kelompok ini biasanya sudah memiliki NPWP dan tarifnya sekitar Rp5 juta hingga Rp10 juta.
Namun terhadap influencer kategori nano, dia mengaku tak sanggup untuk melakukan pemotongan pajak atas imbalan yang dibayarkan.
"Sekian ribu orang influencer, harus gimana coba aku motongnya satu-satu? Yang mahasiswa atau ibu rumah tangga juga banyak yang tidak punya NPWP," katanya.
Sebagai gambaran, pemilihan influencer atau KOL dalam pemasaran media sosial akan selalu disesuaikan dengan tujuan brand. Tak ada pakem khusus karena brand dengan bujet promosi yang sama bisa memilih hanya menggunakan 20 KOL kategori makro atau justru memakai jasa 1.000 KOL kategori nano — yang tarifnya mulai dari Rp150.000.
Agensi Ai sebetulnya telah menunjuk konsultan untuk membantu melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai wajib pajak. Namun, dia merasa beban administrasi untuk memotong pajak atas penghasilan semua influencer masih terlalu berat.
Dengan demikian, pemenuhan kewajiban pajak diserahkan kepada masing-masing influencer atau KOL. (dik)