SENANG bukan kepalang yang dirasakan oleh kuli-kuli perkebunan. Biji kopi yang mereka panen mendatangkan untung besar.
Sebagai upah, mandor kebun mendatangkan penari ronggeng. Di kaki Gunung Malabar, para pekerja tak mau terkalahkan hawa dingin untuk turut menikmati pertunjukan.
Fenomena itu terjadi di banyak tempat. Banyak perkebunan tebu, kopi, dan komoditas lainnya di sekitar Batavia dan Priangan (termasuk Cirebon) yang mengundang penari-penari ronggeng untuk perayaan panen.
Pada awal 1700-an, ketika pengelolaan perkebunan di Jawa mulai berkembang pesat, hiburan-hiburan memang marak diberikan kepada kuli kebun. Salah satunya, tarian ronggeng. Penari didatangkan dari luar daerah untuk menghibur para kuli dan buruh perkebunan.
Sejak saat itulah profesi penari ronggeng menjamur, digandrungi oleh gadis-gadis desa yang bergabung ke dalam grup-grup pertunjukan. Pertunjukan tarian ronggeng pun makin dekat dengan masyarakat pribumi. Dari yang awalnya sekadar tarian ritual, ronggeng bergeser menjadi hiburan.
Pemerintah kolonial Belanda mulai melihat profesi penari ronggeng sebagai peluang untuk memungut pajak. Peter Boomgard (2004) mengungkapkan bahwa mulai 1706 pajak dipungut terhadap penghasilan yang diterima oleh penari ronggeng. Kompeni memandang grup-grup ronggeng seolah menjadi pekerjaan baru yang jumlahnya meledak.
Kemudian, pada 1789 pemungutan 'pajak ronggeng' diperluas. Pajak tidak hanya dipungut terhadap grup penari ronggeng, tetapi juga terhadap penyelenggara pertunjukan atau penanggap seperti pemilik perkebunan.
Hingga artikel ini terbit, penulis belum menemukan sumber literatur yang terperinci mengenai sistem dan mekanisme pemungutan pajak atas pertunjukan ronggeng. Namun yang jelas, pada abad ke-18 ada pungutan dalam bentuk tunai yang perlu disetor oleh grup-grup pertunjukan ronggeng atas penghasilan yang mereka dapatkan.
Boomgard juga menuliskan bahwa pesta-pesta ronggeng makin menyebar ke pelosok daerah. Hal itu membuat pemerintah kolonial menambah peraturan: ada denda kepada penanggap ronggeng jika hajatan yang digelar berujung keonaran.
Kilas balik mengenai 'pajak ronggeng' memberikan kita gambaran bahwa ada kecenderungan bagi pemerintah untuk memungut pajak atas profesi yang 'baru muncul'. Dalam konteks kekinian, gagasan pemajakan atas profesi atau peluang bisnis baru bermunculan seiring dengan perkembangan teknologi.
Sebagai gambaran, kemunculan televisi (khususnya yang berwarna) membuat tabiat pemasaran bergeser ke media layar kaca. Amerika Serikat (AS), pada 1980-an, mengenalkan konsep home shopping sebagai kebiasaan baru bagi masyarakat dalam berbelanja.
Dari sisi pajak, Internal Revenue Services (IRS) memang tidak mengenakan jenis pajak baru. Namun, IRS secara serius menggencarkan sosialisasi untuk memastikan penghasilan yang diperoleh pedagang dari format pemasaran baru ini tetap masuk ke sistem pajak AS.
Bergerak ke 1990-an, AS juga menjadi pionir atas perkembangan internet. Sebagai 'barang baru', saat itu muncul diskusi panas mengenai perlu tidaknya pajak khusus terhadap transaksi melalui internet, baik oleh pemerintah federal atau negara bagian.
Ledakan ekonomi digital kemudian terjadi. Platform e-commerce mulai bermunculan, seperti Amazon dan e-Bay. Sejalan dengan hal itu, transaksi digital juga tumbuh pesat. Namun, Congressional Research Service (CRS) mencatat bahwa regulasi pajak belum diatur secara jelas.
Dalam laporan yang sama, CRS juga mengungkapkan bahwa saat itu beberapa negara bagian mulai menggodok skema pajak khusus atas transaksi online.
Menengahi polemik yang terjadi, Presiden AS Bill Clinton pada 1998 mengesahkan Internet Tax Freedom Act (ITFA). Undang-undang (UU) ini melarang pemerintah negara bagian mengenakan pajak atas transaksi online dan melarang pajak yang sifatnya diskriminatif atas transaksi online dibanding dengan transaksi offline.
"Internet tidak boleh mendapat perlakuan istimewa. Namun, kita juga tidak boleh menghambat [lewat pajak] perkembangan peluang ekonomi baru yang muncul dari internet," kata Bill Clinton dalam pidatonya mengenai ITFA.
Berselang lebih dari 25 tahun, diskursus mengenai pemajakan yang muncul akibat perkembangan teknologi masih relevan. Kini, muncul profesi-profesi baru yang lahir dari revolusi digital.
Jika pada 1980-an lalu terjadi pergeseran pola pemasaran dari media cetak ke televisi, kini wadahnya adalah media sosial. Ragam jenis media sosial memunculkan sosok-sosok idola baru yang digandrungi masyarakat. Mereka itulah yang memegang peran penting sebagai pemengaruh alias influencer.
Lewat mereka, pesan-pesan sosial hingga komersial disampaikan kepada publik. Merek-merek besar pun ramai menggunakan jasa mereka untuk menawarkan produk.
Sama halnya dengan pertunjukan ronggeng yang tiba-tiba laris manis pada 300 tahun silam, 'pertunjukan' melalui konten-konten influencer kini juga panen peminat. Tak heran, influencer seolah menjadi profesi baru yang diimpikan anak-anak muda.
Antara ronggeng dan influencer, fenomenanya serupa meski terjeda waktu lebih dari 3 abad. Ada yang bilang kalau sejarah akan berulang. Lantas, jika di masa lalu kompeni akhirnya mengenakan pajak baru atas penari ronggeng, apakah influencer perlu dibebankan nasib yang sama? (sap)