OPINI PAJAK

Optimalisasi Fungsi Website DJP

Redaksi DDTCNews
Senin, 29 Desember 2025 | 13.00 WIB
Optimalisasi Fungsi Website DJP
Nufransa Wira Sakti,
Staf Ahli Menkeu Bidang Pengawasan Pajak

KEPATUHAN menjadi tantangan yang dihadapi oleh semua negara yang mengandalkan pajak sebagai sumber utama pendapatannya. Menapaki kenyataan tersebut, World Bank (2022) mengembangkan kerangka konseptual Theory of Change for Innovations in Tax Compliance.

Melalui konsep tersebut, kepatuhan secara berkelanjutan dibangun melalui keseimbangan antara penegakan hukum, kemudahan pelayanan, dan pembangunan kepercayaan. Ketiga dimensi ini membentuk loop of trust and compliance, di mana peningkatan kepercayaan mendorong kepatuhan sukarela dan keberhasilan penegakan hukum yang adil memperkuat legitimasi institusi perpajakan.

Reformasi yang berfokus hanya pada penegakan hukum tanpa diimbangi oleh peningkatan pelayanan dan pembangunan kepercayaan publik berpotensi menghasilkan kepatuhan yang bersifat sementara dan terpaksa. Sebaliknya, keseimbangan antara trust, facilitation, dan enforcement merupakan prasyarat untuk menciptakan kepatuhan pajak yang berkelanjutan dan berkeadilan sosial.

Salah satu aspek penentu tingkat kepatuhan adalah tax compliance cost, berupa biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi kepatuhan kewajiban perpajakan. Komposisi biayanya adalah seluruh beban yang ditanggung wajib pajak baik secara finansial (money cost), waktu (time cost), dan psikologis (psychological cost) dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakan (Sandford et al., 1989).

OECD (2020), dalam Tax Administration 3.0: The Digital Transformation of Tax Administration, menyatakan bahwa digitalisasi merupakan instrumen utama untuk menurunkan compliance cost. Melalui pemanfaatan teknologi informasi dan data terintegrasi, administrasi perpajakan dapat bertransformasi dari model berbasis pelaporan (reporting-based system) menjadi model berbasis data waktu nyata (real-time data system).

Digitalisasi diharapkan tidak hanya menekan money cost, tetapi juga menurunkan time cost dan psychological cost yang selama ini menjadi hambatan utama kepatuhan pajak. Wajib pajak tidak perlu lagi menghabiskan waktu berjam-jam untuk menafsirkan regulasi, mendatangi kantor pelayanan, atau berkonsultasi secara manual, karena seluruh proses dapat dilakukan secara daring dan terintegrasi.

Hasil Survei 3C (Click, Call, Counter) DJP 2021 menunjukkan bahwa digitalisasi layanan perpajakan berdampak terhadap pengurangan compliance cost, terutama pada biaya finansial (money cost). Survei ini juga menggambarkan preferensi layanan yang dipilih oleh wajib pajak, di mana website dan mobile application menjadi preferensi utama sejumlah 63,4%, layanan contact center sejumlah 19,1%, dan sisanya dengan tatap muka/langsung ke KPP.

Hal tersebut menunjukkan bahwa wajib pajak memiliki kesadaran yang lebih akan layanan ataupun mendapatkan informasi dengan berbasis online. Karenanya, penting bagi DJP untuk mereformasi website-nya agar lebih mudah diakses, dipahami, dan interaktif.

Keberhasilan digitalisasi administrasi perpajakan tidak hanya ditentukan oleh kemampuan lembaga pajak dalam membangun infrastruktur sistem, tetapi juga oleh kapasitas masyarakat dalam mengakses dan memanfaatkan layanan digital. Berdasarkan hasil Survei Internet Indonesia Tahun 2024 yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tingkat penetrasi internet nasional menunjukkan angka yang sangat tinggi dan relatif merata di sebagian besar wilayah Indonesia.

Pulau Jawa mencatat tingkat penetrasi tertinggi sebesar 83,64% diikuti oleh Sumatera (77,34%), Kalimantan (77,42%), Bali dan Nusa Tenggara (71,80%), serta Maluku dan Papua (69,91%). Tingkat penetrasi digital yang tinggi ini memperkuat argumen bahwa akses terhadap website DJP bukan lagi menjadi kendala untuk reformasi layanan berbasis digital. Strategi optimalisasi pelayanan perpajakan kini harus bergeser dari isu aksesibilitas menuju isu kualitas dan utilisasi layanan digital.

Meskipun akses internet telah merata, keberhasilan transformasi digital perpajakan tetap menuntut peningkatan kualitas literasi digital perpajakan. Artinya, keberadaan internet tidak otomatis menjamin pemahaman yang benar atas informasi yang tersedia. Oleh karena itu, pengembangan website DJP harus diarahkan untuk beberapa tujuan.

Pertama, meningkatkan user experience melalui desain antarmuka yang intuitif, ramah pengguna, dan berbasis kebutuhan wajib pajak. Kedua, menjamin keandalan dan kecepatan akses situs.

Ketiga, memastikan ketersediaan konten edukatif yang berorientasi pada peningkatan pemahaman, bukan hanya penyebaran informasi. Keempat, menyediakan fitur pelibatan publik (public engagement) agar hubungan DJP dengan wajib pajak semakin interaktif dan membangun kepercayaan (loop of trust and compliance).

Saat ini website DJP masih berorientasi pada fungsi publikasi regulasi dan kegiatan seremonial, penyampaian layanan dasar, dan struktur informasi cenderung berlapis dan memerlukan navigasi tambahan untuk menemukan interpretasi aturan, contoh kasus, atau panduan langkah-demi-langkah. Kondisi ini membuat situs berperan lebih sebagai repositori informasi daripada sebagai integrated service hub.

Berbeda dengan situs Australian Taxation Office (ATO) yang menerapkan prinsip user-centric design, di mana seluruh informasi pajak disajikan dengan bahasa sederhana, struktur hierarkis yang jelas, dan modul 'How-to guides' yang langsung membagi segmen wajib pajak (individu, bisnis, dan tax professionals).

Situs pajak.go.id sebagai kanal utama komunikasi dan informasi, mestinya tidak hanya berfungsi sebagai sarana publikasi, tetapi juga harus dapat menjadi sentra informasi perpajakan nasional yang mendukung kemudahan akses dan pemahaman masyarakat. Optimalisasi fungsi website DJP sebagai sentra aksesibilitas dan interpretasi regulasi pajak dapat dikembangkan dengan mengacu pada 3 pilar utama.

Pertama, penyediaan akses informasi perpajakan yang valid dan terkini. Website harus menyediakan informasi regulasi, kebijakan, dan panduan perpajakan yang selalu diperbarui dan diverifikasi.

Aksesibilitas data tersebut penting agar wajib pajak memperoleh sumber rujukan yang kredibel tanpa harus mencari informasi dari pihak ketiga yang belum tentu akurat dan valid. Hal ini akan mengurangi risiko kesalahan interpretasi dan ketidakpastian hukum.

Kedua, penyederhanaan bahasa regulasi ke dalam bahasa yang mudah diinterpretasikan oleh masyarakat/wajib pajak. DJP perlu menggunakan bahasa sederhana dan aplikatif tanpa mengurangi akurasi substansi hukum, misalnya dalam bentuk FAQ, infografis, video penjelasan, atau panduan praktis.

Penggunaan bahasa yang aplikatif juga dapat mengacu tax knowledge base dari DJP sebagai inti dari konten website dalam memberikan informasi peraturan dengan penyederhanaan dan simplifikasi bahasa. Upaya ini akan menurunkan psychological cost yang timbul akibat kebingungan dan kecemasan terhadap kesalahan pelaporan.

Ketiga, penyediaan layanan digital interaktif, termasuk konsultasi online dengan berbasis artificial intelligence (AI). Kanal digital seperti live chat, chatbot, virtual assistant, dan online tax consultation dapat memperkuat fungsi pelayanan tanpa mengharuskan wajib pajak datang ke kantor pajak.

Sebagai contoh, chatbot saat ini cenderung menjawab secara general, tanpa melihat inti maksud pertanyaan wajib pajak. Dengan adanya AI, diharapkan interaksi dapat lebih interaktif, efektif, dan efisien. Layanan semacam ini juga meningkatkan persepsi kehadiran otoritas pajak secara responsif dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat. Selain menekan time cost, hal ini berkontribusi dalam membangun trust-based relationship antara DJP dan wajib pajak.

Dengan mengintegrasikan ketiga fungsi tersebut, website DJP dapat bertransformasi dari sekadar media informasi menjadi ekosistem digital perpajakan yang interaktif, inklusif, dan berbasis kebutuhan pengguna. Pendekatan ini sejalan dengan paradigma Tax Administration 3.0, di mana kepatuhan pajak tidak hanya dihasilkan oleh kewajiban administratif, tetapi juga oleh kemudahan, transparansi, dan kepercayaan terhadap sistem perpajakan. If we have a website that makes it hard for people to self-serve information, they rely more on high-cost channels like the call centre. We need to make it easier to do tax (ATO, 2025). (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.