SATU dekade lalu, profesi seperti dokter, polisi, tentara, hingga ASN, acap kali menjadi dambaan para kawula muda. Namun, perkembangan teknologi dan media sosial saat ini menggeser lanskap pilihan karier secara signifikan.
Salah satu fenomena yang mencolok ialah kemunculan profesi influencer sebagai cita-cita yang populer di antara Gen Z dan Gen Alpha. Fenomena ini bukanlah tren sesaat. Influencer kini menjelma sebagai key opinion leader (KOL) yang bisa memengaruhi perilaku konsumsi masyarakat.
Keberadaan media sosial seperti Instagram, TikTok, hingga YouTube memungkinkan individu dari berbagai latar belakang menjangkau jutaan audiens dan menghasilkan pendapatan yang fantastis. Lantas, seperti apa aspek perpajakan influencer?
Influencer media sosial dapat didefinisikan secara beragam, tergantung pada sejumlah faktor. Ada sejumlah literatur yang mendefinisikan influencer berdasarkan: jumlah pengikut yang mereka miliki (misal, mega-influencer hingga nano-influencer); platform tempat mereka mem-posting konten (misal, streamer, selebgram, tiktoker, podcaster, youtuber); atau jenis konten yang mereka hasilkan (misal, beauty vlogger dan motovlogger).
Tidak hanya manusia, binatang peliharaan pun bisa menjadi influencer. Hal ini dilakukan oleh pemilik hewan peliharaan yang memamerkan kehidupan hewan peliharaannya. Tak jarang, hewan peliharaan tersebut juga menjadi model untuk memasarkan suatu produk.
Meski definisinya beragam, persamaannya ialah influencer berarti individu yang mengumpulkan pengikut yang signifikan di media sosial dan menggunakan konten yang menarik untuk memengaruhi audiens mereka. Iklan produk dan monetisasi menjadi karakteristik penting influencer (Engel, et all: 2024).
Definisi tersebut selaras dengan Oxford English Dictionary yang mengartikan influencer sebagai seseorang yang menjadi terkenal melalui internet serta media sosial, dan menggunakan ketenarannya untuk mendukung, mempromosikan, atau menarik minat terhadap produk atau merek tertentu, yang seringkali dilakukan dengan bayaran.
Pada umumnya, influencer memperoleh penghasilan dari dua sumber, yaitu melalui platform dan dari luar platform. Penghasilan yang berasal dari platform di antaranya berupa adsense, donasi/gift dari pengikut, dan konten eksklusif berbayar).
Sementara itu, penghasilan dari luar platform di antaranya berupa endorsement, komisi afiliasi, penjualan merchandise, dan menjadi brand ambassador.
Dalam konteks PPh di Indonesia, penghasilan dalam bentuk apapun merupakan objek pajak sepanjang tidak dikecualikan dari objek. Dengan demikian, beragam jenis penghasilan influencer tersebut juga merupakan objek PPh.
Dalam menjalankan profesinya, influencer bisa bergerak secara independen sebagai wajib pajak orang pribadi atau bergabung ke dalam suatu agensi. Sejumlah influencer bisa juga mendirikan perusahaan atau bentuk badan lainnya.
Dalam artikel ini, pembahasan aspek PPh influencer menggunakan kacamata influencer sebagai wajib pajak orang pribadi.
Penghasilan Bruto dalam Setahun di bawah Rp4,8 miliar
Dalam konteks PPh, influencer secara umum masuk dalam kategori pekerjaan bebas. Merujuk PMK 168/2023, pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja
Sebagai wajib pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas, influencer dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) dalam menghitung penghasilan netonya. Pada dasarnya, NPPN ditujukan untuk menyederhanakan penghitungan penghasilan neto tanpa perlu melakukan perhitungan biaya secara terperinci.
NPPN ditetapkan dalam bentuk persentase yang bervariasi tergantung pada klasifikasi lapangan usaha (KLU). Selain itu, DJP mengelompokkan daftar persentase NPPN menjadi 3 kelompok berdasarkan wilayahnya. Perincian daftar persentase NPPN itu tercantum dalam lampiran PER-17/PJ/2015. Simak Apa Itu Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)?".
Berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 2 PER-17/PJ/2015 serta Pasal 450 PMK 81/2024, setidaknya ada 4 ketentuan yang harus dipenuhi untuk dapat menggunakan NPPN dalam menghitung penghasilan neto:
Apabila memenuhi ketentuan tersebut maka influencer dapat menggunakan NPPN. Dalam konteks NPPN, influencer umumnya dikategorikan sebagai kegiatan pekerja seni dengan KLU 90002. Merujuk lampiran PER-17/PJ/2025, NPPN bagi kegiatan pekerja seni ditetapkan sebesar 50% pada ketiga kelompok wilayah.
Dengan demikian, penghasilan neto influencer dihitung dengan mengalikan persentase NPPN sebesar 50% dengan peredaran bruto sebagai influencer dalam 1 tahun. Secara ringkas, ada 5 tahap yang perlu dilakukan untuk menghitung PPh terutang influencer dalam suatu tahun pajak, yaitu:
Penghasilan Bruto dalam Setahun di atas Rp4,8 miliar
Apabila influencer memiliki peredaran bruto di atas Rp4,8 miliar dalam 1 tahun pajak atau memilih menyelenggarakan pembukuan maka berlaku beberapa ketentuan berikut: (i) wajib menyelenggarakan pembukuan; (ii) PPh dihitung dengan mekanisme umum. Secara ringkas, PPh tersebut dihitung dengan formula sebagai berikut:
Pemotongan PPh Pasal 21 atas Influencer sebagai Bukan Pegawai
Apabila seorang influencer bekerjasama dengan perusahaan yang bertindak sebagai pemotong pajak maka akan dikenai PPh Pasal 21. PPh Pasal 21 tersebut dikenakan dengan skema wajib pajak orang pribadi bukan pegawai.
Merujuk Pasal 1 angka 12 PMK 168/2023, bukan pegawai berarti orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan atas pekerjaan bebas atau jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) huruf b PMK 168/2023, wajib pajak orang pribadi bukan pegawai di antaranya adalah pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, pembuat/pencipta konten pada media yang dibagikan secara daring (influencer, selebgram, blogger, vlogger, dan sejenis lainnya), dan seniman lainnya.
Secara ringkas, PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diberikan kepada bukan pegawai dipotong dengan formula: Tarif Pasal 17 x (50% x Penghasilan Bruto). Simak Bayar Endorse Influencer di Media Sosial, Dipotong PPh Pasal 21?
Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Natura dan/atau Kenikmatan
Saat bekerjasama dengan influencer, brand atau perusahaan ada kalanya memberikan imbalan dalam bentuk barang. Pada kondisi ini, imbalan berupa barang tersebut dapat dikategorikan sebagai imbalan dalam bentuk natura.
Hal ini selaras dengan Pasal 3 ayat (1) PMK 66/2023 yang menyatakan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura merupakan objek PPh. Natura tersebut menjadi objek PPh apabila diberikan sehubungan dengan adanya pekerjaan atau jasa.
Untuk diperhatikan, penggantian atau imbalan sehubungan dengan jasa berarti penggantian atau imbalan karena adanya transaksi jasa antar-wajib pajak.
Dengan demikian, apabila orang pribadi yang berprofesi sebagai influencer mendapatkan imbalan dalam bentuk barang maka tetap dikenakan PPh Pasal 21 atas natura. Dalam penghitungan PPh, imbalan dalam bentuk natura dinilai berdasarkan nilai pasar barang tersebut.
Pemotongan PPh Pasal 23 atas Penghasilan Agensi
Selain bergerak secara independen, influencer juga dapat tergabung dalam agensi. Dalam skema ini, brand atau perusahaan akan menghubungi agensi, lalu agensi tersebut akan menghubungi influencer yang bersangkutan.
Jika agensi tersebut merupakan manajemen atau wajib pajak badan, brand atau perusahaan pengguna jasa perlu memotong PPh Pasal 23 atas jasa periklanan. PPh Pasal 23 tersebut dikenakan dengan tarif 2% dari jumlah penghasilan bruto.
Selanjutnya, agensi tersebut memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diberikan kepada influencer.
Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan, penghasilan influencer dikenakan PPh mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku. Pengenaan PPh tersebut didasarkan pada jenis penghasilan atau transaksi yang dilakukan oleh influencer.
Namun, penjelasan tersebut masih berupa ilustrasi sederhana. Nyatanya, proses bisnis dan jenis penghasilan yang diterima influencer bisa jauh lebih kompleks.
Di sisi lain, sejumlah literatur memperlakukan penghasilan wajib pajak orang pribadi yang berprofesi influencer sebagai penghasilan usaha yang bisa dikenakan PPh final UMKM.
Mengacu PP 55/2022, tarif PPh Final 0,5% dikenakan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp4,8 miliar.
Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dari jasa sehubungan pekerjaan bebas tidak termasuk dalam penghasilan yang dikenakan PPh final 0,5%.
Berdasarkan Pasal 56 ayat (4) PP 55/2022, jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas itu di antaranya meliputi: pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari.
Pasal tersebut tidak secara eksplisit menyebut influencer sehingga sejumlah pihak memandang wajib pajak orang pribadi yang berprofesi sebagai influencer dapat menggunakan tarif PPh Final 0,5%.
Sementara itu, pada sejumlah sosialisasi, DJP kerap mengategorikan influencer sebagai pekerjaan bebas dengan kategori pekerja seni.
Kerancuan perlakuan PPh tersebut mengindikasikan perlunya penegasan mengenai ketentuan PPh atas penghasilan influencer. Selain itu, penegasan definisi influencer atau kategori KLU influencer juga diperlukan.
Contoh, DJP sempat memberikan penegasan soal pemotongan/pemungutan PPh atas transaksi e-commerce melalui SE-06/PJ/2015. Penegasan serupa atas penghasilan influencer agaknya diperlukan agar memberikan kepastian hukum dan kesamaan perlakuan pajak dengan profesi lain. (rig)