FENOMENA influencer atau content creator media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap ekonomi digital global. Dari sekadar mengunggah konten di platform daring, pendapatan yang didapat influencer tidaklah sedikit.
Berdasarkan data Statista, pasar marketing influencer global pada 2025 diperkirakan mencapai US$33 miliar, naik 3 kali lipat dibandingkan dengan estimasi pada 2020 senilai US$9,7 miliar. Tentu, angka tersebut akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya.
Menyadari potensi fiskal dari profesi tersebut, otoritas pajak di berbagai negara mulai bergerak cepat mencari cara yang efektif untuk memajaki penghasilan para bintang dunia maya ini. China, menjadi salah satu negara yang ‘galak’ dalam mengejar pajak influencer ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, Negara Panda gencar menyisir para influencer populer yang memiliki penghasilan yang fantastis. Beberapa influencer bahkan dikenai denda lantaran tidak membayar pajak penghasilan dengan sebenarnya.
Contoh, influencer bernama Wang Zibo atau biasa dikenal dengan Master Bo. Influencer yang kerap kali memamerkan gaya hidup mewah dan kekayaannya secara berlebihan ini dikenai denda hingga US$1,8 juta karena penggelapan pajak (tax evasion).
Selain itu, ada lagi influencer bernama Viya alias Huang Wei. Perempuan yang dijuluki live-streaming queen di China ini dikabarkan melakukan penggelapan pajak sehingga diharuskan membayar denda hingga US$210 juta atau sekitar Rp3 triliun.
Namun, ada juga influencer lainnya yang patuh membayar pajak, salah satunya Pan Yurun. Gadis dengan nama panggung Little Fairy ini merupakan salah satu influencer yang membagikan konten terkait dengan tips-tips kecantikan.
Influencer berusia 28 tahun dengan 7,7 juta followers di media sosial Douyin ini mendeklarasikan pembayaran pajak sekitar US$13 juta atau setara dengan Rp211,78 miliar pada tahun lalu. Angka ini tentu membuktikan bahwa cuan dari profesi influencer memang tidak main-main.
Untuk memastikan kepatuhan pajak influencer, otoritas pajak China bahkan menyusun regulasi yang mewajibkan penyelenggara marketplace dan platform sosial media untuk melaporkan nama dan penghasilan influencer, serta informasi lainnya terkait dengan penghasilan influencer bersangkutan.
Lantas, bagaimana di Indonesia? Penggalian potensi pajak influencer sesungguhnya sudah dilakukan Ditjen Pajak (DJP). Kegiatan pengawasan dan pemeriksaan terhadap semua wajib pajak, termasuk pekerja bebas seperti influencer dan content creator, terus digencarkan.
Menurut Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, kegiatan pengawasan dan pemeriksaan dilakukan guna memastikan para pekerja bebas tersebut membayarkan dan melaporkan pajak sesuai dengan kondisi sebenarnya, serta sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Kami pernah melakukan pengawasan atau pemeriksaan terhadap para influencer. Saya bisa pastikan itu pernah dilakukan karena memang ada catatannya," katanya.
Salah satu upaya yang dilakukan DJP ialah mengawasi konten-konten yang dihasilkan di media sosial melalui teknologi crawling. Umumnya, petugas pajak menyasar selebriti, influencer, dan siapa pun yang sering memamerkan gaya hidup mewah.
"Medsos kan crawling segala macam. Ini operasi intelijen kami lha. Ini skema pengawasan yang juga dilakukan oleh teman-teman kami di DJP dari dulu," tutur Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama.
Hasil crawling dari media sosial kemudian dicocokkan dengan data internal DJP. Apabila ditemukan ketidaksesuaian antara gaya hidup yang dipamerkan dan laporan pajak, DJP akan melakukan edukasi atau meminta klarifikasi kepada wajib pajak tersebut.
Selain pengawasan, DJP juga melakukan sosialisasi mengenai hak dan kewajiban pajak influencer melalui berbagai kanal. DJP bahkan sempat menemui salah satu influencer populer untuk berdialog tentang kewajiban perpajakan mereka.
Namun demikian, pemerintah mengakui upaya untuk mengoptimalkan pajak influencer tidak mudah. Hingga saat ini, otoritas pajak belum memetakan secara khusus sektor pekerjaan tersebut. Tak hanya itu, proses identifikasi (profiling) influencer juga sulit.
Hal ini dikarenakan profesi influencer kerap kali tumpang tindih karena seseorang bisa berstatus sebagai ASN atau pegawai swasta, tetapi juga menjalani aktivitas sebagai influencer. Pada gilirannya, proses pemetaan dan pelaporan secara spesifik menjadi kompleks.
Tantangan selanjutnya ialah menelusuri sumber-sumber penghasilan influencer. Apabila penghasilan influencer berhubungan langsung dengan platform media sosial, seperti adsense, VIP content, hingga affiliate, mungkin lebih mudah dilacak sepanjang otoritas pajak mendapatkan data langsung dari platform media sosial masing-masing.
Namun, cerita berbeda jika penghasilan berasal dari klien secara langsung (brand deals). Sebab, tak jarang kesepakatan kerja sama yang dilakukan secara langsung antara influencer dan klien itu tanpa kontrak formal sehingga sulit bagi otoritas pajak untuk menelusuri nilainya.
Belum lagi, bentuk pembayarannya pun beragam. Selain uang tunai atau transfer bank, jasa influencer juga dapat dibayar dengan barang, voucer, atau fasilitas tertentu, yang sering kali tidak tercatat dalam laporan penghasilan.
Menurut Influencer Marketing Hub & Oberlo (2023), rata-rata penghasilan influencer global yang berasal dari brand deals sekitar 68%, disusul adsense sebesar 7,8% dan affiliate sebesar 4,58%. Catatan ini tentu perlu menjadi perhatian bagi otoritas pajak.
Kendati tidak mudah, potensi penerimaan pajak dari profesi tersebut tidak bisa diabaikan. Dengan jumlah pengguna media sosial di Indonesia yang diperkirakan lebih dari 143 juta orang, ekosistem influencer masih akan terus berkembang pesat di berbagai platform.
Untuk itu, pemerintah dan otoritas pajak perlu segera bergerak untuk mengambil peluang. Salah satu yang perlu dilakukan ialah memperkuat basis data dengan mengintegrasikan informasi dari berbagai sumber, mulai dari platform media sosial, perusahaan periklanan, dan lain sebagainya.
Selain itu, DJP dapat meniru upaya yang telah dilakukan oleh negara lain, yaitu menggencarkan nudge message dengan mengirimkan surat imbauan terkait dengan kewajiban pajak influencer.
Pada akhirnya, upaya memajaki influencer bukan hanya soal mengejar potensi penerimaan, melainkan untuk memastikan kesetaraan perlakuan pajak di era ekonomi digital.
Influencer, seperti profesi lainnya, punya peran dalam mendukung pembiayaan negara. Untuk itu, kita tentu berharap pemerintah bisa membuka selubung potensi pajak yang selama ini tersembunyi di balik layar ponsel dan sorotan kamera. (rig)