BAYANGKAN, 1 video berdurasi 5 menit yang diunggah seorang kreator Indonesia di YouTube bisa menghasilkan pendapatan hingga jutaan rupiah, bukan hanya dari iklan, tetapi juga dari membership, superchat, hingga konten eksklusif.
Dalam sehari, ribuan transaksi terjadi di platform digital, mengalirkan miliaran rupiah ke rekening kreator. Namun, di balik euforia ekonomi kreatif ini, ada 1 pertanyaan penting: sudahkah potensi ini menjadi sumber penerimaan pajak yang sehat dan berkelanjutan bagi negara?
Indonesia termasuk dalam jajaran negara dengan pengguna media sosial terbesar di dunia. Data We Are Social (2024) mencatat lebih dari 170 juta pengguna aktif di Indonesia. Bayangkan jika hanya 1% di antaranya menjadi kreator dengan penghasilan menengah hingga tinggi, potensi pajaknya dapat mencapai triliunan rupiah per tahun.
Fitur monetisasi seperti YouTube Membership, Super Chat, dan Instagram Subscription membuka peluang pemasukan berulang bagi kreator. Namun, mekanisme pembayaran yang sering kali melibatkan platform global membuat proses pemotongan pajak di sumber dan pelaporannya menjadi rumit.
Ada beberapa hambatan yang membuat optimalisasi pajak dari influencer dan membership online belum maksimal, antara lain kesadaran pajak yang rendah. Banyak kreator baru tidak memahami semua pendapatan digital, baik dari dalam maupun luar negeri, merupakan objek PPh.
Lalu, pengawasan lintas negara. Banyak pembayaran dilakukan melalui perusahaan luar negeri sehingga memerlukan pertukaran data lintas yurisdiksi. Kemudian, regulasi yang belum seragam. PPN untuk platform digital luar negeri memang sudah berjalan, tetapi PPh untuk influencer masih membutuhkan pendekatan teknis yang lebih sederhana.
Agar potensi pajak influencer dan membership online benar-benar tergarap optimal, strategi yang dijalankan harus realistis, langsung menyentuh akar persoalan, dan memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada.
Terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh Ditjen Pajak (DJP). Pertama, integrasi coretax dengan Application Programming Interface (API) platform digital.
DJP dapat membangun API yang terhubung dengan sistem platform digital seperti YouTube, Instagram, dan TikTok, hanya untuk mengakses data penghasilan bruto yang relevan dengan kewajiban pajak.
Tentu, kreator harus memberikan persetujuan eksplisit (consent) melalui akun coretax atau platform digital sebelum data diakses. Data yang diambil juga tidak mencakup informasi pribadi lain seperti pesan, daftar subscriber, atau isi konten—terbatas hanya pada total pendapatan per periode.
Kemudian, hal penting lainnya yang perlu diperhatikan ialah data tersebut hanya digunakan untuk tujuan verifikasi pelaporan pajak dan dilindungi sesuai dengan UU 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Dengan skema tersebut, DJP dapat memverifikasi kebenaran pelaporan penghasilan tanpa melanggar privasi atau mengambil data yang tidak relevan.
Kedua, pemotongan pajak otomatis di sumber pembayaran. Pemerintah dapat bekerja sama dengan pihak bank, dompet digital, dan payment gateway lokal untuk memotong pajak langsung saat dana masuk ke rekening kreator.
Besaran tarif mengikuti jenis penghasilan, misal PPh Final UMKM atau tarif umum PPh Pasal 17. Kreator akan menerima bukti potong digital secara otomatis yang tersinkronisasi ke akun coretax mereka. Skema ini mengurangi risiko lupa atau lalai membayar pajak sekaligus menyederhanakan arus administrasi.
Ketiga, menyelenggarakan program edukasi Kreator Patuh. DJP dapat menggagas pelatihan daring interaktif khusus kreator, berisi panduan menghitung pajak, memahami konteks bukti potong, hingga tips memanfaatkan insentif pajak.
Kreator yang lulus pelatihan mendapat sertifikat Kreator Patuh Pajak yang dapat dipasang pada profil media sosial mereka. Sertifikat ini menjadi nilai tambah bagi reputasi kreator di mata brand dan penonton sehingga kepatuhan pajak menjadi competitive advantage.
Upaya memperluas basis pajak ekonomi digital tentu tidak hanya menjadi PR Indonesia saja. Banyak negara yang kini dihadapkan pada tantangan yang sama, yaitu bagaimana menata sistem pajak agar mampu mengikuti arus monetisasi baru di dunia digital tanpa menekan kreativitas pelaku industri.
Dari pengalaman mereka, Indonesia dapat belajar bagaimana merumuskan kebijakan pajak yang adaptif sekaligus berkeadilan. Salah satu negara tersebut ialah Inggris dan Australia.
Di Australia, Australian Influencer Marketing Council (AiMCO) meluncurkan panduan Taxation and Compliance yang mengatur aspek pajak bagi influencer, termasuk kewajiban melaporkan pendapatan digital dan mendaftar GST bagi kreator dengan penghasilan di atas ambang tertentu.
Bahkan, Australian Taxation Office (ATO) juga menegaskan hadiah, produk gratis, atau endorsement bernilai ekonomi wajib dilaporkan sebagai penghasilan.
Sementara itu, di Inggris, otoritas pajak HM Revenue & Customs (HMRC) mewajibkan kreator untuk melaporkan penghasilan dari endorsement, hadiah, atau barter melalui mekanisme mandiri atau self-assessment.
Jika penghasilan melebihi batas tertentu, kreator wajib membayar PPh sesuai dengan tarif progresif. Di sisi lain, pemerintah Inggris juga menyediakan trading allowance bagi kreator kecil agar tidak terbebani pajak di tahap awal.
Kembali ke Indonesia, pajak ekonomi digital memang bukan hanya soal menambah kas negara, tetapi juga membangun kesadaran bahwa setiap rupiah yang dihasilkan di dunia maya memiliki dampak di dunia nyata.
Influencer dan kreator adalah wajah baru ekonomi Indonesia, dan kontribusi mereka melalui pajak merupakan bukti nyata kepedulian pada masa depan bangsa.
Dengan kebijakan yang tepat, setiap subscribe, superchat, atau membership join bukan hanya mendukung pendapatan kreator, tetapi juga menjadi investasi kolektif untuk Indonesia yang lebih maju dan berkeadilan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.