TUJUH tahun lalu, anak-anak dan remaja di Indonesia tiba-tiba saja 'demam squishy'. Mainan elastis itu mendadak laris.
Bahkan, ada portal berita yang memberitakan kalau ibu-ibu mengeluh karena putra-putrinya merengek dibelikan produk yang kebanyakan made in China itu.
Ada satu nama di balik meledaknya fenomena tersebut: Ria Ricis. Ricis adalah pembuat konten (content creator) di kanal Youtube dengan pengikut jutaan.
Gara-gara dirinya kerap mengunggah konten yang berisi ulasan mainan squishy, pengikutnya yang demografinya beragam turut terpengaruh. Mereka ikut-ikutan tertarik untuk punya mainan yang di-review oleh Ricis.
Ya, banyak orang yang terpengaruh. Itulah kenapa Ricis --dan koleganya yang menggeluti bidang serupa-- kemudian jamak disebut sebagai influencer alias pemengaruh. Mereka, Ricis cs, memang memiliki modal besar untuk bisa memengaruhi khalayak ramai: persona yang kuat, pengikut yang banyak, dan konten-konten di media sosial yang menghibur.
Dengan power yang sedemikian besar, influencer pada akhirnya dilirik oleh banyak merek, baik kecil atau besar, untuk memasarkan produknya. Tujuannya, agar barang yang dipasarkan berhasil menarik minat publik seperti yang terjadi pada mainan squishy tadi.
Melalui platform beragam, mulai dari Youtube, Facebook, Instagram, TikTok, Twitter, hingga Thread, influencer menawarkan apa yang diimpikan oleh para pemasar: ruang amplifikasi produk yang luas. Pada akhirnya, ini membuat habit pemasaran pelan-pelan bergeser dari media konvensional ke media sosial melalui peran influencer.
Aliran penghasilan pun makin deras mengerah ke influencer. Mereka tidak cuma memperoleh income dari platform (melalui adsense, premium subscription, hingga gift), tetapi juga menerima pemasukan dari merek-merek yang memakai jasanya (brand deals).
Ditilik dari aspek pajak, hingga saat ini belum ada ketentuan spesifik yang tegas mengatur pemajakan atas influencer.
Namun secara prinsip, penghasilan dalam bentuk apapun merupakan objek pajak, sepanjang tidak dikecualikan dari objek. Dengan demikian, beragam jenis penghasilan influencer tersebut juga merupakan objek PPh.
Belum adanya penegasan eksplisit terkait aturan pajak influencer membuat pemenuhan kewajiban pajak atas profesi ini masih bercabang melalui beberapa opsi.
Dalam ketentuan perpajakan, influencer masuk ke dalam pekerjaan bebas. Karenanya, influencer dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) dalam menghitung penghasilan netonya.
Di sisi lain, sejumlah literatur juga memperlakukan penghasilan wajib pajak orang pribadi yang berprofesi influencer sebagai penghasilan usaha yang bisa dikenakan PPh final UMKM. Belum lagi terkait dengan pemotongan pajak oleh pihak ketiga.
Artinya, aturan pajak influencer sebetulnya sudah ada. Hanya saja, belum ada penegasan mengenai diksi 'influencer' di dalam produk-produk hukum tersebut. Apakah perlu diperjelas dan dipertegas? Tentu itu menjadi aspek yang perlu ditinjau oleh otoritas pajak.
Tantangan lainnya adalah kepatuhan. Dengan aturan eksisting, sebenarnya influencer 'tinggal' menjalankan kewajibannya. Namun, aturan mana yang perlu diikuti influencer? Rongga inilah yang perlu diisi oleh otoritas: edukasi dan sosialisasi.
Kompleksitas alur penghasilan yang diterima oleh influencer dan tumpang tindihnya aturan, bisa jadi membuat mereka kesulitan dalam menjalankan kewajiban pajaknya. Karenanya, otoritas pajak perlu menjalankan fungsi penyuluhan dengan baik.
Toh ketika influencer bisa memahami dengan baik ketentuan pajak yang perlu ditaati, kepatuhan mestinya mengekor di belakangnya.
Dengan kemampuan amplifikasi pesan yang besar, influencer juga mestinya digandeng oleh otoritas pajak untuk turut memengaruhi koleganya sesama influencer. Bisa saja, Ditjen Pajak (DJP) menjadikan influencer sebagai 'brand ambassador' dalam hal kepatuhan pajak.
Sejalan dengan itu, internal DJP juga perlu menjalankan fungsinya untuk memetakan potensi pajak influencer. Pendekatan terhadap platform media sosial seperti Youtube, TikTok, Instagram, Facebook, hingga X perlu dilakukan untuk merekam lalu lintas transaksi penghasilan influencer.
Penegasan mengenai pemajakan atas profesi influencer bisa menjadi alternatif bagi otoritas dan wajib pajak dalam membangun keadilan pajak, terutama dalam konteks pajak penghasilan.
Jumbonya potensi penghasilan yang diterima oleh influencer perlu ditangkap oleh otoritas pajak sebagai potensi yang harus diukur dengan seksama. Dengan demikian, apapun kebijakan yang disusun nantinya tidak akan mencederai aspek keadilan. (sap)