INDONESIA dijuluki sebagai negara megabiodiversitas karena keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Dari hutan tropis hingga laut yang kaya akan terumbu karang, Indonesia menjadi rumah bagi ribuan spesies satwa dan tumbuhan.
Sayangnya, di balik keunggulan tersebut, beragam jenis satwa dan tumbuhan Indonesia terancam punah dan rentan menjadi komoditas perdagangan ilegal. Untuk itu, negara perlu hadir menjadi pelindung terbaik bagi satwa dan tumbuhan yang dimilikinya.
Sebagai community protector, Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) pun turut berperan dalam upaya perlindungan satwa dan tumbuhan Indonesia. Peran tersebut khususnya berupa penegakan hukum terkait dengan CITES. Kerap muncul dalam berbagai penindakan dan ketentuan DJBC, sebenarnya apa itu CITES?
CITES merupakan kependekan dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Dalam bahasa Indonesia, CITES bisa diterjemahkan menjadi konvensi perdagangan internasional untuk spesies-spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam punah.
Merujuk cites.org (laman resmi CITES), CITES adalah perjanjian internasional antarpemerintah yang bertujuan untuk memastikan bahwa perdagangan internasional spesimen satwa dan tumbuhan liar tidak mengancam kelangsungan hidup spesies tersebut.
Naskah konvensi CITES disepakati pada suatu konferensi diplomatik di Washington DC pada 3 Maret 1973 dan resmi berlaku mulai 1 Juli 1975. Mengacu pada naskah tersebut, ada 4 hal pokok yang menjadi dasar terbentuknya konvensi CITES.
Pertama, perlunya perlindungan terhadap satwa dan tumbuhan liar dari generasi ke generasi. Kedua, peningkatan nilai satwa dan tumbuhan liar dari sudut pandang estetika, ilmiah, budaya, rekreasi dan ekonomi.
Ketiga, masyarakat dan negara harus menjadi pelindung terbaik bagi satwa dan tumbuhan liar. Keempat, semakin mendesaknya kebutuhan akan suatu kerjasama internasional untuk melindungi spesies satwa dan tumbuhan liar tertentu dari over-eksploitasi melalui kontrol perdagangan internasional.
Dalam perkembangannya, CITES menjadi salah satu perjanjian konservasi dengan keanggotaan terbesar karena telah mengikat 185 negara dan organisasi ekonomi regional. Negara yang telah sepakat untuk terikat dengan Konvensi CITES (yang telah bergabung dengan CITES) disebut sebagai para pihak (parties).
Kendati CITES mengikat para pihak secara hukum, CITES tidak menggantikan hukum masing-masing negara. Adapun CITES hanya menyediakan kerangka kerja yang harus dijunjung oleh setiap pihak yang membuat undang-undang untuk implementasi CITES di tingkat nasional.
Secara sederhana, ketentuan umum peredaran spesimen CITES untuk kegiatan komersial dan nonkomersial diatur melalui sistem permit/certificate (antara lain: export permit, re-export certificate, import permit dan certificate of origin).
Dengan demikian semua pergerakan satwa dan tumbuhan liar lintas batas negara wajib disertai dengan dokumen yang sah. Aturan ini berlaku untuk semua spesimen hidup atau mati dan produk yang menggunakan bagian-bagian atau turunan daripadanya. Pengecualian dan perlakuan khusus dapat diberikan dalam kondisi tertentu (DJBC, 2015).
Setiap pihak (negara) harus menunjuk satu atau lebih management authority yang bertanggung jawab mengelola sistem perizinan tersebut. Selain itu, setiap pihak perlu menunjuk satu atau lebih scientific authorities untuk memberikan nasihat tentang dampak perdagangan terhadap status spesies tersebut.
Spesies satwa dan tumbuhan yang tercakup dalam CITES digolongkan dalam 3 kelompok yang disebut Apendiks I, Apendiks II, dan Apendiks III. Pengelompokkan itu dibuat sesuai dengan tingkat perlindungan yang dibutuhkan. Merujuk Article II Konvensi CITES, 3 apendiks tersebut, meliputi:
Setiap negara tidak boleh mengizinkan perdagangan spesimen spesies yang termasuk dalam Apendiks I, II dan III, kecuali sesuai dengan ketentuan dalam konvensi CITES. Informasi tambahan mengenai jumlah dan jenis spesies yang tercakup dalam konvensi dapat dilihat melalui laman resmi CITES.
Sekretariat CITES berkantor di Jenewa, Swiss. Pendanaan kegiatan sekretariat dan Conference of the Parties (CoP) berasal dari dana perwalian yang merupakan sumbangan para pihak. Adapun CoP merupakan badan pengambil keputusan tertinggi konvensi dan beranggotakan seluruh pihak.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi CITES melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 43 Tahun 1978. Indonesia masuk menjadi anggota CITES yang ke 48 pada 28 Desember 1978 (DJBC, 2015).
Adapun kontrol dan pengawasan atas perdagangan ilegal satwa dan tumbuhan liar nasional diatur dalam skema larangan dan pembatasan (Lartas). Hal ini merujuk pada skema pengendalian impor dan ekspor yang diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Kepabeanan
Khusus untuk satwa, pengendalian impor dan ekspor dalam bentuk peraturan lartas di antaranya merujuk pada Keputusan Menteri Kehutanan No. 0447/KPTS-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
Keppres tersebut mendefinisikan CITES sebagai konvensi (perjanjian) internasional yang bertujuan untuk membantu pelestarian populasi di habitat alamnya melalui pengendalian perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar. Keppres itu juga telah memberikan definisi Apendiks I, II, dan III sebagai berikut:
Di Indonesia, tumbuhan dan satwa liar (TSL) yang masuk dalam Appendix I CITES di antaranya semua jenis penyu, jalak bali, komodo, orang utan, babi rusa, harimau, beruang madu, badak jawa, arwana kalimantan, dan beberapa jenis yang lain (DJBC, 2015).
Sementara itu, TSL yang termasuk dalam Apendiks II CITES di antaranya trenggiling, serigala, merak hijau, gelatik, beo, beberapa jenis kura-kura, beberapa jenis ular kobra, beberapa jenis koral, dan beberapa jenis anggrek (DJBC, 2015).
Adapun lembaga yang berwenang terkait dengan CITES di Indonesia adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai management authority dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI (kini disebut BRIN) sebagai scientific authority (DJBC, 2015).
Ada pula DJBC yang menjadi lembaga penegak hukum CITES yang di antaranya berwenang melakukan pemeriksaan dokumen ekspor yang dimiliki para eksportir. Selain itu, ada pula kerja sama dengan kepolisian, badan karantina, dan pihak-pihak lain yang terkait.
Ringkasnya, CITES adalah perjanjian internasional yang bertujuan untuk memastikan bahwa perdagangan internasional spesies satwa dan tumbuhan liar tidak mengancam kelangsungan hidupnya di alam liar.
Spesies satwa dan tumbuhan yang tercakup dalam CITES digolongkan dalam 3 kelompok yang disebut Apendiks I, Apendiks II, dan Apendiks III. Pengelompokkan itu dibuat sesuai dengan tingkat perlindungan yang dibutuhkan.
DJBC turut andil menjalankan peran penegakan hukum terkait dengan implementasi CITES. Penegakan hukum yang dilakukan DJBC, yakni melalui skema pengawasan larangan dan pembatasan terhadap hewan dan tumbuhan yang termasuk dalam daftar CITES. (rig)
