KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu CITES dan Hubungannya dengan Kepabeanan?

Nora Galuh Candra Asmarani
Senin, 17 November 2025 | 18.00 WIB
Apa Itu CITES dan Hubungannya dengan Kepabeanan?

INDONESIA dijuluki sebagai negara megabiodiversitas karena keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Dari hutan tropis hingga laut yang kaya akan terumbu karang, Indonesia menjadi rumah bagi ribuan spesies satwa dan tumbuhan.

Sayangnya, di balik keunggulan tersebut, beragam jenis satwa dan tumbuhan Indonesia terancam punah dan rentan menjadi komoditas perdagangan ilegal. Untuk itu, negara perlu hadir menjadi pelindung terbaik bagi satwa dan tumbuhan yang dimilikinya.

Sebagai community protector, Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) pun turut berperan dalam upaya perlindungan satwa dan tumbuhan Indonesia. Peran tersebut khususnya berupa penegakan hukum terkait dengan CITES. Kerap muncul dalam berbagai penindakan dan ketentuan DJBC, sebenarnya apa itu CITES?

Definisi CITES

CITES merupakan kependekan dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Dalam bahasa Indonesia, CITES bisa diterjemahkan menjadi konvensi perdagangan internasional untuk spesies-spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam punah.

Merujuk cites.org (laman resmi CITES), CITES adalah perjanjian internasional antarpemerintah yang bertujuan untuk memastikan bahwa perdagangan internasional spesimen satwa dan tumbuhan liar tidak mengancam kelangsungan hidup spesies tersebut.

Naskah konvensi CITES disepakati pada suatu konferensi diplomatik di Washington DC pada 3 Maret 1973 dan resmi berlaku mulai 1 Juli 1975. Mengacu pada naskah tersebut, ada 4 hal pokok yang menjadi dasar terbentuknya konvensi CITES.

Pertama, perlunya perlindungan terhadap satwa dan tumbuhan liar dari generasi ke generasi. Kedua, peningkatan nilai satwa dan tumbuhan liar dari sudut pandang estetika, ilmiah, budaya, rekreasi dan ekonomi.

Ketiga, masyarakat dan negara harus menjadi pelindung terbaik bagi satwa dan tumbuhan liar. Keempat, semakin mendesaknya kebutuhan akan suatu kerjasama internasional untuk melindungi spesies satwa dan tumbuhan liar tertentu dari over-eksploitasi melalui kontrol perdagangan internasional.

Dalam perkembangannya, CITES menjadi salah satu perjanjian konservasi dengan keanggotaan terbesar karena telah mengikat 185 negara dan organisasi ekonomi regional. Negara yang telah sepakat untuk terikat dengan Konvensi CITES (yang telah bergabung dengan CITES) disebut sebagai para pihak (parties).

Kendati CITES mengikat para pihak secara hukum, CITES tidak menggantikan hukum masing-masing negara. Adapun CITES hanya menyediakan kerangka kerja yang harus dijunjung oleh setiap pihak yang membuat undang-undang untuk implementasi CITES di tingkat nasional.

Secara sederhana, ketentuan umum peredaran spesimen CITES untuk kegiatan komersial dan nonkomersial diatur melalui sistem permit/certificate (antara lain: export permit, re-export certificate, import permit dan certificate of origin).

Dengan demikian semua pergerakan satwa dan tumbuhan liar lintas batas negara wajib disertai dengan dokumen yang sah. Aturan ini berlaku untuk semua spesimen hidup atau mati dan produk yang menggunakan bagian-bagian atau turunan daripadanya. Pengecualian dan perlakuan khusus dapat diberikan dalam kondisi tertentu (DJBC, 2015).

Setiap pihak (negara) harus menunjuk satu atau lebih management authority yang bertanggung jawab mengelola sistem perizinan tersebut. Selain itu, setiap pihak perlu menunjuk satu atau lebih scientific authorities untuk memberikan nasihat tentang dampak perdagangan terhadap status spesies tersebut.

Spesies satwa dan tumbuhan yang tercakup dalam CITES digolongkan dalam 3 kelompok yang disebut Apendiks I, Apendiks II, dan Apendiks III. Pengelompokkan itu dibuat sesuai dengan tingkat perlindungan yang dibutuhkan. Merujuk Article II Konvensi CITES, 3 apendiks tersebut, meliputi:

  • Apendiks I mencakup seluruh spesies yang terancam punah yang sedang atau mungkin terdampak oleh perdagangan. Perdagangan spesimen spesies ini harus tunduk pada peraturan yang sangat ketat agar tidak membahayakan kelangsungan hidup spesies tersebut dan hanya boleh diizinkan dalam keadaan luar biasa;
  • Apendiks II mencakup seluruh spesies yang belum tentu terancam punah, tetapi dapat menjadi terancam punah apabila perdagangan spesies tersebut tidak diatur secara ketat untuk menghindari pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kelangsungan hidup spesies tersebut; dan
  • Apendiks III mencakup semua spesies yang oleh salah satu pihak (negara) diidentifikasi sebagai subjek yang dicegah dan dibatasi eksploitasinya serta memerlukan kerja sama dari pihak lain dalam pengendalian perdagangannya. Ringkasnya, Apendiks III memuat spesies yang dilindungi oleh setidaknya satu negara, yang telah meminta bantuan pihak CITES lainnya dalam mengendalikan perdagangannya.

Setiap negara tidak boleh mengizinkan perdagangan spesimen spesies yang termasuk dalam Apendiks I, II dan III, kecuali sesuai dengan ketentuan dalam konvensi CITES. Informasi tambahan mengenai jumlah dan jenis spesies yang tercakup dalam konvensi dapat dilihat melalui laman resmi CITES.

Sekretariat CITES berkantor di Jenewa, Swiss. Pendanaan kegiatan sekretariat dan Conference of the Parties (CoP) berasal dari dana perwalian yang merupakan sumbangan para pihak. Adapun CoP merupakan badan pengambil keputusan tertinggi konvensi dan beranggotakan seluruh pihak.

Ketentuan CITES di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi CITES melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 43 Tahun 1978. Indonesia masuk menjadi anggota CITES yang ke 48 pada 28 Desember 1978 (DJBC, 2015).

Adapun kontrol dan pengawasan atas perdagangan ilegal satwa dan tumbuhan liar nasional diatur dalam skema larangan dan pembatasan (Lartas). Hal ini merujuk pada skema pengendalian impor dan ekspor yang diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Kepabeanan

Khusus untuk satwa, pengendalian impor dan ekspor dalam bentuk peraturan lartas di antaranya merujuk pada Keputusan Menteri Kehutanan No. 0447/KPTS-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.

Keppres tersebut mendefinisikan CITES sebagai konvensi (perjanjian) internasional yang bertujuan untuk membantu pelestarian populasi di habitat alamnya melalui pengendalian perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar. Keppres itu juga telah memberikan definisi Apendiks I, II, dan III sebagai berikut:

  • Apendiks I adalah daftar di dalam CITES yang memuat jenis-jenis yang telah terancam punah (endangered) sehingga perdagangan internasional spesimen yang berasal dari habitat alam harus dikontrol dengan ketat dan hanya diperkenankan untuk kepentingan non-komersial tertentu dengan izin khusus;
  • Appendiks II adalah daftar di dalam CITES yang memuat jenis-jenis yang saat ini belum terancam punah, namun dapat menjadi terancam punah apabila perdagangan internasionalnya tidak dikendalikan; dan
  • Apendiks III adalah daftar di dalam CITES yang memuat jenis-jenis yang oleh suatu negara tertentu pemanfaatannya dikendalikan dengan ketat dan memerlukan bantuan pengendalian internasional.

Di Indonesia, tumbuhan dan satwa liar (TSL) yang masuk dalam Appendix I CITES di antaranya semua jenis penyu, jalak bali, komodo, orang utan, babi rusa, harimau, beruang madu, badak jawa, arwana kalimantan, dan beberapa jenis yang lain (DJBC, 2015).

Sementara itu, TSL yang termasuk dalam Apendiks II CITES di antaranya trenggiling, serigala, merak hijau, gelatik, beo, beberapa jenis kura-kura, beberapa jenis ular kobra, beberapa jenis koral, dan beberapa jenis anggrek (DJBC, 2015).

Adapun lembaga yang berwenang terkait dengan CITES di Indonesia adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai management authority dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI (kini disebut BRIN) sebagai scientific authority (DJBC, 2015).

Ada pula DJBC yang menjadi lembaga penegak hukum CITES yang di antaranya berwenang melakukan pemeriksaan dokumen ekspor yang dimiliki para eksportir. Selain itu, ada pula kerja sama dengan kepolisian, badan karantina, dan pihak-pihak lain yang terkait.

Simpulan

Ringkasnya, CITES adalah perjanjian internasional yang bertujuan untuk memastikan bahwa perdagangan internasional spesies satwa dan tumbuhan liar tidak mengancam kelangsungan hidupnya di alam liar.

Spesies satwa dan tumbuhan yang tercakup dalam CITES digolongkan dalam 3 kelompok yang disebut Apendiks I, Apendiks II, dan Apendiks III. Pengelompokkan itu dibuat sesuai dengan tingkat perlindungan yang dibutuhkan.

DJBC turut andil menjalankan peran penegakan hukum terkait dengan implementasi CITES. Penegakan hukum yang dilakukan DJBC, yakni melalui skema pengawasan larangan dan pembatasan terhadap hewan dan tumbuhan yang termasuk dalam daftar CITES. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.