KARAKTER fiksi berusia lanjut (lansia) selalu muncul di setiap cerita yang ditulis oleh Keigo Higashino, seorang penulis kenamaan Jepang. Bahkan, tokoh utama dalam buku Namiya Zakkaten No Kiseki, seorang kakek bernama Namiya, adalah lansia yang menghabiskan masa tuanya dengan menjaga toko kelontong kecilnya.
Kecenderungan Keigo dalam memasukkan 'tokoh tua' memang lekat dengan realitas yang dihadapi Jepang saat ini, yakni ledakan populasi lansia. Jadi tak heran kalau banyak judul bukunya terselip figur senior.
Pada 2025, proporsi penduduk berusia 65 tahun ke atas di Jepang mencapai rekor tertinggi. Sebanyak 29,4% dari total populasi Jepang adalah lansia. Statistik ini menjadikan Jepang sebagai salah satu negara dengan rasio lansia tertinggi di dunia (Sōmu-shō, 2025).
Melonjaknya populasi orang tua dan menyusutnya angkatan kerja tentunya memberikan tantangan bagi pemerintah Jepang. Biaya medis naik tinggi, anggaran sosial membengkak, sementara angkatan kerja yang harus 'menanggung' melalui setoran pajak justru menipis.
Namun, kita tahu Jepang adalah negara 'si paling siap'. Termasuk soal menghadapi potensi ledakan populasi lansia ini. Berbagai bantalan solusi sudah disusun, seperti meningkatkan partisipasi lansia dalam angkatan kerja, mengimpor tenaga kerja asing untuk turut merawat lansia, hingga pemanfaatan teknologi robot.
Jepang tidak ujug-ujug siap. Selain ekonomi mereka memang maju, Jepang memiliki cakupan kepesertaan dana pensiun yang sangat tinggi. Sistem Pensiun Nasional (Kokumin Nenkin) diikuti oleh hampir 100% penduduk usia kerja.
Jepang sedang mengalaminya. Indonesia siap-siap berikutnya. Nasib yang sama, yakni ledakan populasi lansia, juga membayangi masa depan Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan ada tren kenaikan signifikan terhadap persentase penduduk lansia di Indonesia dari tahun ke tahun. Pada 2015, persentase lansia tercatat 8,43%. Angkanya naik signfikan pada 2024 menjadi 12%. Prediksinya, pada 2045 mendatang, jumlah lansia membeludak sampai 65,82 juta orang atau 20,31% dari total penduduk.
Ramalan ilmiah di atas perlu ditanggapi serius oleh pemerintah. Kalau tidak, penduduk tua di Indonesia nantinya tidak akan hidup dalam kesejahteraan, baik dalam aspek finansial atau kesehatan.
Ketidaksiapan Indonesia akan membuat angkatan tua yang hanya bergantung terhadap bantuan sosial pemerintah. Tak cuma itu, population boom atas warga senior juga berpotensi menambah beban finansial bagi kelompok usia yang lebih muda.
Risikonya, terciptalah sandwich generation yang meluas. Bakal makin banyak angkatan muda yang terbebani kewajiban untuk memenuhi kebutuhan angkatan tua.
Narasi Fiskal
Merespons tantangan di atas, pemerintah perlu memastikan cakupan kepesertaan dana pensiun lebih banyak lagi. Karenanya, akses terhadap program pensiun perlu dibuka lebar-lebar untuk seluruh segmen pekerja, baik formal atau informal.
Lalu masalahnya di mana? Salah satu yang utama adalah pemahaman yang rendah terhadap urgensi kepemilikan dana pensiun.
Karenanya, pemerintah perlu kembali menggaungkan narasi positif mengenai dana pensiun. Ruang lingkupnya bisa beragam, mulai dari kemudahan pembayaran iuran, fleksibilitas pencairan, manfaat atas dana yang diperoleh nantinya, hingga bagaimana aspek perpajakan terhadap dana pensiun.
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mencatat cakupan literasi tentang perlindungan jaminan pensiun baru mencapai 27,79% dari total penduduk Indonesia pada 2025. Sementara itu, inklusi keuangan dana pensiun juga baru menyentuh 5,37% pada tahun yang sama.
DJSN bahkan memublikasikan adanya pergeseran pemahaman bahwa perlindungan jaminan pensiun sering dianggap sebagai dana darurat semata. Mayoritas klaim jaminan hari tua (JHT), bahkan lebih banyak karena pekerja resign dari pekerjaan, bukan karena pensiun.
Itulah mengapa narasi ulang mengenai dana pensiun penting dilakukan.
Mengenai aspek perpajakan, salah satu narasi yang perlu dijabarkan adalah dikecualikannya iuran pensiun atas pemungutan pajak penghasilan (PPh). Regulasi ini sejatinya merupakan 'insentif' bagi para pekerja yang mau menyiapkan dana pensiunnya.
Secara umum, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, iuran pensiun yang disetorkan oleh para pekerja tidak dikenai PPh. Pajak baru dipungut ketika seseorang mencairkan manfaat atas dana pensiun yang terkumpul. Sederhananya, pajak tidak dikenakan di awal, tetapi di akhir.
Di sinilah efek psikis atas pemajakan dana pensiun muncul. Seolah-olah ada pemajakan yang tidak adil atas tabungan hari tua yang dikumpulkan secara susah payah.
Pergeseran pemahaman itu tampak pada gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap ketentuan pajak penghasilan (PPh) atas uang pensiun. Penggugat menilai ada beban psikologi yang timbul ketika seorang pensiunan memperoleh haknya.
Atas dasar argumen tersebut, mereka meminta agar MK membatalkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh yang telah direvisi lewat UU HPP yang mengambil pajak dari uang pensiun. Mereka juga meminta MK memerintahkan pemerintah untuk tidak mengenakan pajak atas dana pensiun baik pegawai pemerintah maupun pegawai swasta.
Lantas apakah tuntutan mereka adalah wujud keadilan yang sesungguhnya?
Dalam diskursus pemajakan atas dana pensiun, yang lebih penting adalah memandang alur atau mekanisme pemajakannya secara jernih. Alih-alih sebatas menuding adil atau tidak, kita perlu mendudukkan kembali pemahaman publik tentang bagaimana dana pensiun diperlakukan.
Ingat, sesuai dengan ketentuan dalam UU PPh, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak. Dalam konteks dana pensiun, nominal manfaat yang diterima juga berupa tambahan penghasilan bagi penerima manfaat.
Jika mengacu pada praktik di banyak negara, tidak ada mekanisme seragam atas pemajakan dana pensiun. Ada negara yang memungut pajak atas iuran kepesertaan dan membebaskan pajak atas pencairan manfaat, dan sebaliknya. Belum lagi aspek perpajakan atas dana kelolaan yang dinaungi lembaga pengelola dana pensiun.
Pemajakan atas dana pensiun terbilang kompleks. Namun, apa yang terjadi di Indonesia sudah serupa dengan banyak negara di dunia.
Sayangnya, BPJS Ketenagakerjaan mencatat hingga 2025 sebanyak 80,27% populasi pekerja belum memiliki perlindungan hari tua. Dengan masih banyaknya kelompok pekerja yang belum tercakup dalam perlindungan jaminan pensiun, apakah kebijakan yang selama ini berlaku sudah ideal?
Ramai-ramai gugatan ke MK terhadap pajak atas dana pensiun bisa menjadi penggugah seluruh pemangku kepentingan untuk menggali kembali opsi-opsi perbaikan yang bisa diambil untuk memperluas cakupan kepesertaan dana pensiun.
Keberadaan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) sesungguhnya telah membuka jalan untuk mereformasi kebijakan terkait dengan pengelolaan program pensiun. Salah satu yang bisa disoroti adalah perlu tidaknya penyesuaian insentif perpajakan terkait dengan uang pensiun ini.
Dalam konteks pencairan uang pensiun misalnya, regulasi di Indonesia membaginya menjadi 2 kelompok: dicairkan sekaligus atau berkala.
Ketika manfaat pensiun dicairkan sekaligus, pemerintah mengenakan PPh Pasal 21 final dengan skema 0% atas besaran uang pensiun hingga Rp50 juta. Sebagai pembanding, di beberapa negara, fasilitas kredit pajak diberikan sebesar persentase tertentu dari total pencairan uang pensiun.
Sementara itu, ketika uang pensiun dicairkan secara berkala, pemajakannya menggunakan skema nonfinal, secara progresif, berdasarkan Pasal 17 UU PPh. Dalam perhitungannya, ada biaya pensiun yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto.
Skema di atas, secara tidak langsung, berpotensi mendorong penerima manfaat untuk mencairkan uang pensiunnya sekaligus. Tujuannya jelas, menghindari tarif progresif. Mekanisme PPh final atas manfaat yang dibayarkan sekaligus atau tidak, perlu menjadi materi evaluasi.
Pemerintah perlu memastikan bahwa kecenderungan pensiunan yang memilih mencairkan manfaat pensiunnya secara sekaligus tidak mengganggu arus kas lembaga pengelola dana pensiun.
Selain itu, ketentuan pengenaan pajak atas uang pensiun selama ini secara tersurat hanya mengatur kelompok pekerja formal. Sementara kelompok informal, belum ada penegasan aturan yang lugas. Karenanya, perlu ada pembaruan aturan yang secara tegas dan lugas mengatur pengenaan pajak penghasilan atas uang pensiun bagi pekerja informal.
Yang menjadi catatan, Indonesia tentu tidak serta merta harus mengadopsi kebijakan negara lain. Namun, diskursus mengenai pajak atas uang pensiun yang kembali muncul di permukaan, menjadi momentum ini tepat untuk menggulirkan kajian secara menyeluruh.
Lebih fundamental lagi, evaluasi atas kebijakan program pensiun perlu menyentuh harmonisasi program yang sudah ada. Semoga, Indonesia Emas 2045 tidak cuma diisi manusia-manusia muda yang tangguh, tetapi juga generasi tua yang mandiri dan bersahaja.
