PADA dasarnya, wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan wajib pajak badan wajib menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan tersebut diperlukan untuk mengetahui informasi yang benar dan lengkap mengenai penghasilan wajib pajak.
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan wajib pajak sangat dibutuhkan untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis wajib pajak. Namun, tidak semua wajib pajak mampu menyelenggarakan pembukuan.
Oleh karena itu, pemerintah mengecualikan wajib pajak tertentu dari kewajiban pembukuan. Pengecualian tersebut diberikan untuk orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu, yaitu kurang dari Rp4,8 miliar.
Selain itu, pemerintah juga telah menerbitkan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) untuk mempermudah perhitungan besarnya penghasilan neto bagi wajib pajak yang bersangkutan. Lantas, apa itu NPPN?
PENGERTIAN NPPN di antaranya tercantum dalam memori penjelasan Pasal 14 ayat (1) UU Pajak Penghasilan (PPh) dan Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 54/2021 yang mengatur tata cara pencatatan dan pembukuan untuk tujuan perpajakan.
Berdasarkan kedua beleid itu, NPPN adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh dirjen pajak dan disempurnakan terus‐menerus. Pada dasarnya, NPPN dipakai jika tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap.
Namun, tidak sembarang pihak dapat menggunakan NPPN. Sebab, NPPN hanya boleh digunakan oleh wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya kurang dari Rp4,8 miliar.
Untuk dapat menggunakan NPPN tersebut, wajib pajak orang pribadi yang bersangkutan harus memberitahukan kepada dirjen pajak. Pemberitahuan penggunaan NPPN tersebut disampaikan dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
Dalam hal wajib pajak baru terdaftar pada tahun pajak yang bersangkutan maka pemberitahuan NPPN dilakukan paling lambat: (i) 3 bulan sejak saat terdaftar; atau (ii) pada akhir tahun pajak, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu (Pasal 4 ayat (3) PMK 54/2021).
Apabila wajib pajak tidak menyampaikan pemberitahuan NPPN dalam jangka waktu yang ditentukan maka wajib pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Tidak hanya wajib menyampaikan pemberitahuan, wajib pajak orang pribadi yang menggunakan NPPN juga harus menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya. Pencatatan dimaksudkan untuk memudahkan penerapan NPPN dalam menghitung penghasilan netonya.
Dalam hal terhadap wajib pajak badan atau orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan dan ternyata wajib pajak tersebut tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya maka penghasilan netonya juga dihitung dengan menggunakan NPPN.
Perincian ketentuan mengenai NPPN juga diatur dalam Perdirjen Pajak No. PER-17/PJ/2015. Melalui perdirjen tersebut, otoritas pajak pun telah mengatur sedemikian rupa besarnya persentase NPPN yang ditetapkan sebagai berikut:
Dalam hal wajib pajak memiliki lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, penghitungan penghasilan neto dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas dengan memperhatikan pengelompokan wilayah pengenaan norma.
RINGKASNYA, NPPN adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh dirjen pajak dan disempurnakan terus‐menerus. Kebijakan NPPN ditujukan untuk membantu wajib pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
Lebih lanjut, penggunaan NPPN dilakukan dalam hal: (i) tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap; atau (ii) pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Perincian ketentuan mengenai NPPN dapat disimak dalam UU PPh, PMK 54/2021, dan PER-17/PJ/2015. (rig)