TAHUN 2018 menjadi tonggak baru dalam tata kelola fiskal Indonesia. Untuk pertama kalinya, pemerintah menerbitkan laporan belanja perpajakan yang memuat estimasi nilai insentif dan fasilitas pajak yang diberikan negara kepada masyarakat maupun pelaku usaha.
“Saya berharap seluruh pihak dapat memanfaatkan informasi yang ada dalam laporan ini dan makin mendorong transparansi informasi kepada publik dalam seluruh aspek pemerintahan yang relevan,” kata Sri Mulyani yang kala itu menjabat sebagai menteri keuangan.
Selain mendorong transparansi fiskal, belanja perpajakan ini utamanya untuk membangun kesadaran bahwa pajak tidak melulu soal beban masyarakat. Pajak juga bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat hingga mendukung sektor bisnis dan iklim investasi, melalui pemberian insentif.
Sayang, meski rutin diterbitkan, laporan belanja perpajakan (tax expenditure report) ternyata masih asing bagi sebagian besar masyarakat. Banyak yang belum tahu keberadaannya, apalagi memahami manfaat apa yang bisa dipetik dari belanja perpajakan.
Padahal, nilai yang tercatat tidak kecil. Pada 2025, belanja perpajakan diproyeksikan mencapai Rp530,3 triliun. Jumlah ini setara dengan seperlima target penerimaan perpajakan yang ditetapkan pada tahun ini senilai Rp2.499,7 triliun.
Fenomena ini menunjukkan adanya jarak komunikasi antara pemerintah dan publik. Laporan yang begitu penting bagi transparansi fiskal belum terjelaskan secara luas sehingga makna di balik angka-angka besar itu belum benar-benar dipahami masyarakat.
Alih-alih dipersepsikan positif, ada warganet yang malah menarasikan belanja perpajakan sebagai hal negatif karena menghubungkannya sebagai ‘belanja’ tunjangan PPh para pejabat negara. Dari sinilah terlihat, narasi kebijakan pajak menjadi salah satu isu fundamental di Indonesia.
Narasi yang tepat dan dialog yang memadai dengan pelaku usaha, serikat pekerja, akademisi, hingga masyarakat umum mampu menjadi solusi dalam mengatasi hambatan implementasi reformasi pajak yang sedang dibangun suatu yurisdiksi (OECD, 2010).
Namun, di Indonesia, isu narasi ini belum sepenuhnya mendapat perhatian. Pemerintah cenderung menekankan aspek teknokratis dalam penyusunan laporan dan kebijakan, tetapi kurang membangun jembatan komunikasi dengan publik.
Akibatnya, kebijakan yang sejatinya bermanfaat, seperti belanja perpajakan, justru tak dipersepsikan demikian oleh masyarakat. Seperti alat lain untuk mencapai tujuan kebijakan, belanja perpajakan pun dapat digunakan untuk hal positif atau disalahgunakan (OECD, 2010).
Oleh karena itu, narasi bukan hanya diperlukan ketika suatu kebijakan pajak diumumkan atau setelah dijalankan. Narasi mesti hadir sepanjang waktu agar publik merasa menjadi bagian dari perjalanan kebijakan itu sendiri, sekaligus menutup ruang disalahgunakan.
Tanpa narasi yang jelas dan berkesinambungan, masyarakat sulit melihat “kebaikan” yang sebenarnya sudah diberikan negara dalam bentuk fasilitas atau insentif pajak.
“Jangan sampai insentif pajak atau potensi pajak yang hilang karena tidak dipungut, tidak ternarasikan dengan baik sehingga masyarakat tidak merasa ada insentif,” tutur Founder DDTC Darussalam dalam sesi wawancara khusus.
Lantas, seperti apa tren belanja perpajakan hingga saat ini? Berdasarkan Nota Keuangan RAPBN 2026, tren belanja perpajakan sejak 2021 hingga 2025 mengalami kenaikan setiap tahunnya. Pada 2021, belanja perpajakan diestimasikan senilai Rp293,0 triliun.
Pada tahun-tahun berikutnya, belanja perpajakan diestimasikan sejumlah Rp328,5 triliun, Rp360,0 triliun, dan Rp400,1 triliun. Pada 2025, belanja perpajakan mengalami lonjakan cukup drastis dengan estimasi Rp530,3 triliun.
Menurut Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, proyeksi belanja perpajakan 2025 tersebut naik dari proyeksi awal Rp445,5 triliun. Sebagian besar belanja perpajakan menyasar rumah tangga atau sekitar Rp292 triliun atau 55% dari total estimasi belanja perpajakan.
Belanja perpajakan untuk rumah tangga contohnya seperti pembebasan PPN atas kebutuhan pokok masyarakat yang meliputi beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, gula konsumsi, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum.
Tak hanya itu, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, penjualan buku, vaksinasi, pembelian rumah sederhana, pemakaian listrik, hingga pembelian air minum juga mendapat pembebasan PPN dari pemerintah.
Di samping rumah tangga yang menikmati lebih dari setengah porsi belanja perpajakan, terdapat kelompok lain yang juga memperoleh manfaat tidak sedikit dari belanja perpajakan, yaitu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Berdasarkan catatan Kemenkeu, belanja perpajakan untuk pelaku UMKM diperkirakan Rp96 triliun. Disusul, belanja perpajakan untuk usaha skala menengah dan besar senilai Rp57 triliun, serta industri pionir yang diperkirakan mendapat jatah belanja perpajakan sejumlah Rp84 triliun.
"Untuk UMKM, usaha menengah dan [insentif] dukungan investasi sektoral tersebut didominasi oleh sektor manufaktur. Jadi, insentif untuk sektor manufakturnya cukup besar jumlahnya Rp137 triliun," kata Anggito.
Secara sektoral, belanja perpajakan lebih banyak dinikmati oleh 3 sektor utama. Ketiga sektor usaha yang dimaksud yakni industri manufaktur dengan estimasi belanja perpajakan Rp137,2 triliun, diikuti sektor pertanian, kelautan dan perikanan Rp60,5 triliun, serta sektor perdagangan Rp55,3 triliun.
Apabila masyarakat menyadari bahwa angka-angka besar dalam belanja perpajakan sesungguhnya hadir dalam bentuk keringanan kebutuhan pokok, insentif UMKM, dan dukungan bagi sektor strategis, persepsi mereka terhadap pajak bisa jadi lebih positif.
Dalam memperkuat narasi, terutama pada kebijakan pajak seperti belanja perpajakan, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian utama. Pertama, kegiatan edukasi dan sosialisasi harus dilakukan secara lebih intensif dan berkelanjutan.
Informasi mengenai manfaat belanja perpajakan—misalnya pembebasan PPN kebutuhan pokok, fasilitas untuk UMKM, hingga dukungan bagi sektor manufaktur—perlu dikomunikasikan dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat.
Langkah lain yang dapat dilakukan ialah dengan menggencarkan nudge action, seperti pengiriman surat atau informasi kepada wajib pajak mengenai insentif pajak yang pernah mereka terima. Dengan pendekatan personal, narasi tidak lagi abstrak.
Kedua, pentingnya keterlibatan publik yang bermakna (meaningful participation) dalam menyusun atau mengevaluasi belanja perpajakan. Narasi yang kuat tidak lahir hanya dari pemerintah yang berbicara, tetapi dari ruang dialog dua arah dengan masyarakat.
Keterlibatan atau representasi masyarakat sebagai pihak eksternal dalam proses perumusan kebijakan pajak merupakan hal yang krusial dan makin menjadi tuntutan (Wales, 2012). Lebih dari itu, publik juga merupakan sumber informasi utama dalam menilai efektivitas belanja perpajakan.
Dari perspektif kebijakan fiskal, publik adalah penerima manfaat langsung. Merekalah yang paling tahu apakah insentif yang diberikan sudah tepat sasaran, apakah dampaknya sudah terasa, dan bagaimana pembagian manfaatnya (fiscal incidence).
Tanpa masukan publik, evaluasi belanja perpajakan hanya akan berhenti pada angka-angka estimasi kehilangan penerimaan negara. Padahal, ukuran efektivitas sesungguhnya terletak pada sejauh mana insentif pajak itu dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi publik.
Dalam UU 13/2022 sudah ditegaskan meaningful participation dilakukan dengan memenuhi 3 prasyarat. Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Belanja perpajakan sesungguhnya merupakan salah satu bentuk kontrak fiskal antara pemerintah dan rakyat. Namun, kontrak ini akan bermakna jika dinarasikan dengan jelas, dipahami bersama, dan diawasi secara partisipatif.