LAPORAN FOKUS

‘Lihat! Uang Pensiun Saya Sudah Kecil, Tapi Masih Dipajaki’

Redaksi DDTCNews
Kamis, 30 Oktober 2025 | 10.30 WIB
‘Lihat! Uang Pensiun Saya Sudah Kecil, Tapi Masih Dipajaki’

PUTNEY, sebuah distrik yang sepi di tepi Sungai Thames, pagi itu berselimut kabut tipis. Wandsworth Times, koran lokal di London, menulis kalau Mei 1979 merupakan musim semi terdingin sepanjang abad ke-20. Angin dingin dari Arktik berembus ke selatan.

Itu yang membuat Ellis (64 tahun) berjalan keluar dari rumah berdinding batu abu-abu di sudut Charlwood Road, lengkap dengan syal biru muda melingkari lehernya. Senada dengan warna kardigan yang dibelinya dari Smithfield.

Pensiunan kantor pemerintah di London Barat itu memilih memulai harinya dengan berjalan kaki ke Tesco. Dia ingin membelanjakan jatah uang pensiunnya untuk mememuhi kebutuhan sehari-hari. Ellis adalah janda yang ditinggal mati suaminya, seorang mantan pekerja kebersihan bank.

Uang pensiun senilai £96 diterima Ellis setiap bulan. Itulah sumber penghidupannya, selain tabungan yang tak seberapa. Angka itu jelas sangat kecil ketimbang upah minimum pekerja di London saat itu, yakni £12,21 per jam. Dari jumlah itu, Ellis harus pintar-pintar membagi pengeluaran.

Belum lagi, uang pensiun yang dia terima masih harus dipotong pajak £4,60 per bulan. "Ah dingin sekali," gerutu Ellis menahan gemertak giginya saat berbelok ke Flesham Road, berbarengan dengan gerombolan remaja yang hendak masuk sekolah.

Cerita tentang janda yang masih harus membayar pajak atas uang pensiun yang diterimanya, sampai juga ke telinga Margareth Thatcher yang sehari sebelumnya memenangkan kursi Perdana Menteri Inggris. Kisah Ellis, meski namanya hanya rekaan, disampaikan Thatcher dalam pidato kemenangannya di Finchley, 2 Mei 1979.

"Saya berada di Putney beberapa hari lalu, dan saya diberitahu tentang seorang wanita janda, berusia 64 tahun, yang uang pensiunnya masih harus dipotong pajak," kata Thatcher.

Saat itu Thatcher belum dilantik sebagai perdana menteri. Dia masih berstatus sebagai anggota parlemen untuk daerah pemilihan Finchley sekaligus pemimpin Partai Konservatif. Namun, cerita soal 'janda dari Putney' bisa jadi tonggak awal kebijakan Thatcher soal reformasi fiskal Inggris.

"Sungguh memalukan! Ada banyak pensiunan dengan pendapatan yang sangat, sangat kecil, yang datang ke saya dan berkata, lihat, saya punya sedikit uang pensiun saya sendiri. Tapi lihat pajak yang saya bayarkan atas penghasilan saya,' ujar Thatcher berapi-api.

Dalam pidato tersebut, Thatcher menegaskan komitmennya untuk memulihkan perekonomian Inggris, menekan inflasi, dan mengurangi ketergantungan warga terhadap bantuan tunai dari negara, inti dari kebijakan yang kelak dikenal sebagai Thatcherism.

Reformasi kebijakan pajak atas dana pensiun menjadi salah satu tonggak penting dalam era pemerintahan Margaret Thatcher pada awal 1980-an.

Melalui kebijakan liberalisasi fiskal, Thatcher mendorong pergeseran sistem kesejahteraan dari dominasi negara menuju kemandirian individu, termasuk dalam pengelolaan dana pensiun.

Dalam konteks perpajakan, pemerintahan Thatcher memperkuat insentif fiskal bagi pekerja dan pemberi kerja yang berpartisipasi dalam skema pensiun swasta. Iuran yang diberikan oleh pekerja dan pemberi kerja tidak dikenai pajak penghasilan (PPh). Begitu pula dengan hasil investasi di dalam dana kelolaan yang tidak dikenai pajak selama masa pengumpulan.

Selain itu, pemerintah juga membebaskan pajak atas 25% dari manfaat dana pensiun yang dicairkan pada masa pensiun. Ini kebijakan baru. Sebelumnya, PPh dipungut terhadap berapapun nominal manfaat pensiun yang dicairkan.

Pensions Policy Institute (2004) dalam laporan Tax Relief for Pension Saving in the UK (Executive Summary) menyampaikan bahwa kebijakan Thatcher secara efektif menurunkan beban pajak atas manfaat pensiun tanpa harus memangkas tarif pajak secara langsung. Langkah tersebut juga mendorong pertumbuhan pesat industri keuangan dan investasi jangka panjang di Inggris.

Pendekatan ini kemudian menjadi dasar bagi kebijakan pajak pensiun Inggris modern, yang hingga kini masih mempertahankan elemen EET (exempt-exempt-taxable) sebagai ciri khas sistem perpajakan atas dana pensiun.

Skema pemajakan atas dana pensiun yang sudah lebih dulu diterapkan di Inggris sejatinya memiliki kemiripan dengan implementasi di Indonesia.

Dari sisi desain, struktur pemajakan dana pensiun di Inggris dan Indonesia sama-sama menganut prinsip penundaan pajak (tax deferral), yakni pajak dikenakan ketika manfaat pensiun benar-benar diterima peserta.

Prinsip pemajakan atas dana pensiun yang dianut Indonesia dan Inggris bisa mendorong partisipasi masyarakat untuk 'menabung' dana pensiun. Pasalnya, seluruh iuran yang dibayarkan di awal tidak kena pajak. Artinya, skema tax deferral ini sejatinya merupakan insentif bagi angkatan pekerja saat ini untuk memiliki dana pensiun.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan pada 2024, jumlah peserta program dana pensiun, baik yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, Taspen, dan Asabri baru 22,5 juta orang. Angka itu baru mewakili 15,8% dari total masyarakat pekerja, sebanyak 142 juta orang.

Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih 'krisis tabungan hari tua'. Yang perlu diingat, bonus demografi berlangsung hingga 2045 mendatang. Artinya, selepas itu akan terjadi ledakan populasi lanjut usia yang sangat signifikan. Jika ini tidak diantisipasi, Indonesia akan dihuni oleh kelompok lansia yang tidak produktif dan mandiri finansial.

Dari Inggris, kita bisa memahami bahwa skema pengenaan dana pensiun yang dijalankan di Indonesia bisa jadi sudah sesuai dengan best practice internasional. Namun, dengan cakupan kepesertaan dana pensiun secara nasional yang masih minim, ada baiknya ada evaluasi yang mendalam. Apakah kebijakan yang selama ini berjalan sudah tepat?

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.