BAGI sebagian besar masyarakat, pajak identik dengan pungutan yang harus dibayarkan ke negara. Tidak sedikit pula yang berpikiran bahwa pajak merupakan beban finansial, tanpa memaknai tujuan pemungutan dan manfaat pajak.
Ketika membahas soal pajak, sebagian orang cenderung fokus pada kewajiban membayar ketimbang manfaat pajak itu sendiri, baik bagi negara maupun masyarakat luas. Padahal, negara juga menggunakan instrumen pajak untuk mencapai berbagai tujuan seperti mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan kesejahteraan sosial, serta menarik investasi.
Dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut, negara bisa memberikan beragam skema fasilitas perpajakan sesuai dengan kebutuhannya, yang kemudian dihitung sebagai belanja perpajakan (tax expenditure).
Melalui belanja perpajakan, pemerintah "mengorbankan" potensi penerimaan pajak untuk tujuan tertentu. Biasanya, belanja perpajakan diberikan dalam bentuk pengecualian, pengurangan, atau pembebasan pajak.
Tanpa disadari, ternyata fasilitas perpajakan di atas sudah kita nikmati bersama. Contoh sederhana, pemerintah memberikan pembebasan PPN untuk barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat seperti beras, gabah, garam, telur, sayur, dan buah.
Fasilitas PPN ini dinikmati oleh semua kalangan masyarakat, termasuk Demma, penjual nasi uduk di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta. Setiap berbelanja bahan untuk memasak nasi uduk, ada fasilitas pajak yang diberikan negara.
Meski demikian, dia mengaku tidak pernah mendengar ada fasilitas berupa pembebasan PPN untuk bahan pangan pokok.
"Dari kapan ada itu? Saya baru tahu info ini, saya kurang paham," ujarnya saat ditemui di lapak jualannya.
Demma terlihat bersemangat saat tahu ada fasilitas pajak yang selama ini dia nikmati. Dia pun berharap pemerintah bisa lebih gencar memberikan sosialisasi kebijakan mengenai insentif perpajakan kepada masyarakat kelas menengah ke bawah.
Menurutnya, pemerintah dapat memaksimalkan peran media sosial untuk memperluas jangkauan sosialisasi soal fasilitas pajak.
"Sebisa mungkin info seperti ini nyampe ke masyarakat bawah. Jangan cuma berita pajak viral mulu. Sekarang sudah era media sosial, harusnya info dari pemerintah lebih efektif," tandas Demma.
Hal serupa dialami Caecil, guru SD swasta di Kota Bekasi, Jawa Barat. Dia mengaku belum tahu pemerintah mengguyur insentif pajak untuk sektor pendidikan seperti pembebasan PPN atas jasa pendidikan dan pembebasan PPN untuk pembelian buku pelajaran umum.
Caecil juga kurang memahami dampak insentif pajak tersebut terhadap tenaga pendidik, anak didik, orang tua, dan sekolah. Dia justru mengaku lebih familier dengan kebijakan terkait tunjangan profesi guru.
"Mungkin saya menikmati fasilitas perpajakan, tapi saya terus terang kurang tahu jenisnya apa saja. Mungkin kurang sosialisasi," ucap Caecil.
Sementara itu, Luna, seorang karyawan swasta mengaku pernah mendengar dan membaca sedikit mengenai insentif pajak dari pemerintah. Dia mengetahui beberapa istilah seperti pembebasan PPN serta tax holiday untuk investor.
Namun, dia mengaku belum memahami manfaat atau dampak insentif pajak di kehidupan sehari-hari. Dia justru bertanya, apakah insentif seperti pembebasan pajak bisa membuat harga barang lebih terjangkau?
"Sosialisasi dan edukasi soal fasilitas pajak ini masih minim. Banyak warga biasa seperti saya tidak tahu detail fasilitas pajak yang tersedia dan gimana cara aksesnya. Akibatnya, banyak orang enggak sadar mereka sudah menikmati fasilitas itu," tutur Luna.
Merujuk pada Laporan Belanja Perpajakan yang diterbitkan Kementerian Keuangan, rumah tangga menjadi kelompok yang paling banyak menikmati belanja perpajakan dalam kurun 3 tahun terakhir. Hal itu tecermin dari angka estimasi belanja perpajakan berdasarkan subjek penerima manfaatnya.
Subjek penerima manfaat belanja perpajakan ini terbagi menjadi 2 jenis, yaitu dunia usaha yang terdiri atas bisnis skala UMKM dan multi skala; serta rumah tangga.
Secara berurutan, Laporan Belanja Perpajakan 2021 menuliskan estimasi belanja perpajakan mencapai Rp299,12 triliun. Dari jumlah itu, rumah tangga menjadi penerima manfaat terbesar dengan estimasi Rp130,82 triliun.
Kontribusi terbesar belanja perpajakan yang diterima oleh rumah tangga berasal dari fasilitas PPN tidak terutang atas kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa keuangan, serta jasa angkutan umum. Kemudian, ada PPN dibebaskan atas barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha kelautan dan perikanan.
Selain itu, rumah tangga juga menikmati fasilitas pembebasan PPN atas listrik untuk rumah dengan daya hingga 6.600 VA, serta PPN tidak dikenakan atas jasa asuransi.
Tahun berikutnya, estimasi belanja perpajakan naik menjadi Rp232,5 triliun. Laporan tersebut menyatakan sebagian besar belanja perpajakan masih dinikmati oleh kelompok rumah tangga, yaitu senilai Rp140,6 triliun atau 43,5%.
Jenis fasilitas pajak yang dinikmati serupa dengan tahun sebelumnya, hanya bertambah dengan insentif PPN dibebaskan atas jasa pelayanan kesehatan medis. Fasilitas tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat secara langsung saat melakukan kegiatan konsumsi.
Selanjutnya, belanja perpajakan terbesar pada 2023 tetap dinikmati oleh rumah tangga, dengan estimasi pemanfaatan mencapai Rp152,2 triliun. Angka tersebut setara 42% dari total belanja perpajakan.
Founder DDTC Darussalam dalam wawancara bersama DDTCNews menjelaskan minimnya pemahaman masyarakat mengenai belanja perpajakan mengindikasikan pemerintah belum optimal dalam menarasikan kebijakan tersebut. Padahal, narasi itu perlu diberikan sepanjang waktu.
Masyarakat perlu diberi pengertian mengenai apa itu belanja pajak, untuk apa belanja pajak itu, serta kerelaan pemerintah tidak memungut pajak yang sebenarnya pemerintah bisa saja melakukan pemungutan pajak berdasarkan kelaziman di dunia. (dik)