Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Memasuki pekan kedua Februari 2024, periode pelaporan SPT Tahunan makin mendekati batas waktunya. Pelaku UMKM pun kembali diimbau untuk menjalankan kewajibannya dalam melaporkan SPT Tahunan. Topik ini kembali mendapat sorotan oleh netizen selama sepekan terakhir.
Ditjen Pajak (DJP) kembali mengingatkan pelaku UMKM tetap memiliki kewajiban menyampaikan SPT Tahunan meski ada fasilitas ketentuan omzet tidak kena pajak.
DJP menjelaskan pembebasan wajib pajak orang pribadi UMKM perlu melaporkan omzet pada 2023 dalam SPT Tahunan. Wajib pajak orang pribadi UMKM pun tetap perlu melakukan membayar PPh final UMKM jika omzetnya sudah melebihi Rp500 juta dan melaporkannya pada SPT Tahunan tahun depan.
"Terkait peredaran usaha/peredaran bruto dan PPh final, silakan cukup dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh-nya Kak," ujar DJP.
UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan PP 55/2022 menyatakan wajib pajak orang pribadi UMKM dengan omzet sampai dengan Rp500 juta dalam setahun tidak akan terkena pajak. Melalui fasilitas ini, UMKM yang omzetnya belum melebihi angka tersebut tidak perlu membayar PPh final yang tarifnya 0,5%.
Adapun jika UMKM tersebut memiliki omzet melebihi Rp500 juta, penghitungan pajaknya hanya dilakukan pada omzet yang di atas Rp500 juta.
Sementara itu, Pasal 9 ayat (1) PMK 164/2023 menyatakan wajib pajak UMKM yang menggunakan rezim PPh final 0,5% harus menyampaikan laporan mengenai peredaran bruto dari usahanya dan PPh final yang terutang sebagai lampiran SPT Tahunan.
Simak artikel lengkapnya, 'Omzet Rp500 Juta Bebas Pajak, DJP: UMKM Tetap Wajib Lapor SPT Tahunan'.
Ada konsekuensi yang bakal ditanggung wajib pajak jika terlambat dalam melaporkan SPT Tahunan.
UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) telah mengatur sanksi terhadap wajib pajak yang terlambat menyampaikan SPT Tahunan.
Pasal 3 UU KUP menyatakan penyampaian SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi paling lambat dilaksanakan 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak, sedangkan untuk SPT tahunan wajib pajak badan paling lambat 4 bulan setelah berakhirnya tahun pajak. Sementara itu, Pasal 7 ayat (1) UU KUP mengatur wajib pajak yang terlambat menyampaikan SPT Tahunan akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
"Pasal 7 ayat (1) UU KUP menyatakan denda terlambat melaporkan SPT Tahunan pada orang pribadi adalah senilai Rp100.000, sedangkan pada wajib pajak badan Rp1 juta.
Pembayaran sanksi administrasi tersebut tidak dapat langsung dilakukan oleh wajib pajak. Dalam hal ini, pembayaran dilakukan setelah wajib pajak mendapatkan Surat Tagihan Pajak (STP) dari Ditjen Pajak.
Selain soal denda, jika terjadi kekurangan pembayaran pajak terutang, wajib pajak juga bakal dikenakan sanksi bunga.
Baca artikel lengkapnya, 'Telat Sampaikan SPT Tahunan 2023, Simak Lagi Konsekuensinya'.
Selain dua topik di atas, masih ada sejumlah pemberitaan lain yang menarik untuk diulas kembali. Di antaranya, layanan lupa EFIN yang kini hanya dilayani lewat email, pemberlakuan tarif efektif rata-rata PPh 21, dan kepastian soal implementasi coretax system.
DJP kini hanya memberikan layanan lupa electronic filing identification number (EFIN) melalui email.
DJP menjelaskan wajib pajak perlu menyampaikan beberapa informasi dalam email layanan lupa EFIN dengan format tertentu. Wajib pajak juga perlu menyampaikan pernyataan menggunakan akses informasi sebagaimana mestinya.
"Untuk layanan lupa EFIN orang pribadi, wajib pajak dapat mengirimkan permohonan ke alamat email [email protected] dengan menuliskan format dan pernyataan," sebut Kring Pajak di media sosial.
Simak tata cara lengkapnya dengan mengeklik tautan pada judul di atas.
PMK 168/2023 sudah memuat mekanisme jika PPh Pasal 21 yang telah dipotong (dengan tarif efektif rata-rata/TER) pada masa pajak selain masa pajak terakhir ternyata lebih besar daripada PPh Pasal 21 terutang selama 1 tahun pajak/bagian tahun pajak.
Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Muda DJP Giyarso mengatakan dalam kondisi tersebut, sesuai dengan ketentuan PMK 168/2023, pemotong pajak wajib mengembalikan kelebihan PPh Pasal 21 yang telah dipotong kepada pegawai.
“Kalau memang lebih bayar, sesuai dengan PMK ini, ada kewajiban bagi pemotong untuk mengembalikan ke pegawai yang bersangkutan. Dikembalikan langsung,” ujarnya.
3. DJP Pastikan Implementasi Coretax System Mulai 1 Juli 2024
DJP berkomitmen untuk mulai menggunakan coretax administration system sebagai pengganti dari sistem administrasi yang saat ini mulai 1 Juli 2024.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas (P2Humas) DJP Dwi Astuti mengatakan saat ini DJP sedang melaksanakan beragam pengujian agar coretax siap diimplementasikan pada pertengahan tahun ini.
"Mudah-mudahan big bang pada pertengahan tahun ini kita akan sudah menikmati kemudahan-kemudahan tersebut," ujar Dwi dalam HUT ke-8 Tax Center Universitas Gunadarma. (sap)