Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah resmi melonggarkan ketentuan pengembalian pajak pertambahan nilai (PPN) atau VAT refund. Hal tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Kamis (29/8/2019).
Pelonggaran ketentuan VAT refund ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.120/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Permintaan Kembali Pajak Pertambahan Nilai Barang Bawaan Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri.
Dalam beleid yang diundangkan pada 23 Agustus 2019 dan berlaku mulai 1 Oktober 2019 ini, pemerintah tidak mengubah nilai minimal PPN yang bisa diminta kembali oleh turis asing, yaitu senilai Rp500.000. Dengan demikian, minimal pembelanjaan tetap senilai Rp5 juta.
Namun, nilai minimal PPN itu bisa berasal dari gabungan beberapa faktur pajak khusus (FPK) dalam waktu sebulan sebelum keberangkatan. Artinya, permohonan VAT refund bisa dilakukan dengan FPK yang berbeda dari toko ritel yang berbeda dan pada tanggal transaksi yang berbeda pula.
Salah satu pertimbangan pemerintah melonggarkan ketentuan VAT refund adalah untuk menarik orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis) untuk berkunjung ke Indonesia dan mendorong perekonomian melalui peningkatan peran serta sektor usaha ritel.
“[Selain itu juga] memberikan kepastian hukum, dan meningkatkan pelayanan dalam pelaksanaan ketentuan tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali PPN barang bawaan orang pribadi pemegang paspor luar negeri,” demikian bunyi penggalan pertimbangan dalam beleid itu.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti mengenai risiko penerimaan pos PPN. Kinerja penerimaan PPN hingga akhir Juli 2019 yang hanya tumbuh 4,55% akan memperlebar risiko shortfall tahun ini dan mengerek target pertumbuhan pada tahun depan.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Ketua Badan Otonom Hipmi Tax Center Ajib Hamdani merespons positif pelonggaran ketentuan VAT refund tersebut. Ketentuan yang baru diestimasi akan berdampak positif pada toko ritel atau UMKM di kawasan wisata yang telah berpartisipasi dalam program VAT refund for tourist.
Namun, dia meminta pemerintah untuk memberikan kemudahan bagi UMKM agar dapat bergabung. “Tidak semua toko ritel atau UMKM di kawasan wisata sudah terdaftar sebagai partisipan skema VAT refund,” katanya.
Hal yang sama juga diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani. Dia ingin agar pengajuan aplikasi untuk bisa memberikan fasilitas kepada turis ini harus lebih mudah.
Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak (DJP) Yon Arsal mengatakan peluang perbaikan penerimaan PPN masih terbuka lebar. Beberapa kebijakan yang diyakini berdampak positif pada daya beli masyarakat diyakini akan mendukung kinerja penerimaan PPN.
“Apalagi, kami juga masih melihat bahwa tahun ini memang banyak disebabkan restitusi. Namun, tahun depan harusnya sudah setara. Melihat konsumsi [rumah tangga] masih tumbuh di angka 5%-an, itu masih cukup bagus,” jelas Yon.
Pemerintah memperbarui ketentuan tata cara pembayaran kembali (reimbursement) PPN dan PPnBM atas perolehan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) kepada kontraktor dalam kegiatan usaha hulu migas.
Pembaruan dilakukan dengan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.119/PMK.02/2019. Beleid yang diundangkan dan berlaku mulai 16 Agustus 2019 ini secara otomatis mencabut PMK No.218/PMK.02/2014 dan PMK No.158/PMK.02/2016.
Penyusunan roadmap simplifikasi cukai hasil tembakau (CHT) perlu mempertimbangkan konpleksitas industri hasil tembakau (IHT). Hal tersebut perlu dilakukan agar setiap kebijakan yang muncul mampu berdampak efektif ke seluruh aspek fungsi cukai.
Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga Dasar Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Sunaryo mengatakan perlu produk hukum yang lebih tinggi untuk menampung kompleksitas IHT. Selama ini, ketentuan terkait roadmap simplifikasi CHT tertuang dalam peraturan setingkat kementerian.
“Memang perlu produk hukum yang lebih besar. Apalagi arahan presiden kan sumber daya manusia. Itu perlu roadmap besar,” katanya. (kaw)