RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPh Pasal 21 atas Remunerasi Karyawan Secara Nontunai

Vallencia | Jumat, 03 Juni 2022 | 16:35 WIB
Sengketa PPh Pasal 21 atas Remunerasi Karyawan Secara Nontunai

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai koreksi positif terhadap dasar pengenaan pajak (DPP) pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 atas pembayaran gaji dan tunjangan karyawan yang berbentuk nontunai.

Dalam perkara ini, wajib pajak telah membukukan beban gaji dan tunjangan karyawan dalam laporan keuangannya. Adapun nominal yang tertera pada akun beban gaji dan tunjangan karyawan tersebut merupakan gabungan antara pembayaran secara tunai dan nontunai.

Terkait dengan hal tersebut, otoritas pajak menemukan fakta terdapat beban gaji dan tunjangan karyawan yang belum diperhitungkan sebagai objek PPh Pasal 21. Dalam proses pembuktian sengketa ini, wajib pajak tidak dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan otoritas pajak bahwa tidak semua beban gaji dan tunjangan karyawan termasuk objek PPh Pasal 21.

Baca Juga:
Catat! Batas Akhir Penyetoran PPh Masa April 2024 Mundur ke 13 Mei

Sebaliknya, wajib pajak menyatakan tidak sepakat dengan koreksi yang ditetapkan oleh otoritas pajak. Wajib pajak menilai objek PPh Pasal 21 hanyalah pembayaran gaji dan tunjangan karyawan dalam bentuk uang. Pernyataan wajib pajak tersebut juga sudah didukung dengan bukti yang memadai.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.

Baca Juga:
Pemeriksaan Pajak Bakal Sederhana, Sengketa Lebih Banyak Soal Ini

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa koreksi positif yang ditetapkan oleh otoritas pajak merupakan objek PPh Pasal 21 masa pajak Januari hingga Desember 2007.

Selain itu, Majelis Hakim Pengadilan Pajak juga menemukan surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) PPh Pasal 21 yang diterbitkan otoritas pajak seharusnya dibuat untuk masa pajak Juli 2007 hingga Juni 2008 dan bukan Januari hingga Desember 2007. Sebab, angka senilai Rp6.633.112.134 ditemukan dalam beban gaji dan tunjangan karyawan pada masa pajak Juli 2007 hingga Juni 2008.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 63136/PP/M.IVB/10/2015 tanggal 13 Agustus 2015, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 30 November 2015.

Baca Juga:
Soal Pemeriksaan dan Sengketa, Dirjen Pajak Inginkan Ini ke Depan

Pokok sengketa dalam perkara ini ialah koreksi positif PPh Pasal 21 tahun pajak 2007 senilai Rp6.633.112.134 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Otoritas pajak menemukan fakta terdapat beban gaji dan tunjangan karyawan yang belum diperhitungkan sebagai objek PPh Pasal 21. Oleh karena itu, pajak yang harus dibayar Termohon PK menjadi kurang dibayar.

Dalam perkara ini, Pemohon PK mengakui adanya kesalahan penulisan masa dan tahun pajak dalam SKPKB. Dalam SKPKB yang telah diterbitkan, Pemohon PK mencantumkan bahwa koreksi dilakukan pada periode Januari hingga Desember 2007, padahal seharusnya Juli 2007 hingga Juni 2008.

Baca Juga:
Sengketa PPh Pasal 26 atas Premi Reasuransi Luar Negeri

Meski terdapat kekeliruan dalam penulisan masa dan tahun pajak tersebut, koreksi positif yang ditetapkan Pemohon PK telah bersumber dari laporan keuangan Termohon PK periode Juli 2007 hingg Juni 2008.

Dengan demikian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak seharusnya dapat mengabaikan kesalahan yang bersifat formal tersebut dan lebih berfokus pada kebenaran materiel sesuai dengan prinsip substance over form.

Selain itu, Pemohon PK berdalil Majelis Hakim Pengadilan Pajak sudah sangat adil meletakkan beban pembuktian pada Termohon PK. Sebab, Termohon PK berada pada posisi yang lebih mudah untuk membuktikan dibandingkan dengan Pemohon PK.

Baca Juga:
Perubahan Skema Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Bukan Pegawai

Dengan begitu, Pemohon PK menilai sudah selayaknya Termohon PK menanggung risiko pembuktian. Namun, selama proses persidangan banding dan proses uji bukti, Termohon PK tidak dapat memberikan data dan dokumen yang dapat mendukung dalil-dalilnya.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Menurut Termohon PK, koreksi terjadi karena Pemohon PK memasukkan seluruh beban gaji dan tunjangan karyawan sebagai objek PPh Pasal 21.

Padahal, objek PPh Pasal 21 seharusnya hanya dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh karyawan dalam bentuk uang. Untuk mendukung argumen tersebut, Termohon PK telah memberikan dokumen pendukung berupa rincian beban gaji dan tunjangan saat pemeriksaan berlangsung.

Baca Juga:
Penghitungan PPh Pasal 21 atas Jasa Sehubungan dengan Pekerjaan Bebas

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan benar. Terdapat 2 pertimbangan hukum Mahkamah Agung.

Pertama, alasan Pemohon PK dalam melakukan koreksi positif DPP PPh Pasal 21 tidak dapat dibenarkan. Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan kedua belah pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta dan melemahkan bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, dalam perkara a quo, Mahkamah Agung menyatakan koreksi positif DPP PPh Pasal 21 yang ditetapkan oleh Pemohon PK tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan fakta dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai permohonan PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (kaw)

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 07 Mei 2024 | 17:05 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Catat! Batas Akhir Penyetoran PPh Masa April 2024 Mundur ke 13 Mei

Selasa, 07 Mei 2024 | 08:58 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pemeriksaan Pajak Bakal Sederhana, Sengketa Lebih Banyak Soal Ini

Senin, 06 Mei 2024 | 10:11 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPh Pasal 26 atas Premi Reasuransi Luar Negeri

BERITA PILIHAN
Rabu, 08 Mei 2024 | 18:30 WIB KAMUS PENERIMAAN NEGARA

Apa Itu Automatic Blocking System?

Rabu, 08 Mei 2024 | 18:00 WIB BEA CUKAI JEMBER

Dapat Laporan Warga, Bea Cukai Gerebek Toko yang Jual Miras Ilegal

Rabu, 08 Mei 2024 | 17:31 WIB KANWIL DJP KEPULAUAN RIAU

Ada Sita Serentak, DJP Amankan Aset Milik Wajib Pajak Rp2 Miliar