KEBIJAKAN PAJAK

Mengurai Benang Kusut Sistem Pajak Amerika Serikat

Redaksi DDTCNews
Jumat, 19 Maret 2021 | 09.45 WIB
Mengurai Benang Kusut Sistem Pajak Amerika Serikat

PAJAK merupakan episentrum aktivitas bisnis dan perekonomian di Amerika Serikat (AS). Hal ini dikarenakan pajak federal dan pajak subnasional menopang lebih dari seperempat ekonomi negeri Paman Sam tersebut.

Kendati memiliki kontribusi yang besar, sistem pajak AS nyatanya sangat kompleks serta dipenuhi berbagai celah dan kepentingan dari berbagai pihak. Lantas, seperti apakah reformasi sistem pajak yang diperlukan AS agar menjadi lebih sederhana, adil, dan efisien?

Buku berjudul A Fine Mess: A Global Quest for a Simpler, Fairer, and More Efficient Tax System berusaha membedah isu tersebut melalui studi komparasi praktik sistem pajak di banyak negara untuk menemukan alternatif sistem pajak AS.

Dalam bagian pembuka, T.R. Reid, seorang koresponden Washigton Post yang merupakan penulis buku ini mengidentifikasi pola yang unik, yaitu pemerintah AS setiap 32 tahun selalu melakukan revisi sistem pajaknya.

Meski telah beberapa kali direvisi, berbagai kalangan tetap berpendapat Undang-Undang Pajak AS merupakan bentuk dari kekacauan yang terus dibiarkan, sehingga kerap diistilahkan sebagai A Fine Mess.

Buku yang diterbitkan pada 2017 ini mengupas kompleksitas sistem pajak di AS. Reid berpendapat Kongres AS telah gagal untuk menciptakan kondisi yang justru didambakan oleh masyarakat yaitu kemudahan dalam pembayaran dan pelaporan pajak.

Berdasarkan data Inland Revenue Service (IRS), wajib pajak (WP) AS rata-rata menghabiskan waktu lebih dari 13 jam serta biaya lebih dari US$110 atau setara dengan Rp1,5 juta untuk mempersiapkan dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Fakta tersebut berlawanan dengan praktik sistem pajak di negara maju lainnya. Di Belanda dan Selandia Baru, hanya butuh waktu 15—30 menit bagi WP untuk menunaikan kewajiban pajaknya tiap tahun. Di Estonia, rata-rata waktu pengisian dan lapor SPT hanya 7 menit.

Melalui studi komparasi, Reid juga membahas mengenai diskursus dampak tarif dan beban pajak di AS terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam berbagai hasil survei, mayoritas warga AS mengeluhkan tarif pajak yang terlalu tinggi setiap tahunnya.

Nyatanya, beban pajak AS jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara OECD lainnya seperti Denmark dan Swedia. Namun, kedua negara tersebut memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi daripada AS selama lima dekade terakhir. Fakta tersebut juga membuktikan jika tarif dan beban pajak yang lebih tinggi tidak selalu berlawanan dengan pertumbuhan ekonomi.

Dalam satu bagian, buku terbitan Penguin Press ini membahas mengenai dampak sistem pajak AS yang menjadi penyebab utama ketimpangan ekonomi. Dalam beberapa kasus, korporasi multinasional raksasa milik AS seperti Apple, Catterpillar, dan Google secara efektif tidak membayar pajak sama sekali akibat celah kebijakan yang memungkinkan untuk memindahkan keuntungan ke luar negeri.

Selain itu, pilihan desain kebijakan belanja pajak yang tidak tepat sasaran juga turut menyumbang jurang ketimpangan yang makin dalam. Beberapa insentif pajak diberikan untuk barang mewah yang tentunya hanya menyasar pada golongan tertentu.

Bahkan pada 2014, anggaran belanja pajak mencatatkan jumlah yang lebih besar ketimbang belanja barang publik lainnya seperti pertahanan serta jaminan sosial dan kesehatan. Lantas, apa yang dapat menjadi pelajaran bagi AS dari pengalaman berbagai negara maju lainnya?

Buku ini setidaknya mengidentifikasi dua pendekatan alternatif. Di sisi administrasi, Reid melihat sebuah pola langkah penyederhanaan pelaporan pajak yang diambil oleh Belanda, Jepang, Inggris, dan lain sebagainya.

Di negara-negara tersebut, pemerintah merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk memudahkan pengisian SPT wajib pajak dalam bentuk formulir yang telah terisi sebagian dengan informasi yang diketahui (pre-filled forms). Pendekatan ini dirasa lebih sederhana karena WP hanya mengonfirmasi ketepatan data dan informasi yang dicantumkan oleh otoritas pajak.

Dari sisi kebijakan, terdapat konsensus dari para ahli pajak yang menyatakan kombinasi antara tarif pajak yang rendah dengan basis pajak yang luas memiliki dampak distorsi ekonomi yang minim dan sistem pajak yang lebih sederhana.

Pendekatan ini disebut sebagai Broad Bases and Lower Rates (BBLR) yang telah berhasil diterapkan oleh Selandia Baru. Tertarik membaca buku ini? Silakan Anda baca langsung di DDTC Library. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.