ROUND UP FOKUS AKHIR TAHUN

Ketika Konsolidasi Fiskal Dijalankan Sambil Jaga Pemulihan Ekonomi

Redaksi DDTCNews
Rabu, 08 Desember 2021 | 10.00 WIB
Ketika Konsolidasi Fiskal Dijalankan Sambil Jaga Pemulihan Ekonomi

Ilustrasi. Pedagang melayani pembeli di wisata Pasar Terapung Siring Sungai Martapura di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Minggu (28/11/2021). Pemerintah Kota Banjarmasin kembali membuka salah satu obyek wisata andalan yaitu pasar terapung seiring status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 2 dengan pengawasan protokol kesehatan ketat serta pengunjung yang ingin masuk harus mengakses aplikasi PeduliLindungi. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nym.

KINERJA perekonomian masih akan bergantung pada perkembangan pandemi Covid-19. Munculnya virus Corona varian Delta telah melemahkan prospek momentum pemulihan ekonomi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. 

Beberapa lembaga internasional, seperti International Monetary Fund (IMF) dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), kompak menempatkan perkembangan pandemi Covid-19 sebagai isu sentral yang memengaruhi prospek perekonomian.

Munculnya berbagai varian baru virus Corona yang dibarengi dengan tidak berimbangnya vaksinasi antarnegara berdampak pada tidak meratanya pemulihan ekonomi. Jika terus berlanjut, ada potensi gangguan pada rantai pasok global yang berujung pada kenaikan indeks harga konsumen (inflasi).

“Pemulihan global berlanjut tetapi momentumnya telah melemah, tertatih-tatih oleh pandemi,” ujar Gita Gopinath, Economic Counsellor and Director of Research IMF.

Dalam World Economic Outlook October 2021 bertajuk Recovery During a Pandemic: Health Concerns, Supply Disruptions, And Price Pressures, IMF memproyeksi perekonomian dunia tumbuh 5,9% pada 2021 dan melambat menjadi 4,9% pada 2022. Proyeksi itu lebih rendah dari estimasi pada Juli 2021.

Kemudian, dalam Economic Outlook December 2021 bertajuk A Balancing Act, OECD mengestimasi pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 5,56% pada tahun ini dan melambat menjadi 4,46% pada tahun depan. Baik IMF maupun OECD memproyeksi adanya perlambatan ekonomi tahun depan.

Berbeda dengan prospek situasi secara global, perekonomian Indonesia diproyeksi terus meningkat hingga tahun depan. Tahun ini, IMF dan OECD memproyeksi ekonomi Indonesia tumbuh 3,2% dan 3,3%. Kemudian, outlook pada 2022 dari kedua lembaga masing-masing 5,9% dan 5,2%.

Secara khusus OECD menyoroti rencana konsolidasi fiskal dengan mengembalikan defisit anggaran maksimal 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2023. Rencana itu dinilai tepat jika Indonesia tetap pada jalurnya untuk melakukan vaksinasi.

“Jika pemulihan ekonomi tertunda, dukungan fiskal tambahan akan meminimalisasi gangguan pada bidang sosial dan ekonomi,” tulis OECD dalam laporannya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengestimasi pertumbuhan ekonomi pada 2021 akan berada pada kisaran 3,5% sampai dengan 4,0%. Angka proyeksi ini jelas lebih rendah bila dibandingkan dengan asumsi yang dipakai dalam APBN 2021 sebesar 5%.

Adanya lonjakan kasus Covid-19 akibat varian Delta disebut-sebut telah memengaruhi kinerja. Alhasil, technical rebound pada tahun ini tidak terlalu kuat meskipun ekonomi Indonesia pada tahun lalu sudah terkontraksi 2,07%.

Tahun depan, kendati APBN menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,2%, Sri Mulyani mengakui masih ada ketidakpastian global. Ketidakpastian ini muncul dari beberapa sisi, seperti rebalancing ekonomi China, tapering off Amerika Serikat, hingga disrupsi suplai global.

Risiko lonjakan kasus Covid-19 di sejumlah negara Eropa serta kenaikan inflasi juga berpengaruh. Berbagai ketidakpastian akan memunculkan risiko capital outflow sehingga nilai tukar rupiah rawan tertekan. Ujungnya, kembali lagi pada prospek pertumbuhan ekonomi.

Untuk menghadapi ketidakpastian global sekaligus menjaga momentum pemulihan ekonomi domestik, APBN diharapkan lebih sehat. Dengan demikian, APBN bisa tetap responsif untuk meminimalisasi ketidakpastian ekonomi.

"Tahun 2020 dan 2021 adalah tahun pembelajaran yang begitu berharga. APBN yang fleksibel dan responsif, namun akuntabel, sangat penting di dalam menghadapi ketidakpastian yang tinggi dan penanganan dampak pandemi Covid-19," katanya.

Seperti diketahui, defisit anggaran pada 2020 – tahun mulai terjadinya pandemi – melonjak hingga 6,14% terhadap PDB. Pada tahun ini, meskipun APBN mengamanatkan defisit anggaran sebesar 5,7% terhadap PDB, pemerintah berupaya menjaga realisasinya bisa lebih rendah.

Adapun fleksibilitas APBN itu ditunjukkan dengan adanya penajaman belanja. Tahun ini ada 4 kali refocusing anggaran. Langkah ini diambil dengan berbagai skema, mulai dari pemangkasan anggaran belanja kementerian/lembaga (K/L) hingga penambahan alokasi untuk program pemulihan nasional.

Sebelum pengetatan displin fiskal pada 2023, pemerintah mematok defisit anggaran sebesar 4,85% terhadap PDB pada 2022. Dengan mengoptimalkan penerimaan negara, pemerintah berupaya agar defisit anggaran bisa ditekan.

Namun demikian, Sri Mulyani menegaskan konsolidasi fiskal dilakukan dengan tetap menjaga dukungan terhadap perekonomian. Apalagi, pagu belanja negara pada tahun depan senilai Rp2.714,2 triliun, tidak terlalu jauh berbeda dengan pagu tahun ini Rp2.750,0 triliun.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan belanja negara dijaga stabil karena tengah dikonsolidasi. Untuk memastikan stimulus terhadap perekonomian dan penjagaan kesehatan tetap tersedia, otoritas akan terus melakukan penajaman alokasi anggaran.

“Inilah strategi yang kami pikirkan sejak 2020. Belanja negara yang relatively [stabil] di angka Rp2,700-an triliun, kami tahan di situ dan kami lakukan penajaman-penajaman terus. Sementara itu, penerimaan negaranya kami coba tumbuhkan, sehingga defisit akan turun,” jelas Suahasil.

Penerimaan Pajak
UPAYA untuk meningkatkan pendapatan negara, terutama penerimaan pajak, dilakukan seiring dengan mulai pulihnya perekonomian. Namun, pemerintah tetap akan berhati-hati memungut pajak sebagai bagian dari konsolidasi fiskal. Tujuannya adalah tidak mendistorsi ekonomi.

Berkaca dari kinerja tahun ini, pemerintah optimistis akan ada peningkatan penerimaan pajak pada 2022. Seperti diketahui, hingga Oktober 2021, penerimaan pajak tercatat senilai Rp953,6 triliun atau tumbuh 15,3%.

Kontribusi seluruh sektor usaha utama juga sudah menunjukkan pertumbuhan positif. Industri pengolahan dan perdagangan – 2 sektor penyumbang terbesar – mencatatkan kenaikan setoran pajak 14,6% dan 25,0% setelah menorehkan -18,1% dan -20,0% pada periode yang sama tahun lalu.

Sektor informasi dan komunikasi juga sudah tumbuh double digit sebesar 17,8% seiring dengan meningkatnya kebutuhan pada masa pandemi. Kinerja penerimaan dari sektor pertambangan juga naik hingga 43,4% setelah pada periode yang sama tahun lalu tercatat -43,9%.

Di sisi lain, masih ada beberapa sektor yang masih mencatatkan pertumbuhan negatif. Sektor yang dimaksud adalah jasa keuangan dan asuransi serta konstruksi dan real estat dengan pertumbuhan penerimaan masing-masing -3,1% dan -2,7%. Namun, kinerjanya sudah lebih baik dari tahun lalu.

Bersamaan dengan mulai pulihnya beberapa sektor ekonomi, pemerintah juga akan tetap melanjutkan reformasi perpajakan. Sembari terus mematangkan pembaruan core tax administration system, pemerintah juga mulai memanfaatkan teknologi digital untuk pengawasan pajak.

Selain itu, pemerintah juga akan mengandalkan berbagai kebijakan yang dimuat dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Otoritas mengestimasi akan ada tambahan sekitar Rp130 triliun dengan adanya UU HPP. Estimasi nilai itu juga belum dimasukkan dalam target APBN 2022.

Jika melihat perkembangan kinerja dan target penerimaan pajak, performa pada 2020 hingga 2022 belum pulih ke level sebelum pandemi Covid-19. Tahun depan, belum memasukkan dampak UU HPP, target penerimaan pajak senilai Rp1.256,0 triliun atau lebih rendah dari kinerja pada 2019 senilai Rp1.332,7 triliun.

Suahasil menegaskan dengan adanya UU HPP, pemerintah akan mendapatkan baseline baru dari penerimaan pajak. Bersamaan dengan adanya reformasi perpajakan dari sisi administrasi pajak, dia berharap penerimaan akan makin kuat dalam jangka menengah-panjang.

Seperti diketahui, UU HPP berisi beberapa perubahan ketentuan di bidang perpajakan, mulai dari ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP), pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan Cukai. Ada juga penerapan pajak karbon dan program pengungkapan sukarela (PPS).  

Meskipun penerimaan pajak akan dioptimalkan, pemerintah berkomitmen untuk tetap memberikan stimulus melalui insentif. Namun, pemberian insentif pajak juga akan makin selektif berdasarkan pada hasil evaluasi pemanfaatannya selama ini.

Hingga 3 Desember 2021, serapan anggaran insentif dunia usaha dalam program pemulihan ekonomi nasiomal telah mencapai Rp63,84 triliun. Nilai tersebut sudah melebihi alokasi atau sekitar 101% dari pagu Rp62,83 triliun. Pemerintah melihat kondisi menjadi sinyal berlanjutnya pemulihan ekonomi.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan hingga saat ini belum ada sektor usaha yang pulih ke level sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Namun, beberapa sektor usaha sudah mengalami perbaikan dan mulai tumbuh positif.

“Kita coba evaluasi. Sektor yang dirasa cukup bertahan dan sudah mampu membayar pajak kita kurangi [insentifnya],” ujar Yon.

Selain sektor yang berhak menerima insentif, pemerintah juga akan mengevaluasi skema atau jenis insentif. Ditjen Pajak (DJP) juga sudah memiliki tim khusus yang bertugas untuk mengawasi pemanfaatan insentif pajak pandemi Covid-19.

Tim tersebut mempunyai 4 tugas utama. Pertama, menganalisis kepatuhan wajib pajak penerima insentif. Kedua, memberikan rekomendasi strategi pengawasan dan penegakan hukum atas ketidakpatuhan wajib pajak penerima insentif.

Ketiga, menganalisis dampak pemberian insentif. Keempat, memberikan strategi komunikasi sehingga insentif dapat dimanfaatkan maksimal. Dengan adanya tim khusus ini, pemberian insentif pajak diharapkan lebih tepat sasaran.

Melalui artikel berjudul Exit Strategy to Ease or Eliminate Tax Responses to the Covid-19 Pandemic, Tapas K. Sen mengatakan terdapat 3 unsur yang perlu diperhatikan apabila suatu negara bermaksud untuk mengurangi berbagai fasilitas pajak selama masa pandemi Covid-19.

Pertama, pertimbangan dibutuhkan atau tidaknya pengurangan insentif pajak. Kedua, pemilihan waktu yang tepat untuk mengurangi pemberian insentif pajak. Ketiga, pertimbangan pengurangan insentif pajak secara bertahap.

Pemerintah sendiri memastikan pengurangan insentif pajak akan dilakukan secara bertahap bersamaan dengan agenda konsolidasi fiskal. Apalagi, pemerintah ingin memastikan momentum pemulihan ekonomi tetap dapat dijaga. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.