LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN BPK

Pajak Karbon Tak Kunjung Dikenakan, Begini Temuan BPK

Muhamad Wildan
Minggu, 21 Desember 2025 | 08.00 WIB
Pajak Karbon Tak Kunjung Dikenakan, Begini Temuan BPK
<p>Ilustrasi.</p>

JAKARTA, DDTCNews - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti mandeknya pemberlakuan pajak karbon di Indonesia.

Berdasarkan pemeriksaan kinerja yang dilakukan oleh BPK terhadap Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan Ditjen Pajak (DJP), diketahui bahwa pemerintah masih dihadapkan oleh sejumlah kendala dalam menyusun peta jalan pajak karbon.

Padahal, peta jalan pajak karbon diperlukan sebagai landasan untuk menyusun 2 RPMK, yakni RPMK tentang tarif dan dasar pengenaan pajak karbon serta RPMK tentang tata cara pengenaan pajak karbon.

"Diketahui bahwa BKF masih mematangkan dan menyempurnakan kerangka konseptual peta jalan pajak karbon serta naskah akademis pendukung. Naskah akademis tersebut menjelaskan isu-isu utama yang sedang diformulasikan, justifikasi regulasi yang diusulkan, dan dampak yang diharapkan dari regulasi yang diusulkan," tulis BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Perumusan dan Harmonisasi Regulasi Perpajakan dalam rangka Mendukung Optimalisasi Penerimaan Perpajakan 2020-2024, dikutip pada Minggu (21/12/2025).

Dalam wawancara yang dilakukan oleh BPK terhadap BKF, terungkap setidaknya terdapat 4 kendala dalam penyusunan peta jalan pajak karbon.

Pertama, situasi ekonomi masih belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19 serta masih tingginya harga komoditas energi dan pangan global. Akibat kondisi dimaksud, beberapa negara cenderung menunda implementasi pajak karbon atau perdagangan emisi mandatoris.

Kedua, penerapan pajak karbon di Indonesia berpotensi meningkatkan biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik dari PLN dan independent power producer (IPP). Peningkatan BPP pada akhirnya akan ditanggung oleh APBN melalui subsidi dan kompensasi.

Oleh karena itu, pemerintah perlu terlebih dahulu merevisi PMK 178/2021 mengenai penyediaan, penghitungan, pembayaran, dan pertanggungjawaban subsidi listrik.

"Meski begitu, perubahan PMK ini masih menyisakan risiko berupa tuntutan dari IPP agar BPP listrik tersebut dapat sepenuhnya ditanggung oleh PLN melalui skema amandemen power purchase agreement (PPA)," tulis BPK dalam laporannya.

Ketiga, peta jalan pajak karbon harus memuat strategi penurunan emisi karbon untuk masing-masing sektor sesuai dengan target nationally determined contribution (NDC) dan net zero emission (NZE).

Masalahnya, dokumen NDC Indonesia yang terbaru masih belum memuat carbon pricing sebagai salah satu strategi untuk mencapai NDC.

Keempat, penerapan pajak karbon perlu disinkronisasi dengan kebijakan lain, seperti pengembangan pasar karbon, pencapaian target NDC, kesiapan sektor dan institusi, serta kondisi ekonomi terkini.

Dengan kondisi ekonomi global saat ini, pajak karbon dikhawatirkan menimbulkan tekanan kepada masyarakat, seperti kenaikan inflasi, penurunan daya beli, dan perlambatan ekonomi.

Berdasarkan hasil wawancara BPK terhadap DJP, diketahui bahwa proses penyusunan RPMK pajak karbon masih dalam tahap permintaan pendapat kepada BKF. Namun, penyusunan RPMK belum bisa dilanjutkan karena peta jalan pajak karbon belum ditetapkan.

Dengan adanya kondisi ini, BPK mendorong menteri keuangan agar memerintahkan Ditjen Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) untuk mengevaluasi kendala penyusunan peta jalan pajak karbon serta menyusun rencana aksi penyelesaian kendala tersebut. Hasil evaluasi dan rencana aksi dimaksud perlu disampaikan kepada menteri keuangan.

Sebagai informasi, UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) telah mengatur bahwa pajak karbon mulai dikenakan pada 1 April 2022 untuk pertama kali atas PLTU batu bara. Namun, pajak tersebut tak kunjung dikenakan hingga hari ini. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.