LAPORAN FOKUS

Dilema PTKP: Antara Jaga Daya Beli dan Amankan Fiskal, Ada Opsi Lain?

Redaksi DDTCNews
Rabu, 25 Juni 2025 | 13.40 WIB
Dilema PTKP: Antara Jaga Daya Beli dan Amankan Fiskal, Ada Opsi Lain?

DISKURSUS mengenai penyesuaian batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) kembali menyeruak ke permukaan. Di tengah gejolak ekonomi dan tekanan biaya hidup, relevansi nominal PTKP yang sudah 9 tahun tidak mengalami perubahan kembali dipertanyakan.

Usulan untuk menaikkan PTKP datang dari kalangan dunia usaha dan kelompok pekerja. Saat Hari Buruh digelar pada 1 Mei 2025, serikat pekerja menyuarakan aspirasinya mengenai keringanan pajak. Salah satu aspirasinya ialah menaikkan PTKP dari Rp4,5 juta menjadi Rp10 juta.

"Naikkan nilai PTKP jadi Rp10 juta," tulis Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dalam tuntutannya kala itu.

Usulan yang sama turut diutarakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Menurut Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam, pemerintah perlu menaikkan PTKP sebagai salah satu strategi meningkatkan konsumsi domestik, khususnya untuk kelas menengah.

Dia menuturkan alasan ekonomi pada kuartal I/2025 yang melambat, salah satunya karena konsumsi masyarakat kelas menengah yang lesu. Dia juga meyakini ketika konsumsi tinggi maka penerimaan dari pajak konsumsi, seperti PPN, pun bisa ikut meningkat.

"Jadi, sekarang yang harus dipikirkan apa insentif untuk kelas menengah, untuk mereka konsumsi. Sebab, ekonomi kita masih trickle down [insentif hanya menyasar kalangan atas]," ujar Bob.

Secara garis besar, menurut dunia usaha, penyesuaian atau kenaikan PTKP merupakan langkah fiskal yang bakal memberikan efek ganda, yakni meringankan beban pajak masyarakat sekaligus mengerek pertumbuhan ekonomi.

Namun, di balik usulan yang mengemuka tersebut, pemerintah memilih langkah yang lebih hati-hati. Menko Perekonomian Airlangga menegaskan pemerintah belum berencana mengubah kebijakan mengenai PTKP.

Kehati-hatian pemerintah ini bukan tanpa sebab. Hal ini dikarenakan kenaikan PTKP tidak hanya mempersempit basis pajak PPh orang pribadi, tetapi juga berpotensi menggerus penerimaan. Terlebih, kinerja penerimaan pajak saat ini masih terkontraksi.

Landasan Kebijakan PTKP

Secara sederhana, PTKP dapat diartikan sebagai jumlah penghasilan tertentu yang tidak dikenakan pajak. Jika penghasilan wajib pajak tidak melebihi PTKP maka tidak terutang PPh. Sebaliknya, bila penghasilannya melebihi PTKP maka selisihnya menjadi dasar pengenaan PPh.

Penerapan PTKP ini bertujuan untuk melindungi standar hidup minimum masyarakat serta sebagai “alat” administrasi untuk mencegah masyarakat berpenghasilan rendah “masuk” dalam sistem PPh suatu negara.

Pemerintah juga memberikan tambahan PTKP bagi wajib pajak yang telah menikah. Tak hanya itu, wajib pajak yang mempunyai anggota keluarga yang menjadi tanggungannya bisa mendapatkan tambahan PTKP, maksimal 3 orang tanggungan. Simak Apa Itu PTKP?

Dalam 4 dekade terakhir ini, besaran PTKP mengalami 9 kali kenaikan. Dalam periode tersebut, kenaikan PTKP dilakukan secara acak, tidak konsisten. Ada yang kenaikannya dilakukan tiap 3 atau 5 tahun sekali, tetapi ada juga yang setahun sekali.

Pada era pemerintahan Joko Widodo periode 2014-2024, besaran PTKP dinaikkan selama 2 kali yaitu pada 2015 dan 2016. Sejak dari 2016 hingga saat ini, besaran PTKP tidak pernah lagi dinaikkan oleh pemerintah.

Lalu, adakah koridor atau landasan aturan penyesuaian PTKP ini? Ketentuan mengenai PTKP telah diatur dalam UU 7/1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU PPh s.t.d.t.d UU HPP).

Berdasarkan ayat penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU PPh s.t.d.t.d UU HPP, menteri keuangan diberikan wewenang untuk mengubah besarnya PTKP setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya

Meski begitu, di atas kertas, indikator-indikator yang menjadi pertimbangan PTKP diperluas lebih dari itu. Indikator seperti kinerja penerimaan pajak atau janji politik juga turut menjadi faktor-faktor yang menjadi pertimbangan pemerintah dan DPR.

Kenaikan PTKP memang menimbulkan konsekuensi terhadap penerimaan negara. Contoh, saat PTKP dinaikkan pada 2015, target penerimaan pajak kala itu tidak tercapai. Penerimaan PPh Pasal 21 hanya 90,27% dari target, dan tumbuh 8,36% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Kondisi yang juga terjadi pada tahun berikutnya. Realisasi penerimaan PPh Pasal 21 pada 2016 hanya 84,39% dari target, atau turun 4,65%. Kebijakan menaikkan batas PTKP ini diklaim telah menggerus penerimaan negara sekitar Rp18,9 triliun.

Kenaikan PTKP turut menjadi ‘bahan’ dalam janji politik. Pada ajang pilpres 2024 misalnya, wacana kenaikan PTKP sempat dilontarkan Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Eddy Soeparno.

Namun, penetapan kebijakan perpajakan berdasarkan pertimbangan politik sesungguhnya merupakan hal yang lumrah. Guy Peters (1991) bahkan menyatakan “…dari sekian banyak faktor, pada akhirnya pertimbangan politiklah yang akan menentukan pilihan (sistem) kebijakan pajak.”

Opsi Lain

Perdebatan mengenai penyesuaian PTKP mencerminkan dilema kebijakan fiskal yang kompleks. Di satu sisi, terdapat kebutuhan untuk menjaga daya beli masyarakat sebagai langkah merespons tekanan ekonomi dan mendorong pertumbuhan.

Di sisi lain, terdapat kewajiban untuk mengamankan penerimaan negara, terutama dalam situasi global yang penuh ketidakpastian akibat tensi geopolitik, perlambatan ekonomi, dan perubahan lanskap pajak internasional.

Menyesuaikan PTKP berarti mengorbankan sebagian penerimaan jangka pendek, sedangkan jika menahannya bisa memperlebar kesenjangan fiskal sosial. Lantas, adakah opsi lain yang bisa dilakukan selain menaikkan PTKP?

Merujuk pada buku berjudul Konsep dan Aplikasi Pajak Penghasilan, terdapat 2 skema pengurangan penghasilan neto orang pribadi. Pertama, keringanan pajak yang diberikan dalam jumlah/nilai tetap atau biasa disebut dengan standard deduction. Contoh dari skema ini ialah penerapan PTKP.

Kedua, itemized deduction. Pemberian keringanan pajak ini didasarkan pada besaran nominal jenis-jenis biaya tertentu. Melalui itemized deduction, ada komponen-komponen yang bisa dikurangi dari penghasilan selain keringanan dalam bentuk standard deduction.

Sebagai contoh, biaya transportasi kerja, biaya pengasuhan anak, dan lain sebagainya. Pada itemized deduction ini, yang dikunci ialah jenis pengeluarannya dan bukan nilainya. Skema ini bahkan telah diterapkan oleh negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.

Dengan demikian, berbeda dengan skema PTKP yang bersifat flat dan seragam, skema itemized deduction justru memberikan pengurangan pajak berdasarkan jenis dan jumlah pengeluaran aktual wajib pajak.

Bisa dibilang, skema itemized deduction ini relatif lebih memberikan keadilan karena mencerminkan kemampuan ekonomi wajib pajak yang sesungguhnya, dengan tetap menjaga basis penerimaan pajak tetap optimal.

Tentu, penerapan skema itemized deduction di Indonesia memerlukan kajian lebih lanjut. Namun, skema ini cukup layak untuk menjadi pertimbangan pemerintah, terutama dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan optimalisasi penerimaan pajak. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.