BERITA PAJAK HARI INI

PER-6/PJ/2025 Direvisi Meski Baru Berlaku 3 Bulan, Simak Perubahannya

Redaksi DDTCNews
Kamis, 21 Agustus 2025 | 07.30 WIB
PER-6/PJ/2025 Direvisi Meski Baru Berlaku 3 Bulan, Simak Perubahannya
<p>Ilustrasi.</p>

JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) merevisi sejumlah ketentuan mengenai pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak (restitusi dipercepat) dalam Perdirjen Pajak No. PER-6/PJ/2025, meskipun belum genap 3 bulan berlaku. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Kamis (21/8/2025).

Revisi PER-6/PJ/2025 tersebut dilakukan melalui PER-16/PJ/2025 yang berlaku mulai 13 Agustus 2025. Dalam pertimbangannya, revisi dilakukan untuk menampung penyesuaian ketentuan restitusi dipercepat yang belum terakomodasi dalam PER-6/PJ/2025.

"Bahwa ... PER-6/PJ/2025 ... belum menampung kebutuhan penyesuaian ... sehingga perlu diubah," bunyi pertimbangan PER-16/PJ/2025.

Salah satu poin yang direvisi adalah perincian ketentuan pajak masukan yang dapat diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak. Revisi tersebut dilakukan melalui penambahan Pasal 6 ayat (2a) PER-16/PJ/2025 dan Pasal 7 ayat (4a) PER-16/PJ/2025

Merujuk kedua pasal baru tersebut, pajak masukan yang dapat diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak adalah pajak masukan yang telah dikreditkan dan tercantum dalam:

  1. Faktur pajak yang: (i) telah diunggah ke sistem administrasi DJP oleh pengusaha kena pajak (PKP) yang membuat faktur pajak; (ii) telah memperoleh persetujuan dari DJP; dan (iii) telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN PKP yang membuat faktur pajak;
  2. Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak yang: (i) telah dibuat oleh PKP sesuai dengan ketentuan; (ii) telah tervalidasi dalam sistem administrasi DJP; dan (iii) telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN PKP yang membuat dokumen tertentu;
  3. Dokumen pemberitahuan pabean impor atas impor dengan ketentuan telah dipertukarkan secara elektronik dengan DJP;
  4. Dokumen pemberitahuan pabean impor yang diunggah oleh wajib pajak pemohon dengan ketentuan mencantumkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN);
  5. Dokumen surat penetapan pembayaran bea masuk, cukai, dan/atau pajak (SPPBMCP) terkait impor barang kiriman, dengan ketentuan: (i) mencantumkan NTPN; (ii) terdapat dalam sistem informasi pelayanan DJBC; (iii) telah dipertukarkan secara elektronik dengan DJBC; dan (iv) dibayarkan oleh wajib pajak pemohon melalui penyelenggara pos.

Perlu diperhatikan, pajak masukan yang dimaksud adalah pajak masukan yang dikreditkan oleh: (i) wajib pajak kriteria tertentu; (ii) wajib pajak persyaratan tertentu; (iii) pengusaha kena pajak (PKP) berisiko rendah; dan special purpose company (SPC); dan kontrak investasi kolektif (KIK) sebagai PKP berisiko rendah.

PER-16/PJ/2025 juga mempertegas pengertian pajak masukan yang dibayar sendiri oleh wajib pajak pemohon yang dapat diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak. Pajak masukan yang dimaksud, yaitu PPN yang tercantum dalam surat setoran pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang dipersamakan.

Selain itu, PER-16/PJ/2025 juga mengatur permohonan restitusi dipercepat dari SPT Tahunan PPh wajib pajak orang pribadi tertentu yang dianggap tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak. Ketentuan ini diatur melalui penambahan Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) PER-16/PJ/2025.

Selain topik tersebut, terdapat ulasan mengenai target penerimaan PPN pada tahun depan. Kemudian, terdapat pembahasan soal pengawasan terhadap wajib pajak grup dan high wealth individual (HWI), serta sektor dengan shadow economy tinggi.

Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya.

Setoran PPN dan PPnBM 2026 Ditarget Rp995 Triliun

Pemerintah mengusulkan target penerimaan PPN dan PPnBM senilai Rp995,27 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

Target penerimaan PPN tersebut naik 5,31% ketimbang target APBN 2025 senilai Rp945,12 triliun. Pemerintah menyusun target itu dengan asumsi konsumsi masyarakat tetap terjaga pada 2026.

"Seiring dengan implementasi reformasi perpajakan serta proyeksi tingkat konsumsi dalam negeri yang tetap solid, PPN dan PPnBM pada RAPBN 2026 diperkirakan mencapai Rp995,27 triliun," tulis pemerintah dalam Nota Keuangan RAPBN 2026. (DDTCNews)

WP Grup dan HWI Masih Jadi Prioritas Pengawasan Tahun Depan

Pemerintah dalam RAPBN 2026 memasang target penerimaan PPh nonmigas senilai Rp1.209,36 triliun. Angka ini utamanya akan ditopang oleh PPh nonmigas dengan target setoran senilai Rp1.154,12 triliun.

Pemerintah dalam mengusulkan target tersebut telah mempertimbangkan kinerja penerimaan pada tahun sebelumnya. Selain itu, pemerintah juga bakal terus mendorong optimalisasi kegiatan joint program yang fokus mengawasi wajib pajak grup dan high wealth individual (HWI).

"Dengan ... optimalisasi kebijakan teknis perpajakan seperti kegiatan joint program serta peningkatan efektivitas pengawasan dengan fokus kepada wajib pajak grup dan HWI, penerimaan ... PPh senilai Rp1.209,36 triliun," tulis pemerintah dalam Nota Keuangan RAPBN 2026. (DDTCNews)

Pengawasan Shadow Economy Diklaim Tak Akan Sasar UMKM

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah berpandangan rencana pemerintah untuk melakukan pengawasan atas shadow economy tak akan menambah beban UMKM.

Menurut Said, UMKM mendapatkan pemihakan seiring dengan terus diberlakukannya skema PPh final dengan tarif 0,5% atas omzet bagi wajib pajak sektor tersebut.

"Kalau UMKM nampaknya tidak pernah disentuh selain pajaknya 0,5% itu saja. Kan tidak pernah berubah. Bahkan di target penerimaan negara 2026 tetap 0,5%," kata Said. (DDTCNews, Kontan, CNBC Indonesia)

Penerimaan Cukai Rokok Tumbuh 9,6% hingga Juli 2025

Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) mencatat realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) hingga Juli 2025 senilai Rp121,98 triliun atau naik 9,6% (yoy).

Realisasi penerimaan CHT ini setara dengan 53,01% dari target yang ditetapkan. Menurut Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto, kinerja penerimaan CHT tersebut antara lain dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang tidak lagi memberikan relaksasi pelunasan cukai selama 90 hari, dari normalnya 2 bulan, pada tahun ini.

"Pada 2025, ketentuan penundaan pembayaran kembali ke aturan normal yakni 60 hari, karena itu pencatatan penerimaan tercatat lebih cepat dibandingkan tahun sebelumnya," kata Nirwala (Bisnis Indonesia)

BI Kembali Pangkas Suku Bunga Acuan Jadi 5%

Bank Indonesia (BI) kembali memangkas suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) dari 5,25% menjadi 5%. Artinya, suku bunga telah dipangkas sebesar 100 bps sepanjang tahun ini.

Penurunan BI Rate ini bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi, selain inflasi yang masih berada di kisaran 1,5%-3,5% dan terjaganya stabilitas rupiah.

"Kredit perbankan masih perlu terus ditingkatkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo. (DDTCNews, Kontan, Kompas)

(dik)

Editor : Dian Kurniati
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.