KEBIJAKAN PAJAK

Perlu Insentif Pajak untuk Kembangkan Ekosistem Filantropi Indonesia

Muhamad Wildan
Jumat, 08 Agustus 2025 | 19.06 WIB
Perlu Insentif Pajak untuk Kembangkan Ekosistem Filantropi Indonesia
<p>Dari kiri ke kanan: Dewan Pengawas Filantropi Indonesia Trihadi Saptoadi; Manajer Pilar Pembangunan Ekonomi di Sekretariat Nasional SDGs (TPB/SDGs) Bappenas Setyo Budiantoro; Presiden Global Impact Network Indonesia Yaya Winarno Junardy; ESG and Compliance Head APP Group Sera Noviany; Dewan Pakar Filantropi Indonesia Ning Rahayu, Ketua Tax Center FIA UI Gunadi; Director of DDTC Fiscal Research and Advisory B Bawono Kristiaji; Dewan Pakar Filantropi Indonesia Agus P Sari.</p>

JAKARTA, DDTCNews - Kehadiran pemerintah melalui pemberian insentif pajak diperlukan guna mendukung perkembangan ekosistem filantropi di Indonesia.

Dewan Pakar Filantropi Indonesia Agus P Sari mengatakan ekosistem filantropi Indonesia saat ini masih dalam proses pembentukan dan pengembangan. Kebijakan fiskal yang akomodatif diperlukan untuk menciptakan ekosistem filantropi yang matang.

"Pemerintah memiliki peran yang tidak dimiliki stakeholder lainnya. Pemerintah punya otoritas untuk membuat aturan dan menentukan kebijakan fiskal. Ini yang mungkin bisa kita explore dan kelola," katanya.

Hal itu disampaikan Agus pada sesi paralel bertajuk Kuatkan Insentif untuk Filantropi Progresif: Pengembangan Kebijakan dan Administrasi Insentif Pajak Kegiatan Filantropi untuk Mendukung Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dalam Festival Filantropi 2025 (FIFEST 2025) yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) pada hari ini, Jumat (8/8/2025).

Saat ini, insentif pajak yang diberikan pemerintah atas para pihak yang turut serta dalam kegiatan filantropi masih cenderung minim. Hal ini dikarenakan cakupan sumbangan wajib pajak yang bisa menjadi pengurang pajak masih sangat terbatas.

"Di banyak negara, sumbangan untuk filantropi adalah sumbangan yang bisa diklaim saat pelaporan pajak. Di Indonesia belum semaju itu. Bayangkan kalau kita bisa mengeklaim pada kegiatan nonprofit untuk mengurangi jumlah pajak yang harus kita bayar," ujar Agus.

Senada, Presiden Global Impact Network Indonesia Yaya Winarno Junardy pun menuturkan insentif pajak seharusnya bisa mengambil peran sebagai katalisator filantropi progresif.

"Menurut saya insentif pajak adalah suatu jembatan antara kepedulian dan keberlanjutan. Ketika dirancang secara inklusif dan transparan, insentif pajak bisa meningkatkan partisipasi individu dan korporasi, mendorong kolaborasi lintas sektor, dan memacu investasi sosial," tuturnya.

Saat ini, wajib pajak memang bisa mengurangkan sumbangan dari penghasilan bruto sepanjang memenuhi kriteria dalam Peraturan Pemerintah (PP) 93/2010. Masalahnya, hanya sedikit bentuk sumbangan yang memenuhi kriteria PP 93/2010.

Sumbangan-sumbangan dimaksud antara lain sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, sumbangan fasilitas pendidikan, sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, dan biaya pembangunan infrastruktur sosial.

Jenis-jenis sumbangan di atas masih belum selaras dengan kebutuhan pembangunan yang termuat dalam sustainable development goals (SGGs).

"Ada beberapa hal yang mungkin kurang. Misal, bagaimana dengan pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM)? Kalau kita kembali ke SDGs, yang kita butuhkan adalah masalah kemiskinan, decent job, UKM? Lalu, bagaimana dengan masalah perlindungan ibu dan anak, stunting, pemberdayaan perempuan, dan masalah sosial lainnya? Bagaimana filantropi bisa mencakup itu?," kata Yaya.

Sementara itu, Dewan Pakar PFI dan Tim Peneliti Tax Center FIA UI Ning Rahayu memandang insentif pajak yang tersedia untuk filantropi memang masih terbatas dan parsial. Pandangan tersebut disampaikan Ning saat memaparkan Policy Brief: Kebijakan dan Administrasi Insentif Pajak atas Kegiatan Filantropi untuk Mendukung Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia.

Bagi pemberi sumbangan, insentif pajak yang tersedia hanyalah limited tax deduction dan full tax deduction. Adapun supertax deduction hanya tersedia untuk biaya terkait dengan kegiatan vokasi.

Limited tax deduction dan full tax deduction bisa dimanfaatkan sepanjang sumbangan diberikan kepada lembaga-lembaga yang tercakup dalam PP 93/2010, seperti lembaga yang berwenang mengumpulkan dana penanggulangan bencana, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pendidikan, dan lembaga pembinaan olahraga.

Super tax deduction vokasi bisa dimanfaatkan bila biaya dikeluarkan untuk penyelenggaraan praktik kerja, pemagangan, dan pembelajaran yang berbasis kompetensi tertentu.

Bagi penerima sumbangan, fasilitas yang tersedia adalah pengecualian pajak atas sumbangan keagamaan yang diterima lembaga keagamaan serta sisa lebih yang diterima lembaga yang bergerak di bidang sosial dan/atau keagamaan.

"Insentif pajak masih belum komprehensif dan kurang fleksibel. Untuk mendapatkan insentifnya ternyata dalam praktik juga banyak yang kesulitan," ujar Ning.

Ke depan, insentif pajak seyogianya juga turut diberikan kepada pelaku filantropi yang sudah bekerja sama dengan pemerintah untuk melaksanakan beragam program prioritas seperti makan bergizi gratis, pelatihan guru, pengetasan stunting, pelestarian lingkungan, dan lain-lain.

Peran otoritas pajak dalam mengawasi kegiatan filantropi juga perlu dibatasi. Menurut Ning, pemerintah perlu mendukung pembentukan lembaga filantropi terverifikasi yang bisa menyalurkan dana secara transparan.

Hal ini bisa mengurangi beban otoritas pajak dalam melakukan verifikasi kegiatan filantropi. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.