Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menteri Pertahanan sekaligus Presiden Terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto (kanan). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.
LANGIT cerah menyelimuti kota Brisbane, Australia yang menjadi tuan rumah perhelatan akbar KTT G-20 pada 15 November 2014. Di sana, untuk pertama kalinya, seorang pemimpin baru Indonesia tampil di hadapan para petinggi ekonomi dunia.
Joko Widodo, atau yang akrab disapa Jokowi, menyampaikan visinya di hadapan para pemimpin G-20. Dengan penuh percaya diri, Jokowi mengungkapkan salah satu kunci reformasi ekonominya, yaitu tax ratio ditargetkan mencapai 16%, sebagai upaya memperkuat fondasi ekonomi Indonesia.
“Saya ingin meningkatkan tax ratio menjadi 16%, dari sekarang yang masih di bawah 13% (dalam artian luas). Dengan perbaikan sistem perpajakan, termasuk aspek transparansi dan sistem IT, saya optimistis angka ini akan meningkat,” kata Jokowi di hadapan pemimpin G-20.
Optimisme itu tidak hanya menyiratkan keyakinan akan kemampuan domestik, tetapi juga ingin menunjukkan kepada komunitas internasional bahwa Indonesia serius membangun struktur fiskal yang kokoh.
Meski begitu, perjalanan mewujudkan ambisi itu tidak semulus yang dibayangkan. Tantangan demi tantangan memaksa target itu berulang kali ditinjau, bahkan dipangkas menjadi 12,3% pada RPJMN 2020-2024.
Rasio penerimaan pajak (tax ratio) sering kali dianggap sebagai cermin kemampuan negara dalam memobilisasi sumber daya fiskal. Sayang, dalam satu dekade kepemimpinan Jokowi, kinerja tax ratio menunjukkan tren stagnan.
Pada 2014, tax ratio Indonesia—dalam artian sempit—tercatat 10,85%. Tax ratio dalam artian sempit mencakup penerimaan pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat, antara lain PPh, PPN/PPnBM, PBB, bea dan cukai, serta pajak lainnya sebagaimana ditetapkan dalam postur APBN.
Dalam 3 tahun pertama Jokowi, kinerja tax ratio cenderung menurun masing-masing sebesar 10,75%, 10,36%, dan 9,89%. Namun, pada 2018, angka tax ratio tersebut berbalik meningkat menjadi 10,24%. sejalan dengan reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah.
“Ini berarti seluruh reformasi perpajakan yang kita lakukan sudah makin menunjukkan hasil. Mulai dari kesadaran membayar pajak, peningkatan basis pajak kita. Kita juga mulai mendapat informasi dari AEOI dan kita terus membangun database dan sistem informasi perpajakan yang update," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 2 Januari 2019.
Sayang, pada tahun-tahun berikutnya, tax ratio kembali menurun, terutama ketika Indonesia dihantam krisis kesehatan karena pandemi Covid-19. Hampir semua sektor ekonomi terpuruk dan berdampak terhadap kinerja penerimaan pajak.
Tak hanya itu, pemerintah juga harus menggelontorkan berbagai insentif pajak guna menopang aktivitas ekonomi yang terpuruk. Kondisi ini tentu berdampak pada penerimaan pajak sehingga target tax ratio makin sulit dikejar.
Merujuk pada Laporan Tahunan DJP, tax ratio pada 2019 tercatat 9,76%. Pada 2020 hingga 2023, tax ratio masing-masing sebesar 8,33%, 9,12%, 10,39%, dan 10,31%. Pada 2024, tax ratio agaknya tidak akan berbeda jauh dengan tahun sebelumnya.
Tax ratio merupakan suatu ukuran kinerja penerimaan pajak dalam suatu negara. Meski begitu, dari berbagai literatur, tax ratio bukanlah satu-satunya indikator yang digunakan dalam mengukur kinerja pajak.
Meski target tax ratio meleset, bukan berarti 1 dekade kebijakan pajak Jokowi nihil prestasi. Justru di tengah banyak tantangan, terdapat sejumlah lompatan signifikan dalam perbaikan sistem perpajakan yang perlu diapresiasi.
Salah satu pencapaian terbesar Jokowi ialah mengembangkan sistem administrasi perpajakan melalui penggunaan teknologi digital. Meski reformasi sistem administrasi sesungguhnya sudah dimulai sejak 2008, tetapi dampaknya paling terasa pada era Jokowi.
Sebagai contoh, setelah DJP Online diluncurkan pada 2014, pemerintah mewajibkan pengusaha kena pajak (PKP) membuat e-faktur pada Juli 2015. Pada tahun yang sama, pemerintah juga menambahkan fitur upload pada aplikasi e-filing.
Perbaikan sistem administrasi perpajakan secara berkelanjutan tersebut pada gilirannya memberikan hasil yang positif, terutama pada rasio kepatuhan pelaporan SPT Tahunan. Pada 2014, rasio kepatuhan hanya 58,87%. Pada 2023, rasio kepatuhan wajib pajak meningkat menjadi 88%.
Tak hanya itu, perbaikan sistem administrasi perpajakan juga membuat indeks kemudahan berbisnis atau Ease of Doing Business (EODB) di Indonesia naik dari peringkat 91 pada 2017, ke peringkat 72 pada 2018. Peringkat Indonesia ini berada di atas China (78) dan India (100).
Pengembangan sistem administrasi perpajakan tak berhenti disana. Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemerintah juga menggodok coretax administration system. Rencananya, aplikasi coretax akan mulai digunakan pada akhir 2024.
Aplikasi coretax merupakan sistem administrasi layanan DJP yang memberikan kemudahan bagi pengguna. Pembangunan coretax merupakan bagian dari Proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang diatur dalam PP No. 40/2018.
Pembaruan sistem inti administrasi perpajakan ini juga merupakan proyek rancang ulang proses bisnis administrasi perpajakan melalui pembangunan sistem informasi yang berbasis Commercial Off-the-Shelf (COTS) disertai dengan pembenahan basis data perpajakan.
Tujuan utama dari coretax ialah untuk memodernisasi sistem administrasi perpajakan yang ada saat ini. Nanti, coretax mengintegrasikan seluruh proses bisnis inti administrasi perpajakan, mulai dari pendaftaran wajib pajak, pelaporan SPT, pembayaran pajak, hingga pemeriksaan dan penagihan pajak.
Selanjutnya, Jokowi juga berkontribusi positif dalam penyempurnaan peraturan perpajakan. Seluruh undang-undang perpajakan, seperti UU PPh, UU PPN, serta UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) mengalami perubahan.
Perubahan tersebut terangkum dalam UU Cipta Kerja dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kebijakan ini tak hanya menyederhanakan peraturan yang sebelumnya tumpang tindih, tetapi juga membuka jalan untuk mewujudkan aspek keadilan dan keberpihakan.
Di sisi PPh, keadilan dan keberpihakan dalam UU HPP tecermin pada dukungan penguatan UMKM dengan memberikan batasan omzet usaha tidak kena pajak sebesar Rp500 juta dan tetap memungut PPh final UMKM sebesar 0,5%.
Kemudian, UU HPP juga memperbaiki progresivitas PPh orang pribadi dengan melebarkan rentang penghasilan kena pajak hingga Rp60 juta untuk lapisan tarif PPh orang pribadi terendah 5% dari yang sebelumnya hingga Rp50 juta. Adapun juga pemerintah menambah 1 lapisan tarif PPh orang pribadi tertinggi sebesar 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar per tahun.
Selanjutnya, UU HPP memperluas basis pajak dengan menerapkan pajak atas natura (fringe benefit) dan mempertahankan tarif PPh badan mulai tahun pajak 2022 sebesar 22%.
Dari PPN, keadilan dan keberpihakan dari UU HPP dilakukan dengan tetap melindungi masyarakat kecil melalui fasilitas pembebasan PPN terhadap barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, dan lainnya.
UU HPP juga memfokuskan kembali pengecualian, pembebasan, dan fasilitas PPN sehingga sistem PPN lebih adil dan tepat sasaran, tetapi tetap menjaga kepentingan masyarakat dan dunia usaha. Di samping itu, refocussing ini juga untuk meningkatkan kepastian hukum.
Kemudian, UU HPP juga memberikan kemudahan dan dukungan kepada para pengusaha kecil dalam melakukan kewajiban PPN dengan memperkenalkan tarif final untuk PKP dengan peredaran usaha tertentu, jenis barang/jasa tertentu, dan/atau sektor tertentu.
Terakhir, UU HPP juga turut mengatur upaya dalam mendorong peningkatan kepatuhan sukarela dengan memperkuat sistem administrasi pengawasan dan pemungutan perpajakan, serta memberikan kepastian hukum perpajakan.
Hal ini tecermin melalui penggunaan NIK sebagai NPWP orang pribadi, penyesuaian persyaratan bagi kuasa wajib pajak, penunjukan pihak lain sebagai pemotong/pemungut pajak, meningkatkan kerja sama penagihan pajak antarnegara, dan pengaturan pelaksanaan persetujuan bersama (mutual agreement procedures/MAP).
Selain pajak, UU HPP juga merevisi ketentuan dalam UU Cukai. Salah satunya ialah penyederhanaan aturan dalam proses menambah objek barang kena cukai (BKC) dan pelaksanaan ultimum remedium sebagai upaya optimalisasi penerimaan cukai.
UU Cipta Kerja juga turut mengubah sejumlah ketentuan dalam UU PPh, UU PPN, dan UU KUP. Dari sisi PPh, UU Cipta Kerja merevisi ketentuan terkait dengan objek pajak yang dikecualikan di antaranya dividen.
Untuk PPN, UU Cipta Kerja mengubah ketentuan mengenai pengkreditan pajak masukan, pembuatan faktur pajak untuk PKP pedagang eceran, hingga batu bara yang mulai dikenakan PPN. Adapun dari sisi KUP, UU Cipta Kerja memperkenalkan tarif bunga sanksi administrasi.
Selain UU Cipta Kerja dan UU HPP, masih ada kebijakan-kebijakan lainnya yang diambil Jokowi dalam mengerek tax ratio. Salah satunya ialah menyelenggarakan program pengampunan pajak (tax amnesty) dan program pengungkapan sukarela (PPS).
Lalu, ada pula penerapan pajak digital berupa pengenaan PPN atas produk digital terhadap perusahaan yang melakukan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Di bawah kepemimpinan Jokowi, pemerintah juga menerbitkan revisi UU Bea Meterai pada 2020.
Melihat sepak terjang pemerintahan era Jokowi, reformasi perpajakan yang dilakukan sesungguhnya relatif berjalan on the track. Reformasi yang telah dilakukan cukup berhasil membangun fondasi tata kelola pajak yang lebih baik untuk masa depan.
Meskipun kinerja tax ratio masih jauh dari harapan, warisan Jokowi dalam reformasi perpajakan akan menjadi modal penting bagi pemerintahan selanjutnya. Pertanyaannya kini: Siapkah penerus Jokowi membawa reformasi pajak ini menuju babak yang lebih gemilang?