PAJAK KARBON

Pajak Karbon Tak Kunjung Berlaku, Kemenkeu Beberkan Alasannya

Aurora K. M. Simanjuntak
Selasa, 18 November 2025 | 13.30 WIB
Pajak Karbon Tak Kunjung Berlaku, Kemenkeu Beberkan Alasannya
<p>Ilustrasi.</p>

JAKARTA, DDTCNews - Kementerian Keuangan mengungkapkan sederet alasan pemerintah belum menerapkan pajak karbon.

Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menyebut penerapan pajak karbon memang telah diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun, penerapan pajak karbon juga perlu menunggu penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Peta Jalan Pajak Karbon.

"Kalau dari kami sendiri, perancangan peraturan turunan dari PP tentang Peta Jalan Pajak Karbon sudah kami draf, menyesuaikan nanti PP yang bersangkutan," katanya dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi XI DPR, dikutip pada Selasa (18/11/2025).

Sebagai informasi, pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Berdasarkan UU HPP, pajak karbon semestinya diberlakukan sejak April 2022 dengan tarif senilai Rp30 per kilogram CO2e atas PLTU batu bara. Namun, pajak karbon tak kunjung diimplementasikan oleh pemerintah hingga hari ini.

Melalui PP 50/2022, pemerintah sebetulnya turut memerinci ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban wajib pajak yang berkewajiban membayar pajak karbon. Berdasarkan Pasal 69 ayat (2) PP 50/2022, pajak karbon dilunasi oleh wajib pajak dengan cara dibayar sendiri atau dipungut oleh pemungut pajak karbon.

Sementara untuk peta jalan atau roadmap pajak karbon, sampai sekarang masih dalam proses penyusunan. Bimo menjelaskan perumusan kebijakan mengenai pajak karbon merupakan kewenangan unit vertikal Kemenkeu lainnya, yakni Ditjen Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF).

Menurutnya, Ditjen Pajak (DJP) sudah merancang poin-poin yang akan dituangkan dalam peraturan menteri keuangan (PMK). Draf PMK tersebut juga tetap diselaraskan dengan PP Peta Jalan Pajak Karbon yang kini sedang disusun.

Pada kesempatan yang sama, Dirjen Strategi Ekonomi dan Fiskal Febrio Kacaribu menyampaikan peta jalan pajak karbon antara lain akan memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran atau sektor prioritas, serta keselarasan kebijakan dengan pembangunan energi baru terbarukan (EBT) dan kebijakan lainnya.

Dalam menyusun PP, dia menegaskan pemerintah memastikan bahwa kebijakan pajak karbon ini bertujuan untuk mendukung pelaksanaan mekanisme pasar karbon yang lebih baik.

"Terkait dengan pajak karbon, kita ingin pengaturannya seperti yang ada di Pasal 13 ayat (3) UU HPP bahwa harga karbon yang ada di pasar itu akan menjadi acuan bagi tarif pajak karbon. Artinya, untuk memastikan bahwa pajak karbon ini mendukung terlaksananya mekanisme di pasar karbon dengan lebih baik," ungkap Febrio.

Febrio juga mengakui sedikitnya ada 4 tantangan dalam menerapkan pajak karbon di Indonesia. Pertama, capaian realisasi emisi Indonesia masih on-track terhadap target Enhanced NDC.

Kedua, pemerintah perlu melakukan sinkronisasi kebijakan lintas sektor sesuai Perpres 110/2025, dan roadmap kebijakan perdagangan karbon, termasuk pasar karbon di tingkat nasional dan global.

Ketiga, pemerintah memastikan bahwa penurunan emisi karbon di Indonesia tidak ditanggung oleh pemerintah saja. Oleh karena itu, pemerintah akan memprioritaskan penguatan instrumen perdagangan karbon (carbon trading). Instrumen ini dianggap lebih fleksibel dan mampu memberikan harga karbon yang jelas dan kredibel.

"[Kami] memastikan bahwa penurunan emisi kita tidak ditanggung sepenuhnya oleh perekonomian Indonesia, tetapi menggunakan mekanisme pasar karbon sehingga bisa dibantu dan didukung secara global juga," jelas Febrio.

Keempat, pajak karbon berpotensi menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap ekonomi makro, serta risiko kenaikan biaya energi seperti BPP listrik dan BBM. Kenaikan harga energi dapat menekan APBN serta berpotensi menambah beban masyarakat.

Sejalan dengan itu, pemerintah ingin memastikan pendapatan dari penjualan kredit karbon di perdagangan karbon bisa menutupi biaya-biaya tambahan yang muncul karena melakukan upaya menurunkan emisi dari kegiatan industri yang menghasilkan polusi.

"Justru dengan ini kita akan menghitung supaya kredit yang diperjualbelikan di pasar karbon itu dapat mengkompensasi tambahan biaya yang diakibatkan oleh usaha kita menurunkan emisi dari operasional industri yang lebih polluting," tutup Febrio. (dik)

Editor : Dian Kurniati
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.