JAKARTA, DDTCNews – Penghitungan dasar pengenaan pajak (DPP) pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 atas penghasilan bukan pegawai kini tidak lagi dibedakan apakah bersifat berkesinambungan atau tidak.
Selain itu, penghitungan DPP PPh Pasal 21 bagi penghasilan bukan pegawai juga tidak diakumulasi dengan penghasilan masa-masa sebelumnya. Hal ini berlaku semenjak terbitnya PMK 168/2023. Berdasarkan PMK 168/2023, DPP PPh Pasal 21 untuk bukan pegawai kini adalah 50% dari jumlah penghasilan bruto.
“Dasar pengenaan dan pemotongan pajak penghasilan Pasal 21 untuk bukan pegawai yaitu sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto,” bunyi Pasal 12 ayat (3) PMK 168/2023, dikutip pada Kamis (13/11/2024).
Dengan demikian, PPh Pasal 21 bagi bukan pegawai kini dihitung dengan mengalikan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dengan 50% jumlah penghasilan bruto. Formula tersebut berlaku bagi bukan pegawai tanpa mempertimbangkan kesinambungan pemberian penghasilan.
“Pajak penghasilan Pasal 21 yang wajib dipotong bagi bukan pegawai dihitung menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dikalikan dengan dasar pengenaan dan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) [50% dari jumlah penghasilan bruto],” bunyi Pasal 16 ayat (3) PMK 168/2023.
Formula tersebut cukup berbeda apabila disandingkan dengan ketentuan terdahulu yang diatur dalam PMK 252/2008 dan Perdirjen Pajak No. PER-16/PJ/2016. Sebelumnya, secara ringkas, formula perhitungan PPh Pasal 21 bagi bukan pegawai setidaknya terbagi menjadi 3 jenis formula.
Pertama, bukan pegawai dengan imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan. PPh Pasal 21 bagi bukan pegawai dengan kondisi tersebut dihitung dengan mengalikan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dengan 50% dari jumlah penghasilan bruto.
Kedua, bukan pegawai yang menerima imbalan bersifat berkesinambungan, yang memiliki NPWP, dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
PPh Pasal 21 bagi bukan pegawai yang memenuhi kondisi kedua dihitung dengan mengalikan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dengan 50% dari jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Ketiga, bukan pegawai yang menerima imbalan bersifat berkesinambungan, tetapi tidak memiliki NPWP atau memperoleh penghasilan lainnya selain dari hubungan kerja dengan pemotong PPh Pasal 21.
PPh Pasal 21 bagi bukan pegawai yang memenuhi kondisi ketiga dihitung dengan mengalikan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dengan 50% dari jumlah penghasilan bruto. Sebelumnya, perhitungan PPh bagi bukan pegawai yang menerima penghasilan berkesinambungan akan dihitung secara kumulatif.
Namun, ketentuan perhitungan secara kumulatif bagi bukan pegawai tersebut kini tidak lagi diatur dalam PMK 168/2023. Ringkasnya, penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan bukan pegawai kini dilakukan dengan rumus tunggal dan tidak akumulatif.
Adapun bukan pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagai imbalan atas pekerjaan bebas atau jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
Penerima penghasilan yang termasuk bukan pegawai di antaranya tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, olahragawan, pengarang, peneliti, dan penerjemah, dan agen iklan.
Untuk mempermudah, berikut perbandingan ketentuan perhitungan PPh Pasal 21 bagi bukan pegawai pada PMK 252/2008 dan PER-16/PJ/2016 (ketentuan lama) dan PMK 168/2023 (ketentuan baru).


(dik)
